TAK ada yang paling berharga bagi seorang seniman melainkan ide. Dengan ide, seorang seniman bergerak mengungkapkan jiwa dalam karya-karyanya. Karya seorang seniman bukan melulu tentang keindahan yang elok dan molek, tetapi juga mesti menghadirkan kebenaran yang menampak dalam jiwanya. Jiwa yang menampak adalah roh sebuah karya yang tidak melulu mesti patuh pada kaidah-kaidah keindahan. Karya yang besar hanya bisa lahir dari seniman yang mampu menghadirkan jiwanya. Oleh karena itu, menatap sebuah karya seni bukanlah melulu bertemu dengan gugusan keindahan, tetapi menatap jiwa seorang seniman. Apakah yang akan ditatap dan ditemukan jika jiwa seniman itu tak ada di dalam karya?
Inilah sebagian dari apa yang selalu diserukan oleh Sudjojono. Pada 1930-an, seruan itu ditujukannya untuk mengkritik pedas kecenderungan seni lukis Mooi Indie yang hanya untuk melayani hasrat turistik para Menner. Sebuah seni yang di mata Sudjojono tak pernah memiliki jiwa, kecuali panorama pemandangan yang indah dan elok. Dengan seruan inilah Sudjojono membangkitkan marwah atau muruah tentang ide keindonesiaan di lapangan seni rupa modern.
Tidaklah berlebihan bila disebutnya bahwa wajah seni rupa modern Indonesia tidaklah akan seperti hari ini seandainya tanpa seorang Sudjojono. Ia memulai pemikiran dan fondasi kesadaran ihwal seni rupa modern Indonesia dalam situasi yang genting pada 1930-an. Pemikiran-pemikirannya tertuang dalam tulisan di sejumlah majalah kebudayaan, pidato, wawancara, atau buku kecil berjudul Seni Loekis, Kesenian dan Seniman. Buku tipis ini memuat tiga belas artikel Sudjojono yang diterbitkan oleh Penerbit Indonesia Sekarang pada 1946.
Bagi Sudjojono, ide dan jiwa adalah muruah seorang "Aku". Di matanya seorang seniman mestilah menjadi Aku, sebuah identitas kesadaran yang kemudian menjadi energi bagi pemahaman ihwal nasionalisme. Tak cukup hanya dikenal sebagai pelukis, Sudjojono juga dikenal sebagai pemikir dan kritikus seni. Dari pemikirannyalah muncul peristilahan "seniman" dan "pelukis".
"Istilah ’seniman’ pertama kali muncul dalam tulisannya di Majalah Keboedajaan dan Masjarakat pada 1939. Sementara sebutan ’pelukis’ disebutkannya dalam wawancara pada 1946 dengan pelukis Mustika," ujar kurator Aminuddin T.H. Siregar.
**
DIA akrab dipanggil "Pak Djon". Nama lengkapnya Sindudarsono Sudjojono, lahir di Sumatra Utara, 14 Desember 1913. Ia lahir dari keluarga transmigran asal Jawa yang berkerja di perkebunan Deli. Ia dititipkan pada Yudhokusumo, guru dan pelukis yang lantas membawanya pindah ke Jakarta. Hasratnya untuk menjadi pelukis demikian besar dan ia berguru kepada sejumlah orang, termasuk Pirgadie dan pelukis berkebangsaan Jepang, Chioji Yazaki. Pada masa pendudukan Jepang, Sudjojono bergabung dalam badan kebudayaan bentukan Keimin Bunka Shidoso. Selain mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1937, ia pun salah seorang pendiri Seniman Indonesia Muda (SIM) di Madiun.
Bagi Sudjojono, ide dan jiwa seorang seniman adalah segala-galanya. Dengan ide dan jiwa itulah seniman meluluhkan dirinya ke dalam kehidupan. Mengamati kehidupan dan luluh ke dalamnya jauh lebih penting ketimbang berkutat dalam urusan teknik. Oleh karena itulah, baginya, lukisan adalah jiwa yang menampak (jiwa ketok).
Dengan jiwa yang menampak inilah Sudjojono membayangkan bahwa karya seni tak hanya hidup dalam keindahan dan kemolekan sendiri di tengah berbagai realitas kehidupan. Sikapnya yang keras kepala demi menyerukan apa yang menjadi idenya ihwal seni dan tanggung jawab seorang seniman di hadapan kehidupan memang kerap menimbulkan berbagai kontroversi.
Akan tetapi, apa pun, tak bisa dibantah bahwa sejarah seni rupa modern Indonesia berutang besar kepada Sudjojono. Maka, menyebut nama Sudjojono dan Persagi adalah memanggil ingatan tentang awal mula sejarah seni rupa modern Indonesia. Termasuk juga ingatan ihwal bagaimana muruah suatu ide dipertahankan dan terus diperjuangkan. Ide tentang Aku yang memiliki jiwa yang tampak, tentang identitas sebuah kebudayaan di lapangan seni rupa. Seluruhnya inilah yang menjadi muruah yang kini sedang dirayakan oleh dua ratus seniman di enam belas galeri di Bandung. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment