-- Beni Setia
PINTU utama untuk memasuki jagat batin Oka Rusmini itu menyelam mencari makna dalam puisi pendek yang ditulisnya, ”Lingkaran”. Selengkapnya begini: Dulu, pada masa kanak-kanak, seorang perempuan melemparkanku ke laut. Membiarkan ikan pari mengasuhku. Sekarang kumuntahkan dagingku sendiri. Akankah kubuang kau ke laut juga? Seorang Bandung Mawardi, ”Biografi (Tubuh) Perempuan: Puisi Mengisahkan Ibu”, dalam bukunya, Sastra Bergelimang Makna (Jagat Abjad, Solo, 2010), mengidentifikasinya sebagai trauma masa kecil dan godaan memproyeksikan kemarahan disisihkan ibu kepada anak. Namun, benarkah hanya begitu?
Pada dasarnya, seperti semua orang, secara harfiah teks saya menyimpulkannya begitu. Namun, sebuah puisi sebagai cara berkomunikasi yang khas, di mana yang hadir dan dihadirkan merupakan representasi dari yang ingin diungkapkan tetapi tidak berani diungkapkan secara jelas sehingga terpaksa memakai perwakilan. Representasi itu sangat menekankan vitalnya sesuatu yang tersembunyi dibandingkan apa yang hadir riil menyapa—yang terutama itu yang diwakili bukan apa yang tersurat mewakili. Dan itu fakta, sejak kecil Oka Rusmini tinggal bersama nenek, sekaligus ikatan emosional dengan nenek lebih kental dari ikatan hubungan darah, yang menyebabkan si ibu dan saudaranya nyaris ada di ufuk jauh—hanya tamu.
Konstelasi orang asing itu semakin jelas ketika Oka Rusmini memilih menikah dengan orang yang non-Bali sehingga dikucilkan dari lingkaran keluarga secara adati. Pilihan kepada cinta itu menjadikan dirinya orang yang dikeluarkan dari ikatan tradisi desa dan lingkaran silsilah, bahkan meski ia kini tetap tinggal di Bali, ia bukan orang Bali—ia hanya orang asing yang tak berhak dimakamkan di tanah adat dan mendapat prosesi adati. Meskipun kini ia tinggal di (daratan) Bali, semua orang Bali melihat dan mengapresiasi dirinya sebagai makhluk laut yang tak pantas hidup di darat. Relasi dengan ibu dan saudara terputus meski relasi dengan ayah masih tersambung—hanya bersifat personal humanistik karena secara adat ayahnya juga tak berdaya.
Trauma paling menyakitkan bagi Oka Rusmini terjadi ketika neneknya itu, ibu spiritualnya, meninggal dan adat sama sekali tidak memperkenankan dan memberikan hak buat melayat—datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Oka Rusmini pun berontak. Berteriak. Menantang adat dengan menyatakan: Ia memang tidak punya hak silsilah lagi, tapi anaknya masih punya hak silsilah, dan karenanya berhak melakukan penghormatan terakhir kepada neneknya. Tak heran, ketika Utan Kayu International Literary Biennale IV 2007, Jakarta, Oka Rusmini memilih bergegas datang dari Bali dan bergegas pulang ke Bali, padahal di Jakarta tinggal ibu serta saudaranya. Ada keinginan untuk berkunjung, ada kerinduan untuk dikunjungi, tapi tak mungkin secara adati.
Fakta traumatik itu menyebabkan sajak ”Lingkaran” harus dibaca secara sangat berbeda karena ikon lingkaran menjadi sempurna dalam konsep samsara Hindu bila dihiasi oleh kehadirannya karma. Apakah aku akan jadi si ibu yang ditinggalkan anak karena telah bersengaja dan sadar meninggalkan ibunya dengan memilih lelaki yang dicintai—meski tahu menghadapi konsekuensi adat?
Semua sajak Oka Rusmin dari kumpulan Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), serta Pandora (2008), terutama yang mengeksplorasi tubuh, kehamilan cq si janin yang tumbuh dari darah serta menyerap darah ibu, dan sakit proses melahirkan yang pada Oka Rusmini bermakna melahirkan dengan operasi caecar, jadi punya perspektif lain.
Perspektif
Perspektif yang tak hanya bernama pengorbanan ibu demi anak semata, tetapi apa si anak itu dari awal sudah menjadi makhluk yang menggerogoti keutuhan eksistensi ibu untuk sekadar tumbuh itu, nanti tak akan makin tidak terkendali sehingga terpaksa diusir? Sempurna sebagai keturunan ikan pari— mungkin anak yang dibesarkan dengan kebebasan dimanjakan yang menyebabkannya tumbuh sebagai ikan pari. Jadi menarik sekali ketika semua kumpulan puisi itu mutlak dipersembahkan Oka Rusmini untuk si anak lelakinya, Pasha Renaisan. Kehadiran anak yang membuatnya teringat pada sakit melahirkan dan fenomena hubungan emosional yang tidak mungkin bisa diputuskan. Namun, kenapa ada ibu yang demi adat tega memutuskan hubungan darahiah? Sekaligus, Oka Rusmini tak ingin memutuskan garis silsilah hubungan darah itu karena seorang anak selamanya anak dari ibunya.
Akan menarik kalau fakta sakitnya operasi caesar itu dihubungkan juga dengan mitologi Yunani, yang meramalkan penguasa besar kedewaan akan mati oleh anaknya sendiri, sehingga Zeus pun tak dilahirkan alami, tetapi dibedah agar tak pernah menjadi manusia yang dilahirkan, tetapi nyatanya Zeus tetap dilahirkan dan membunuh ayahnya untuk menjadi penguasa. Pilihan pada diksi pandora sebagai kumpulan puisi terakhir pasti ada terilhami dari fakta kotak pandora, tempat segala keburukan diisolasi supaya nanti tak menyiksa manusia lagi. Namun, niat baik dewani itu gagal karena tetap saja ada yang penasaran ingin membuka kotak bencana itu. Akan tetapi, apa semua itu harus disesali? Apa pilihan kepada cinta harus dianggap membuka kotak penderitaan bagi aku, anak, ibu, bapak, saudara, dan kerabat adat?
Saya tak tahu. Namun, bagi orang yang meninggalkan kampung dan hidup sebagai orang asing di rantau, meski bagaimana lincahnya pun beradaptasi dengan berfleksibel menata diri agar diakomodasi, orang itu tetap akan menatap kampung, keluarga, masa kecil, dan semuanya yang nun di sana itu sebagai surga yang hilang. Sesuatu yang tak mungkin diulang, tetapi bisa diziarahi. Lalu, bagaimana rasanya kalau semua itu tak bisa disentuh lagi, tidak ada orang yang berani untuk sekadar diajak mengenangkan semuanya? Selaras dengan fakta manusia itu tak sekadar darah dan daging obyektif hingga trauma emosional semacam itu lebih menentukan corak kepribadian dan warna identitas mental manusia.
Dan memaknai Oka Rusmini tanpa menyadari latar sosial budaya Balinya pada satu sisi serta bagaimana Oka Rusmini itu bertahan dalam dikucilkan secara adat dan silsilah (Bali) adalah kekeliruan. Sebab, pada dasarnya, tak ada teks sastra yang bebas dari latar sosial budaya dan trauma batin kreatornya—terlebih trauma batin sebesar itu.
Beni Setia, Pengarang
Sumber: Kompas, Minggu, 17 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment