Sunday, October 10, 2010

Menguak Tabir Kekerasan

Judul buku: Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi

Penulis : Haryatmoko

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetak : 2010

Tebal : 295 halaman

AGAMA memicu kekerasan. Model kekerasan dengan dalih perintah agama atau klaim tafsiran telah terjadi dari zaman ke zaman. Kekerasan atas nama agama belum tamat sampai hari ini karena pelbagai peristiwa kekerasan membuktikan ada dominasi dan diskriminasi. Episode kebiadaban justru diacukan pada agama. Kondisi ini ironi dan membuat agama kehilangan kesakralan (kesucian) gara-gara dijadikan acuan kekerasan oleh individu atau kelompok.

Haryatmoko mengakui kekerasan atas nama agama merupakan kejahatan. Bentuk kejahatan ini kerap mencari pembenaran Ilahiah. Risiko dari pemahaman keliru ini adalah membuat korban telantar karena stigma seolah pantas disingkirkan, menderita, dihancurkan, atau dibunuh. Keprihatinan atas lakon kekerasan atas nama agama menjadi pemicu kritis bagi Haryatmoko untuk memberi uraian multidimensional tentang makna kekerasan. Buku ini adalah suguhan mozaik wacana dalam pelbagai referensi mumpuni.

Buku ini terbagi dalam tujuh bab dengan kefasihan tafsiran atas pemikiran tokoh-tokoh kunci dan penjelasan fakta (peristiwa). Bab pertama dengan titel Gagasan-Gagasan Pembuka Selubung Dominasi merupakan pijakan teori besar dalam gelimang tematik. Haryatmoko menghadirkan pokok pemikiran dari Friedrich Nietzsche, Michel Foucault, Pierre Bordieu, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida. Pembaca mungkin bakal kerepotan untuk memahami teori-teori itu dalam penggalan-penggalan. Haryatmoko justru mendekatkan pembaca dalam "keterhubungan" pelbagai teori kendati ringkas.

Ambisi mengafirmasi kebenaran pada zaman modern membuat orang merasa memiliki hak untuk melakukan kekerasan. Realisasi dan pancaran kebenaran kerap dilakoni dengan konflik atau kekerasan. Kondisi ini membuat agenda humanisme mengalami kebangkrutan gara-gara fanatisme, dominasi, dogmatis, diskriminasi, atau radikalisme. Agama masuk sebagai "penyebab" melalui pertarungan klaim kebenaran. Kisah pelik zaman modern ini seolah membenarkan bahwa manusia itu makhluk beradab dan biadab. Kekerasan seolah takdir dari kehidupan manusia karena susah ditampik.

Haryatmoko memerlukan mengutip pemikiran Pierre Bourdieu untuk menelisik akar-akar kekerasan simbolis. Akar ini meresahkan karena disemaikan secara halus. Bourdieu menjelaskan bahwa dominasi dipaksakan dan diderita sebagai kepatuhan. Dominasi merupakan efek dari kekerasan simbolis. Kekerasan ini halus, tak terasakan, susah terlihat. Mekanisme sebaran dominasi dan kekerasan simbolis melalui komunikasi dan pengetahuan. Dominasi simbolis hadir atas nama apa saja untuk memunculkan korban. Agama termasuk menjadi referensi dominasi ini karena pelbagai konflik, perang, atau kekerasan kerap disesaki simbol-simbol. Kekerasan pun identik dengan mekanisme simbolis.

Kekerasan pun identik dengan rezim kekuasaan atau negara. Kasus pelik dalam sejarah kekerasan di Indonesia adalah ulah Orde Baru. Rezim ini kerap melukai, menodai, dan merusak perayaan hidup dalam toleransi, pluralisme, atau multikulturalisme. Hak-hak warga negara hampir tak memiliki harga di mata penguasa. Kekerasan menjadi sah atas nama pelanggengan dan pemartabatan rezim. Orde Baru jadi penoreh lakon kekerasan besar tapi belum semua kasus bisa diselesaikan atau diingatkan.

Dominasi dan dikriminasi sebagai dalil kekerasan oleh negara memberi saham dalam model-model kekerasan pada ranah gender, pendidikan, ekonomi, demokrasi, dan konsumerisme. Penjelasan kritis mengenai semua ini ada dalam bab empat (Dominasi Wacana: Membawa Kekerasan Simbolik dalam Hubungan Gender), bab lima (Dominasi Simbolis dalam Sistem Pendidikan), bab enam (Dominasi Ekonomi dan Demistifikasi Demokrasi), dan bab tujuh (Dominasi Uang Menjebak Masuk ke Konseumerisme dan Budaya Urgensi). Haryatmoko dalam bab-bab ini mengesankan kompetensi dalam memberi penjelasan mengacu pada teori dan pengambilan kasus-kasus faktual. Makna kehadiran buku ini memang terasakan dalam kematangan mengelaborasi wacana dominasi sebagai sumber kekerasan.

Buku ini memang pantas jadi bacaan kritis untuk mengurai pelbagai aksi kekerasan selama ini. Proyek demokrasi tidak sanggup menaggulangi benih-benih kekerasan. Konstitusi tidak berkutik karena keliahaian tafsiran. Etika dan humanisme macet sebagai pengetahuan teoritik. Agama tak sanggup mensucikan karena pengodisian kekerasan dalam dilema-dilema kebenaran. Haryatmoko merasa perlu memberi peringatan atas semua kondisi itu memakai pelbagai perspektif.

Bandung Mawardi
, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Oktober 2010

No comments: