Sunday, October 10, 2010

[Kehidupan] Migrasi Pecel dan Teklek

PECEL, dawet atau cendol, bahkan teklek alias terompah kayu itu telah menyatu dalam kehidupan rakyat Suriname. Dalam proses integrasi rupanya rakyat tidak perlu indoktrinasi yang muluk-muluk.

Tahoe lontong, tjenil, nogosari, nemet, dan mendoot. Itulah menu Waroeng Tante Pon yang buka di ajang Indo-Fair di Paramaribo, Suriname. Penganan itu merupakan jajan pasar, makanan rakyat yang banyak dijumpai di Jawa dan populer di Suriname.

Memang tidak susah mencari masakan atau makanan Jawa di Suriname. Masuk saja ke sembarang ”waroeng”— sebutan untuk tempat makan di Suriname. Dan kita akan menemukan menu seperti pitjel atawa pecel, nasi goreng dan bakmie goreng, saoto, sate pitik (ayam), sampai minuman dawet alias cendol.

”Tiyang cemeng nggih jajan pitjel wonten mriki. Nggih remen kok—orang kulit hitam juga makan pecel di sini. Suka juga kok,” kata Markati (62), pemilik Waroeng Toeti di Tamanredjo, daerah setingkat kecamatan di Distrik Commewijne, Suriname.

Rombongan delegasi Kebudayaan Indonesia yang datang ke Suriname pada akhir September lalu penasaran dengan rasa pitjel ”van” Suriname itu. Mereka mampir ke Waroeng Toeti dan rupanya rasanya sami mawon. Unsur pitjel tak beda dengan pecel yang banyak dijual di Indonesia, seperti bayam, taoge, dan kacang panjang plus lumuran sambal kacang.

Markati yang pensiunan pekerja perkebunan kebun tebu Marienberg itu juga menyediakan saoto dan dawet. Waroeng Toeti juga menyediakan singkong rebus yang biasa disantap bersama ikan asin.

Toponimi

Jejak rasa Jawa juga terlihat dari nama-nama tempat. Kompas menyusuri wilayah setingkat kecamatan di Suriname yang menggunakan nama Jawa, yaitu Koewarasan. Wilayah ini dulu merupakan kawasan perkebunan yang banyak mempekerjakan imigran asal Jawa. Di jalan tanah berdebu, kami melewati jalan-jalan dengan nama berbau Jawa, seperti Sastrodisoemoweg, Poerworedjoweg, Poerwodadiweg, sampai Malangweg.

Koewarasan memang merupakan wilayah yang banyak dihuni warga Suriname keturunan Jawa. Kesenian Jawa banyak terdapat di sana, seperti kelompok jaran kepang atau kuda lumping bersama Trimo Budi Sangtoso. Ada pula kelompok ludruk dan dalang wayang kulit.

Begitu juga di Distrik Commwijne, terdapat satu wilayah ”kekuasaan” Jawa.

Di antara wilayah yang berbau Belanda, seperti Alkmaar, Nieuw Amsterdam terselip nama kecamatan yang sangat Jawa, yaitu Tamanredjo.

Sesuai nama, Tamanredjo memang banyak dihuni warga keturunan Jawa, termasuk keluarga Wagiman Amatmarto (68), generasi pertama yang lahir di Suriname. Orangtua Wagiman adalah pasangan Amatmarto dan Ngadirah yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, yang bekerja di perkebunan tebu milik perusahaan gula Marienburg milik Nederlandse Handelsmaatschappij. Pada tahun 1890 perusahaan tersebut melakukan eksperimen dengan mendatangkan tenaga dari Jawa. Dari komunitas keturunan Jawa itulah muncul nama Tamanredjo.

Di Tamanredjo, Kompas menjumpai anak-anak yang cukup fasih berbahasa Jawa, seperti Steven Kartotaroeno (12) dan Murcelino Doelman (11). Mereka sedang penek'an atau bermain memanjat pohon.

Dan asal tahu, kepala pemerintahan Commewijne berdarah Jawa, yaitu Humprey Soekimo yang fasih berbahasa Jawa. Kebetulan Commewijne dan Yogyakarta sejak tahun 2009 menjalin kerja sama sebagai kota kembar, sister city.

Jangan kaget jika di ibu kota Distrik Commewijne, yaitu Niew Amsterdam, terdapat monumen berupa teklek atau bakiak alas kaki dari kayu dengan pengait terbuat dari karet ban bekas. Secara onomatopis, menurut telinga orang di Belanda, teklek dinamai tip-tip. Monumen didirikan untuk memperingati kedatangan 94 imigran pertama dari Jawa pertama, 9 Agustus 1890, dengan kapal Prins Willem II.

”Pada saat itu sepatu sangat mahal. Maka teklek telah terintegrasikan ke kelompok etnis lain, seperti kreol dan hindustan”. Demikian tertulis dalam monumen teklek di depan kantor Distrik Commewijne.

Integrasi

Begitulah teklek dengan cepat beralih menjadi alas kaki kelompok etnis lain saat itu. Saat ini, nama-nama seperti Tamanredjo, Koewarasan bukan lagi nama asing bagi seluruh warga Suriname. Nama-nama Jawa itu menjadi bagian tak terpisahkan dari Suriname. Diam-diam integrasi telah terbentuk di berbagai lini, termasuk juga kuliner.

”Kini saoto, pitjel, bakmie goreng bukan lagi menjadi masakan Jawa saja, tetapi telah menjadi national dishes— masakan nasional,” kata Stanley Sidoel, Direktur Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Republik Suriname, yang kebetulan bernenek moyang dari Solo dan Gunung Kidul.

Kuliner itu menjadi contoh sederhana bagaimana sesuatu itu menjadi milik bersama. Kami sedang dalam proses national building,” kata Sidoel yang ditemui Kompas di ruang kerjanya di Paramaribo yang terbuat dari kayu.

Kuliner seperti pitjel dan dawet yang menjadi makanan rakyat di negoro jowo itu rupanya telah berintegrasi ke dalam sebuah bangsa multietnis Suriname. Pada setiap pesta, pitjel selalu dihidangkan selain juga masakan asal India.

”Integrasi makanan sudah berjalan jauh di Suriname. Tak ada orang di sini yang tidak kenal pitjel, bakmie, dawet. Etnis mana saja tahu itu,” kata Bob Saridin, pemuka masyarakat Suriname keturunan Jawa yang pernah menjadi ketua Vereniging Herdenking Javanese Immigratie (VHJI) atau perhimpunan mengenang imigrasi Jawa. Bob mengakui, Suriname tidak memiliki budaya asli. ”Semua impor,” kata Bob yang fasih berbahasa Indonesia.

”Dalam integrasi, kami menampilkan budaya Jawa supaya etnis lain mempunyai pengalaman dengan budaya Jawa sebagai bagian dari budaya Suriname,” kata Bob.

Jangan heran jika orang Suriname suka nonton jaran kepang atau kuda lumping. Atau malah nyanyi lagu campursari ”Ing Setasiunn Balapan”-nya Didi Kempot. (xar)

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010

No comments: