-- Arbain Rambey
FOTOGRAFI sudah menjadi milik siapa pun saat ini. Tinggal sediakan uang untuk membeli seperangkat kamera, pelajari sedikit buku manualnya, orang bisa menyandang predikat sebagai seorang fotografer.
Fotografi saat ini memang bisa sesederhana itu. Fotografi demikian populer karena, dengan menjalani hobi fotografi saja, seorang manusia telah dianggap punya jiwa seni melebihi orang lain.
Pada peristiwa jatuhnya pesawat akrobatik di Bandung akhir bulan September lalu, hampir semua foto yang merekam dengan detail kejadian itu justru dibuat kaum amatir. Kaum amatir (yang tidak cari uang dari kegiatan memotret) ada di mana-mana dan memotret apa pun yang ada di depan mereka. Sedikit banyak, kaum profesional mulai direpotkan dari beberapa segi.
Fotografi memang sangat berubah dibandingkan dengan saat diciptakan hampir 200 tahun yang lalu. Dari pelakunya, cara memandang kegiatan ini, sampai dengan keluaran-keluarannya. Benda yang kita sebut foto saat ini sering sudah tidak seperti foto yang kita lihat 20 tahun yang lalu. Saat ini sebuah foto bisa membuat kita mengernyitkan kening, tertawa lepas, manggut-manggut, atau bahkan bingung sama sekali.
Alinea-alinea di atas perlu untuk mengantar kita kalau mau memahami dan memaknai foto-foto karya Omar Taraki Niode (almarhum) yang baru saja selesai dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, Jakarta dengan tajuk ”Omar’s Visual Journey”.
Seorang pengunjung pameran itu mengirimkan SMS kepada saya: ”Menurut kamu, itu foto apa?”
Baiklah, tiap orang selalu ingin jawaban instan manakala melihat sebuah foto. Foto karena bersifat visual, artinya masuk ke otak melalui indera mata, dianggap harus langsung bisa dimengerti tanpa penjelasan khusus. Sejalan dengan pertanyaan SMS itu, banyak pula orang yang bertanya: ”Apa artinya? Apa maksudnya?” manakala melihat sebuah foto yang tidak lazim di mata mereka.
Fotografi perjalanan
Foto-foto di pameran itu adalah rekaman perjalanan Omar ke India beberapa tahun yang lalu. Setelah Omar meninggal dunia, foto-foto itu dikumpulkan dan dikurasi, lalu dipamerkan.
Secara umum, foto-foto itu masuk dalam kategori foto perjalanan (travelling photography), sebuah cabang fotografi yang paling banyak dilakukan manusia. Survei yang dilakukan sebuah perusahaan kamera di Jepang tahun 2007 mendapati data ini: 70 persen orang membeli kamera untuk menyertai perjalanan yang akan mereka lalukan. Fotografi perjalanan adalah hal yang membuat penjualan kamera selalu naik dari waktu ke waktu.
Fotografi perjalanan umumnya sangat subyektif, artinya apa yang dipotret pelaku adalah hal-hal yang menurut mereka menarik untuk ”dibawa pulang”. Konsep membawa oleh-oleh rekaman visual ini pula yang membuat buku-buku foto perjalanan selalu laku di pasaran.
Akan halnya foto-foto Omar, subyektivitas perjalanannya sangat terasa terutama pada foto yang dia buat dari dalam taksi di Kalkuta. Secara langsung kita ikut mencicipi suasana yang sempat dirasakan Omar dalam perjalanannya itu.
Pertanyaan awam ”apa maksud foto-foto itu” atau ”apa bagusnya foto-foto itu” menunjukkan bahwa secara umum kita masih sangat menganggap bahwa foto yang dipamerkan harus ”luar biasa”. Kesadaran bahwa sebuah pameran foto adalah sebuah proses komunikasi belum terlalu bisa diterima di sini.
Patut dipuji upaya panitia pameran yang memasukkan catatan-catatan pribadi Omar ke panel-panel yang memuat foto-foto. Selain kesan grafisnya menjadi kuat, catatan-catatan itu makin ”menghadirkan” Omar dalam suasana perjalanan yang dirasakan pengunjung.
Harus dipahami benar bahwa Omar tidak ingin berindah-indah dalam memotret perjalanannya. Pengunjung pameran tidak diminta untuk mengagumi karya Omar, melainkan untuk ikut merasakan sebagian perjalanan Omar.
Sebuah foto yang indah adalah foto yang bisa mewakili fotografernya dalam segala hal. Foto-foto Omar di pameran itu telah membuktikannya!
Sumber: Kompas, Minggu, 31 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment