Monday, October 11, 2010

[Sosok] Hadiah Nobel Perdamaian 2010: Kemenangan Perjuangan Nurani

-- Dahono Fitrianto

”AKU tidak punya musuh atau rasa benci. Semua polisi yang pernah mengawasi, menahan, dan menginterogasiku; para jaksa yang menuntutku; dan para hakim yang menghukumku, semua bukan musuhku.”

Liu Xiaobo (kiri) dan istrinya, Liu Xia. (AFP)

Kutipan diambil dari catatan berjudul ”Aku Tidak Punya Musuh: Pernyataan Terakhirku” yang ditulis Liu Xiaobo (54), peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2010. Tulisan itu dibuat pada 23 Desember 2009 di dalam tahanan, dua hari sebelum Liu divonis 11 tahun penjara atas tuduhan subversi.

Sepanjang perjuangannya, Liu menghindari kekerasan dan kebencian. ”Namun, dia akan mengatakan apa pun yang ada dalam pikirannya,” kenang Pu Zhiqiang, seorang pengacara HAM dan teman dekat Liu.

”Hal yang aku tuntut adalah hiduplah dengan jujur, bertanggung jawab,” kata Liu yang juga peraih Fondation de France Prize sebagai pejuang kebebasan pers dari Reporters Without Borders, 2004, ini.

Liu lahir dari keluarga intelektual di kota Changchun, Provinsi Jilin, China timur laut, 28 Desember 1955. Setelah lulus SMA, Liu meneruskan kuliah di Departemen Sastra China, Universitas Jilin. Dia adalah angkatan mahasiswa pertama setelah Revolusi Kebudayaan 1977.

Perjalanan hidup Liu sempat mulus. Setelah meraih sarjana pada 1982, dia menjadi mahasiswa riset di Departemen Sastra China, Universitas Normal Beijing, dan meraih gelar Master of Arts (MA) pada 1986 dan doktor dalam bidang Sastra China setahun kemudian. Ia mengabdikan diri sebagai pengajar dan akademisi di kampus itu.

Tahun 1987, ia menerbitkan buku pertama, Criticism of the Choice: Dialogues with Li Zehou yang menghebohkan karena berani mengkritik tradisi Konfusianisme dan menantang pendapat Profesor Li Zehou, tokoh intelektual dan ideolog besar di China waktu itu.

Buku keduanya, hasil disertasi doktoralnya, adalah Aesthetic and Human Freedom. Dua buku itu memasuki ranah perdebatan filsafat dan estetika secara komprehensif. Nama Liu pun mengorbit. Dia beberapa kali diundang sebagai dosen tamu di sejumlah universitas kondang, seperti Universitas Oslo di Norwegia; University of Hawaii, AS; dan di Columbia University di New York, AS.

Liu ada di New York saat demonstrasi mahasiswa pecah di Lapangan Tiananmen, April 1989. Dia pulang untuk ikut aksi itu. Saat militer akan membubarkan demonstran, Liu dan tiga temannya melakukan mogok makan sejak 2 Juni 1989. Dia berseru, kepada pemerintah ataupun gerakan mahasiswa, untuk meninggalkan ideologi perjuangan kelas dan mengadopsi budaya politik baru yang terbuka bagi dialog dan kompromi.

Liu sempat bernegosiasi dengan pimpinan militer dan pimpinan gerakan mahasiswa untuk mengakhiri aksi demonstrasi secara damai. Namun, pembantaian para demonstran tetap terjadi sejak 3 Juni malam, walau Liu dan teman-temannya berhasil mencegah pertumpahan darah lebih besar lagi dengan negosiasi, yang membuat para demonstran membubarkan diri pada 4 Juni 1989.

Liu mengenang keterlibatan di Tiananmen sebagai titik balik terbesar dalam hidupnya. Dua hari setelah aksi itu berakhir, aparat keamanan menjebloskan Liu ke penjara dengan tuduhan melakukan propaganda kontrarevolusi dan menghasut orang. Tiga bulan kemudian ia dipecat dari Universitas Normal Beijing dan dilarang menerbitkan tulisan atau berbicara di depan umum. Sejak itu dia menyebut dirinya ”ditarik menuju jalan pembangkangan”.

Pujian kepada istri

Namun, Liu terus menulis dan menyuarakan kritik, terutama terhadap penerapan sistem satu partai dan pemberangusan kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Tulisan-tulisannya lebih banyak diterbitkan di luar China. Akibatnya, Liu berada di bawah pengawasan ketat polisi. Dia dijatuhi tahanan rumah periode 1995-1996, kemudian dimasukkan ke kamp kerja paksa selama 1996-1999 karena mendesak pembebasan aktivis Tiananmen.

Di antara dua hukuman itu, Liu menikahi Liu Xia, seorang pelukis, penyair, dan fotografer, yang sudah dikenalnya sejak 1980-an. Liu menyebut istrinya sebagai keberuntungan terbesar. Liu sempat merasa bersalah telah menempatkan istrinya pada posisi tak enak akibat perjuangannya. Namun, Liu Xiabao bersumpah, cintanya kepada Liu Xia tak akan berubah. ”Walaupun aku diremukkan sampai jadi debu, aku akan memelukmu dengan abuku,” demikian janji Liu kepada Liu Xia.

Hukuman penjara yang saat ini masih ia jalani itu didapatkan setelah menggagas Charter 08, sebuah manifesto politik, mengadaptasi Charter 77 dari gerakan prodemokrasi Cekoslowakia—kini pecah menjadi dua negara, pimpinan Vaclav Havel.

”Kita harus menjadikan kebebasan berbicara sebagai penjamin hak warga untuk mendapatkan informasi dan pengawasan politik. Kita harus mengakhiri pemikiran bahwa kata-kata adalah kejahatan,” demikian bunyi sebagian dokumen Charter 08. ”Kebebasan berekspresi adalah landasan hak asasi manusia, mata air kemanusiaan, dan ibu kebenaran.”

Perjuangannya selalu terbentur berbalik menindasnya. Namun, Liu tak pernah menyimpan dendam. Dalam catatan terakhir sebelum dipenjarakan, Liu memaparkan panjang lebar bagaimana aparat pemerintah telah memperbaiki berbagai fasilitas di penjara serta teknik pengawasan dan interogasi yang lebih manusiawi dibandingkan 10 tahun sebelumnya.

Ia juga memuji kemajuan China di berbagai bidang, mulai dari bidang ekonomi, kebinekaan kultural, hingga perubahan bertahap pada aturan hukum. Semua itu, menurut Liu, merupakan hikmah dari mulai mencairnya mentalitas permusuhan dan psikologi kebencian dari para pemimpin.

”Bahkan di bidang politik, yang kemajuannya paling lambat, mencairnya mentalitas permusuhan telah membuat kekuatan politik lebih toleran terhadap keberagaman. Intensitas penangkapan orang-orang yang dianggap pembangkang menurun secara substansial,” tulis Liu.

Komite Nobel Norwegia memilih Liu sebagai pemenang atas ”perjuangan panjang tanpa kekerasan untuk penegakan hak dasar manusia di China”. (AFP/REUTERS/www.liuxiaobo.eu)

Sumber: Kompas, Senin, 11 Oktober 2010

No comments: