Saturday, October 09, 2010

Aku yang Jagoan

-- Radhar Panca Dahana

SENYUM. Ya, senyum adalah salah satu sikap jiwa dan cermin budaya yang tampaknya semakin lenyap di wajah kita. Terutama pada orang-orang kota, yang jumlahnya hampir setengah penduduk negeri ini.

Wajah kita kian keras. Kerut di kening, ujung dan bawah mata kita cepat sekali menebal. Rahang, tulang pipi, dan pelipis membatu. Hidup semakin dilihat dan dirasakan bukan lagi sebagai tantangan, tapi juga ancaman. Jutaan orang di jalan, di mal, bahkan di perkantoran meminta setiap kita waspada terhadap ”serangan” dalam pelbagai bentuk dan dimensi karena kesombongan, iri hati, rasa ketidakadilan, persaingan, kebutuhan, dan sebagainya.

Lihatlah di jalan raya Jakarta. Tujuh juta motor membuat semua jalan raya menjadi sempit. Sebagian pengendara motor— bersama pengendara bus kota— melakukan trik apa saja di luar kesantunan hanya supaya waktu yang terasa semakin sedikit dapat direbut sesegera mungkin. Perilaku yang membuat semua pengendara mobil harus berjuang ekstra hati-hati untuk menghindari kecelakaan.

Kita mengumpat, mengeluh, dan mencoba menyabarkan hati. Bukan hanya dalam macet dan banjir luar biasa, tapi juga terhadap koran, televisi, atau internet. Kita menyaksikan kedegilan yang sulit difiksikan, mengisi ruang-ruang kontemplasi kita setiap hari. Menyaksikan para penegak hukum dan pejabat lebih membisingkan fasilitas dan akses pada kekuasaan ketimbang mengatasi kekerasan hidup. Kita tak berdaya melihat aparat justru berselingkuh dengan kekerasan.

Dalam situasi seperti itu, iklan dan gaya hidup mendesak-desak untuk mencapai taraf hidup yang lebih sering di atas kemampuan kita sebenarnya. Kita muak dan benci dengan kekerasan, tapi pada saat yang bersamaan kita merasa mendapat alasan bahkan keabsahan etis untuk melakukan kekerasan yang sama demi memenuhi taraf hidup itu. Aturan dan hukum hanya supreme pada retorikanya, tapi menjadi topeng atau bumper dari kedegilan kolektif di keseharian kita.

Itulah tragik dunia modern. Tragik demokrasi dan ekonomi (pasar) kapitalis yang kita sanjung-sanjung. Tragik yang membuat perampok tidak hanya menguras harta, tapi juga menyiram air keras ke muka korbannya. Tragik yang membuat ibu membakar diri dan dua anaknya. Tragik yang membuat sekelompok orang merampok bank dan membantai polisi di posnya dengan berkacak pinggang. Itulah tragik dari mereka yang berkelahi, menyabet kelewang, meremukkan kepala, hanya untuk alasan yang hampir tidak ada prinsipnya.

Itulah tragik dari jiwa yang sakit, jiwa seorang ”jagoan”.

Tradisi mengajarkan

Ilustrasi di atas terasa panjang untuk kolom seperti ini. Namun, ia menjadi begitu ringkas untuk menggambarkan bagaimana manusia—di tingkat personal dan komunal—mendapatkan alasan-alasan internal (psikologis) dan eksternal (sosial) untuk menjadi keras, (perlahan) menerima kekerasan, dan akhirnya mempraktikkannya. Tidak hanya kepada orang lain atau lawan, tapi bisa juga pada sahabat, anak-istri, bahkan diri sendiri.

Apakah siklus dan sirkus kekerasan ini sebuah realitas atau fakta sosial dari bangsa ini? Almarhum Pramoedya Ananta Toer di suatu media asing menyebutkan, kekerasan sudah menjadi naluri dasar manusia, adat, dan tradisi kita. Saat almarhum masih ada, saya sudah menolak konstatasi itu. Sebagai insting atau naluri purba, kekerasan sesungguhnya adalah milik setiap manusia, semua bangsa. Begitu juga kasih sayang dan cinta.

Kekerasan adalah salah satu ekspresi manusia dalam usahanya untuk survive, mempertahankan kelangsungan spesiesnya. Namun, dengan sejarah kebudayaan kita yang ternyata jauh lebih panjang dari Perancis, Inggris, bahkan hampir seluruh bangsa di Eropa, kekerasan itu tidaklah menjadi keliaran dan kebuasan animalistic. Adat menempatkannya sebagai bagian dari pertahanan diri belaka.

Pada tingkat pribadi, kekerasan bisa kapan saja terjadi. Namun, penyelesaian adat memberi ruang bagi pribadi-pribadi yang terlibat untuk melakukan secara terbuka, tanpa melibatkan massa atau komunitasnya. Kekerasan pada tingkat kolektif (komunal) hanya terjadi ketika prinsip umum dilanggar pihak lain sehingga defensi dilakukan bersama (kolektif).

Bila konflik dapat diselesaikan, secara kolektif ia tak bersisa. Tak menjadi dendam. Kita tak dendam kepada Belanda. Kita pun menyambut ramah orang Jepang. Dendam (yang ada) di tingkat pribadi bukanlah alasan untuk kekerasan masif. Apalagi membunuh karena dendam, tak pernah ia terjadi secara kolektif.

Hal-hal itulah yang tidak ada dalam latar belakang kekerasan kita kini.

Sebab-sebab baru

Jiwa patetis dan psikososial patologis kita belakangan ini tidak terjadi berdasarkan kewicaksanaan kultural yang sesungguhnya dikembangkan ribuan tahun di negeri ini. Perubahan zaman dan peradaban, dalam percepatan yang lebih hebat dari abad sebelumnya, membuat kita kewalahan dan tidak mampu dan tidak tahu bagaimana mewarisi tradisi-tradisi pelerai konflik yang kita miliki.

Psikologisme (internal) dan pemicu (eksternal) baru yang mendorong terjadinya kekerasan adalah dampak perubahan cara hidup itu. Pertama, secara internal kita mengalami ketakberdayaan karena kekalahan bertubi-tubi menghadapi realitas. Pejabat publik yang digaji uang rakyat dan diharapkan melindungi ternyata malah jadi pengkhianat.

Ketidakberdayaan total dari sebagian rakyat membuat mereka melakukan kekerasan pada kalangan sendiri di bawah dominasinya atau pada diri sendiri.

Di sebagian lain yang merasa memiliki cukup modal (sosial, ekonomi, politik, hukum) mencoba menaklukkan ketidakberdayaan dengan ekspresi kekerasan yang demonstratif: ”aku bisa menaklukkanmu” karena ”akulah jagoan”. Inilah sebagian kita saat memaki di jalan raya, mengumpat satpam yang menghambat kita, menyogok aparat, hingga memancung kepala.

Kedua, secara eksternal muncul stimulus-stimulus baru di tingkat pribadi yang dipenuhi nafsu merenggut fasilitas kuasa (hukum, politik, ekonomi). Dengan fasilitas tersebut, ia memilin nafsu menjadi nafsu kolektif. Terjadi proses berkelindan kedua faktor yang membuat persoalan remeh menjadi persoalan besar.

Akhirnya, faktor ketiga berupa produk hiburan serta keterbukaan informasi yang memberi kita kebebasan penuh untuk menikmati kekerasan, membuat jiwa kita pun kebal dan bebal. Kekerasan kian menjadi lumrah hingga kita pun merasa sah mempraktikkannya.

Karena itu, usaha menyelesaikan persoalan kekerasan saat ini tidak bisa hanya dengan antisipasi. Tanpa menyelami esensi atau dasar kekerasan lalu mencari solusi di tingkat itu juga, kekerasan akan terus terjadi. Dan semakin mengerikan.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Oktober 2010

1 comment:

SAIFZUHRI said...

biarkan yang terbaik untuk ummat ini akhi