-- Mawar Kusuma Wulan KM
PENGABDIAN dan pengorbanan hidup Kasimo yang mengedepankan nasionalisme Indonesia dinilai masih relevan dijadikan panutan di tengah karut- marutnya kondisi Indonesia saat ini.
Ia tidak segan-segan menolak jabatan politik yang ditawarkan. Ia menolak duduk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) serta Kabinet Djuanda (1957- 1959). Alasannya, prosedur pembentukan dua kabinet tersebut tidak konstitusional. Memang, bagi Kasimo dan tokoh-tokoh pergerakan nasional pada zamannya, kedudukan bukanlah tujuan utama.
Geografi politik Hindia Belanda awal abad ke-20, masa awal masuknya Kasimo ke bidang politik, ditandai dengan mulainya warga pribumi yang terdidik dan tercerahkan berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka bersenjatakan kecerdasan otak berupa organisasi, ideologi, media massa, dan dialog.
Kasimo mengawali perjuangan dan pengabdian di bidang politik setelah keluar dari Boedi Oetomo. Ia bersama sejumlah teman tahun 1923 mendirikan Pakempalan Politik Katolik Djawi, berubah menjadi Perkumpulan Politik Katolik di Jawa tahun 1925, akhirnya jadi Partai Katolik Republik Indonesia.
Selama 30 tahun mengabdi di bidang politik, Kasimo melewati beberapa periode. Periode kepartaian mulai tahun 1923, masuk sebagai anggota Volksraad tahun 1931, dilanjutkan dengan periode 1945-1949 ketika berjuang mempertahankan kemerdekaan, demokrasi liberal (1950-1958), demokrasi terpimpin (1959-1967), hingga Orde Baru. Kasimo pernah duduk sebagai Menteri Muda Kemakmuran (1947-1948), Menteri Persediaan Makanan Rakyat (1948-1949 dan 1949- 1950), Menteri Kemakmuran (1949-1950), serta Menteri Perekonomian (1955-1956).
Sebagai menteri, Kasimo pernah mengusahakan swasembada pangan lewat program Kasimo Plan. Ia juga terlibat dalam penyusunan peraturan pertanahan dan dalam jabatan di Konstituante, seperti diakui Adnan Buyung Nasution, ikut memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara.
Etika berpolitik
Realitas sejarah menunjukkan Kasimo lebih menghadirkan politik yang marjinal daripada dominan. Partai politik yang didirikannya tidak pernah benar-benar besar dan menjadi bagian penting dari sebuah kekuasaan negara. ”Kasimo berpolitik bukan karena panggilan kekuasaan, tapi berdasarkan empati dan panggilan kemanusiaan sebagai pribadi yang berpendidikan,” kata sejarawan UGM, Bambang Purwanto.
”Kasimo memberi sumbangan besar dalam etika berpolitik di tengah pusaran sejarah Indonesia. Proses menjadi Indonesia di awal kemerdekaan diikuti dengan penerapan etika berpolitik yang sangat baik,” kata sejarawan Anhar Gonggong.
Etika dalam politik sangat penting bagi Kasimo. Ini salah satu hal yang harus diwariskan dalam konteks situasi sekarang.
Politik beretika, dalam terjemahan praksisnya kemudian menjadi politik bermartabat, memang selalu dikedepankan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Soekarno dan Hatta yang tidak pernah satu dalam cara berpikir, misalnya, tetap saling berkawan. Kasimo pun menunjukkan teladan serupa dengan bergaul akrab dengan lawan-lawan politiknya dari Partai Masyumi. Persahabatan di antara orang-orang yang berbeda pendapat ini tetap dipadukan oleh satu tujuan, mempertahankan tegaknya Indonesia.
Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, pergaulan Kasimo sudah lintas kultural, lintas etnis, dan lintas agama. Kasimo pun pernah bertentangan pendapat dengan Soekarno ketika ia menolak konsep demokrasi terpimpin. ”Begitu hebatnya Pak Kasimo. Dia menolak bukan karena benci, tetapi karena prinsip demokrasi bahwa Bung Karno sudah menyimpang dengan demokrasi yang diyakininya sehingga dia harus mengatakan tidak setuju,” tegas Syafii Maarif.
Ditemui terpisah, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Baskara T Wardaya, menyatakan bahwa politik harus kembali ke semangat awal, yaitu untuk melayani kepentingan publik, dengan menjadikan bangsa sebagai fokus perjuangan. Titik tolak kemunduran politik bermartabat di Indonesia diawali pada masa Orde Baru, ketika politik lebih dikendalikan oleh militer, berorientasi elitis dan promodal asing.
Berbenturan
Sebagai orang Katolik, Kasimo juga harus berhadapan dengan bermacam-macam benturan antara kepentingan bangsa dan hierarki gereja. Pada 19 Juli 1932, Kasimo untuk pertama kalinya berpidato di Volksraad. Ia menyerukan bahwa suku-suku di Indonesia menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa. Tidak terbayangkan oleh Belanda bahwa anggota Volksraad yang mewakili organisasi Katolik, yang ditunjuk Belanda, yang seharusnya menghargai Pemerintah Belanda, justru mengeluarkan pernyataan resmi yang radikal.
Tanpa sengaja, Kasimo terilhami ”prinsip kebangsaan” aksi sosial Katolik karya JM Llovera, salah satu pembentuk naluri perjuangan politik Kasimo, yakni ”setiap bangsa berhak membentuk sebuah negara merdeka”.
Kata Kasimo di depan anggota Volksraad, ”Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku- suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya, mempunyai hak serta kewajiban membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa.”
Selain Kasimo, pada Juli 1932 Ketua Fraksi Nasional di Volksraad Mohammad Husni Thamrin juga membuat marah Belanda dan Gereja Katolik karena menyatakan bahwa Kasimo turut mendesak kemerdekaan. Kasimo terpaksa menandatangani pernyataan tidak ikut dengan Thamrin untuk menghargai Gereja Katolik. Namun, dia kemudian ikut dalam gerakan nasional yang lebih besar, yaitu Gabungan Politik Indonesia, dan turut menandatangani Petisi Sutardjo pada 15 Juli 1936, isinya agar Indonesia bisa segera memperoleh status kemerdekaannya.
Dari pengalaman bergaul selama 40 tahun dengan Kasimo, Harry Tjan Silalahi mengaku kagum dengan Kasimo yang tidak pernah memajukan kepentingan pribadi ataupun golongan. Bahkan kesetiaan pada agama dalam arti yang formal bisa disisihkan oleh Kasimo kalau untuk kepentingan bangsa.
”Saya tidak tahu kenapa bangsa ini semakin mundur. Kalau Pak Kasimo hidup, Roem hidup, Natsir hidup, Hatta hidup, menangis betul mereka,” ujar Syafii Maarif.
Sumber: Kompas, Selasa, 19 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment