-- Frans Sartono
SETIAP warga Suriname keturunan Jawa memiliki cerita tentang leluhur mereka yang berasal dari Jawa. Orangtua, kakek buyut mereka, dikapalkan sebagai pekerja kontrak pada kurun 1890-1939.
Lelakone wong songko nJowo
Nang Suriname dikontrak Londo
Tekan seprene lagi temonjo.
Itu tembang yang turun-temurun dilantunkan warga Suriname keturunan Jawa. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: ”Ini perjalanan nasib orang dari Jawa/Di Suriname dikontrak (sebagai pekerja) oleh pemerintah Hindia-Belanda/Sampai sekarang baru tampak hasilnya.
Lagu itu membayangi Kompas ketika pada akhir September lalu bertandang ke rumah keluarga Raymond Soegiman Nojoredjo (70), keturunan Jawa yang tinggal di Distrik Lelydorp, Suriname. Ayah Soegiman, yaitu Wagijo Nojoredjo, berasal dari desa Bantulan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Adapun sang ibu, Semen Kartosemito, berasal dari Desa Karang Gedang, Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah.
Distrik Lelydorp banyak dihuni warga Suriname keturunan Jawa. Daerah itu dulunya adalah perkebunan yang banyak mempekerjakan petani asal Jawa. Suasana Jawa terasa karena dari radio di mobil terdengar suara Mus Mulyadi melantunkan ”Yen Tak Rasake” sampai ”Keroncong Telomoyo”.
Ibu Soegiman mengajak kami makan pitjel alias pecel dengan lauk tempe goreng. ”Iki sing gawe yo wong Jowo neng kene (ini yang bikin juga orang Jawa di sini),” kata istri Raymond Soegiman itu.
Sambil santap pecel, Raymond Soegiman bercerita.
”Ijik cilik pak’e dikongkon ngarit karo wong tuwane (ketika masih kecil ayah disuruh mencari rumput oleh orangtuanya),” tutur Raymond Soegiman dalam bahasa Jawa.
”Sampai di rumah, bapak dimarahi (oleh orangtuanya). Baju disampirkan begitu saja, lalu bapak pergi. Ia tidak pamit dan sejak itu tidak pernah kembali lagi ke rumah,” kata Soegiman yang dalam bahasanya terselip bahasa Belanda dan Inggris.
Wagijo bertemu dengan seseorang di jalan yang mengajaknya pergi. Rupanya, Wagijo terkena werk yang menurut Soegiman tak beda dengan adol uwong alias human trafficking. Ia mengira Suriname adalah tanah sebrang, Sumatera.
Werk adalah bahasa Belanda yang berarti kerja. Di-werk adalah istilah untuk menyebut tindakan ”pemaksaan” kepada orang untuk bekerja. Dalam hal ini bekerja sebagai pekerja kontrak di Suriname.
Wagijo ditempatkan dalam depo di Batavia untuk didata dan diperiksa kesehatannya. Dalam proses pendataan, nama lahir Wardijo tertulis salah sebagai Wagijo dan kemudian menjadi nama resmi. Ia dikapalkan ke Suriname dengan kapal Djambi pada 30 Maret 1929. Ia dipekerjakan di perkebunan Wederzorg di Distrik Commewijne, Suriname, untuk masa kontrak lima tahun dari 9 Mei 1929 sampai 9 Mei 1934.
Sekitar dua bulan kemudian, seorang gadis berusia 18 tahun bernama Semen Kartosemito mengalami nasib serupa Wagijo. Gadis bertinggi 144 asal Desa Karang Gedang, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, itu diberangkatkan dari Batavia ke Suriname pada 22 Mei dengan kapal Simaloer II. Semen dipekerjakan pula di perkebunan yang sama dengan Wagijo.
Jalan hidup mempertemukan Wagijo dan Semen sebagai pasangan suami istri. Mereka mempunyai 14 anak dan sampai hari ini sembilan di antaranya masih hidup. Pasangan Wagijo dan Semen kini tumbuh sebagai keluarga besar yang terdiri dari anak, cucu, buyut dan cicit yang total berjumlah 108 orang.
Soegijo meninggal tahun 2006 dalam usia 94. pada Tahun 1985, ia sempat pulang ke Boyolali dan bertemu dengan sanak kadang.
Lakon para pekerja keturunan Jawa di Suriname adalah drama keterpisahan dan pertemuan. Soegiman bercerita tentang sang ibu yang terpisah dari sanak kerabat di Banyumas tanpa pernah mengetahui kabar sanak saudaranya di Jawa.
”Namun, entah mengapa mak’e (ibu) mempunyai perasaan bahwa adiknya juga di-werk. Ia melacak-lacak dari satu teman ke teman lain. Dan, setelah 40 tahun kemudian, ibu bertemu dengan adiknya yang bernama Biru,” tutur Soegiman.
Balada Parno-Maona
Hikayat serupa dimiliki oleh setiap keluarga keturunan Jawa di Suriname. Suatu malam pada 24 September lalu, Kompas bertemu dengan Pairoon Somoredjo (64) yang tengah menyaksikan tari Bambangan Cakil dalam acara Indofair di Paramaribo, Suriname. Tari Bambangan Cakil dibawakan anggota delegasi Indonesia yang dibawa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, dalam rangka memperingati 120 tahun kedatangan imigran dari Jawa. Di tengah gerak Cakil dan alunan gamelan, Pairoon bertutur tentang balada cinta kakek-neneknya.
”Mbahe cerita, yen deweke di-werk (kakek bercerita bahwa dia di-werk),” kata Pairoon yang berbicara menggunakan bahasa Jawa.
”Diajak uwong niku mbahe kok nggih ngungkluk mawon... ngertos-ngertos pun wonten depo (diajak orang itu kok kakek ya menurut begitu saja ... tahu-tahu dia sudah berada di Depo),” kata Pairoon.
Pairoon yang pensiunan pegawai kantor pajak itu kemudian mengisahkan pertemuan antara kakek dan neneknya. Berikut ini adalah ringkasan dari penuturan Pairoon:
Seorang gadis remaja menangis tersedu-sedu di sudut depo atau tempat penampungan calon tenaga kerja di Batavia yang akan dikapalkan menuju ke Suriname. Ia meratapi nasib karena tiba-tiba telah berada di tempat tersebut dan tidak bisa lagi keluar dari tempat penampungan, apalagi kembali ke desa. Perempuan itu bernama Maona.
Nasib yang sama menimpa Parno Somoredjo, remaja itu juga merasa tiba-tiba telah berada di depo yang sama. Parno mendatangi Maona. Mereka saling berbagi cerita tentang keterpisahan tiba-tiba dengan keluarga; tentang negeri tujuan yang asing dan tidak pernah mereka dengar sebelumnya.
Parno dan Maona bersama puluhan orang senasib kemudian berada dalam satu kapal menuju Suriname. Mereka dipekerjakan sebagai buruh perkebunan tebu Waterloo di Distrik Nickerie, Suriname. Dua insan senasib itu jatuh cinta dan kemudian menikah di negeri baru itu. Mereka mempunyai dua anak bernama Painah dan Painem. Pairoon Somoredjo adalah anak dari Painah. Mereka beranak-pinak dan kini telah lahir generasi kelima.
Lingkaran sejarah
Lelakon atau perjalanan nasib manusia dari Jawa itu telah menjadi sejarah dalam kehidupan rakyat Suriname sampai hari ini.
”Sejarah menyadarkan kita
tentang dari mana kami berasal dan oleh karena itu kami tahu ke mana akan melangkah,” kata Jean-Pierre der Kayzer, Direktur Museum Fort Nieuw Amsterdam, Suriname.
Dia mengantar pengunjung berkeliling museum yang menyimpan sejarah kelam perbudakan di Suriname yang dihapuskan pada 1863. ”Kalau tidak mengenal sejarah, orang akan berjalan di lingkaran dan akan mengulang-ulang kesalahan,” katanya.
Tahun ini, genap 120 tahun lalu orang Jawa dikapalkan untuk dipekerjakan di Suriname. Itu nasib wong jowo, orang Indonesia pada zaman kolonial. Kini?
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment