Saturday, October 09, 2010

Harga Diri Bangsa

-- Hikmahanto Juwana

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengumumkan penundaan kunjungan kenegaraan ke Belanda pada 5 Oktober menyebutkan, salah satu alasannya adalah untuk menjaga harga diri bangsa.

Wujud harga diri bangsa dapat terlihat dan terasa ketika pemerintah melakukan respons terhadap isu yang muncul dalam menghadapi pihak ketiga dari luar negeri.

Dalam tiga bulan terakhir ada sejumlah kejadian yang memperlihatkan bagaimana harga diri bangsa diimplementasikan oleh pemerintahan Presiden SBY.

Pertama, respons pemerintah saat terjadi insiden perbatasan Indonesia-Malaysia pada tanggal 13 Agustus. Menjadi pertanyaan, apakah respons tersebut dirasakan publik Indonesia sebagai telah mengangkat harkat martabat dan harga diri bangsa?

Kedua, respons ketika jurnalis Sydney Morning Herald (SMH) yang memberitakan staf Kedutaan Besar Australia melakukan ”investigasi” atas pelanggaran HAM para tahanan di Ambon oleh Densus 88. Istilah ”investigasi” ini terkait dengan harga diri bangsa karena seolah ada intervensi Pemerintah Australia atas urusan domestik Indonesia.

Terakhir, respons pemerintah atas upaya hukum Republik Maluku Selatan (RMS) untuk mengganggu kunjungan kenegaraan Presiden SBY ke Belanda.

Terlepas dari pro-kontra atas tiga peristiwa yang terjadi, ada satu pelajaran yang dapat ditarik. Pemerintah tidak memiliki kriteria yang jelas bagaimana harga diri bangsa dioperasionalkan dalam keputusan yang diambil.

Dalam insiden 13 Agustus, kebijakan yang diambil pemerintah hanyalah meredam kemarahan publik ketimbang berhadapan secara frontal dan tegas dengan Pemerintah Malaysia. Padahal, pada kasus yang mirip, baru-baru ini China dan Jepang dapat saling bersikap tegas dan keras.

Dalam merespons insiden 13 Agustus, pemerintah justru menonjolkan betapa Indonesia memiliki ketergantungan kepada Malaysia sehingga terkesan enggan untuk bertindak tegas.

Belum lagi pemerintah telah gagal dalam mengidentifikasi secara akurat isu yang muncul antarkedua negara yang bergulir dan berkembang secara cepat.

Awalnya isu yang muncul adalah keabsahan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap nelayan Malaysia. Isu ini berkembang secara cepat menjadi kewajaran perlakuan terhadap petugas KKP yang ditahan oleh otoritas Malaysia.

Sayangnya, pemerintah tidak akurat dalam memberikan respons. Isu berkembang menjadi sentimen anti-Malaysia pada sebagian publik Indonesia yang tidak mungkin direspons dengan percepatan perundingan batas wilayah antarkedua negara.

Sementara itu, dalam isu intervensi yang dilakukan oleh Kedubes Australia, pemerintah terkesan kurang proaktif dalam melakukan respons. Justru Kedubes Australia yang agresif melakukan bantahan ke berbagai media massa di Indonesia bahwa tidak ada tindakan intervensi.

Pemerintah seharusnya merespons dengan mendesak Kedubes dan Pemerintah Australia untuk melakukan klarifikasi dan bantahan di SMH. Absen, bahkan lambannya respons, berakibat pada hilangnya momentum untuk mengangkat harga diri bangsa.

Dalam menanggapi upaya hukum yang dilancarkan oleh RMS di pengadilan Den Haag, pemerintah terlihat kurang dapat mengidentifikasi isu yang muncul dan cenderung salah dalam memberikan respons.

Seharusnya pemerintah tidak perlu khawatir atas upaya hukum yang dilakukan oleh RMS. Pemerintah juga tidak seharusnya terintimidasi dengan upaya-upaya nonkekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis.

Respons penundaan dan penggunaan kata-kata ’harga diri bangsa’ sangatlah berlebihan. Ulah RMS tidak seharusnya merusak hubungan bilateral Indonesia-Belanda.

Pasti akan berulang

Di masa mendatang, kejadian yang berhubungan dengan pihak luar negeri dapat dipastikan akan berulang. Apa langkah yang harus diambil pemerintah merespons berbagai isu yang muncul?

Paling tidak, ada enam langkah yang patut dipertimbangkan.

Pertama, perlu ditentukan secara akurat siapa pihak luar negeri yang dihadapi. Apakah pemerintah suatu negara, masyarakatnya, atau kelompok separatis yang bercokol di negeri itu?

Kedua, harus dikenali isu yang jadi pokok masalah dan diantisi- pasi jika isu beranak pinak menjadi sejumlah isu. Agaknya, mengenali isu bukanlah pekerjaan mudah bagi orang Indonesia.

Ketiga, setelah isu teridentifikasi, perlu dilakukan kajian dari berbagai segi, termasuk teknis. Ini dilakukan agar keputusan yang akan diambil didasarkan pada informasi yang akurat dan kajian yang komprehensif.

Selanjutnya, harus dicermati bagaimana reaksi publik atas isu yang muncul. Ini dilakukan agar keputusan sensitif dan sejalan dengan aspirasi publik. Kepercayaan publik atas keputusan yang akan diambil harus dibangun.

Kelima, barulah pengambilan keputusan yang tepat dan terukur dilakukan guna merespons isu yang muncul. Secara prinsipiil dan yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa suatu keputusan diambil haruslah keputusan yang berpihak pada kepentingan RI.

Keenam, keputusan harus didasarkan pada argumentasi yang solid. Soliditas argumentasi penting karena menjadi amunisi ketika berhadapan dengan pihak luar negeri. Di samping itu, argumentasi akan bermanfaat saat keputusan diwacanakan oleh publik dan media, bahkan saat diminta pertanggungjawaban oleh institusi yang berwenang.

Enam langkah ini harus dilakukan dalam waktu yang singkat. Ini mengingat pemerintah tidak memiliki kemewahan waktu dalam melakukan respons.

Akhirnya, rakyat hanya dapat berharap kepada para penyelenggara negara untuk senantiasa menjaga harga diri bangsa secara tepat dalam setiap kejadian.

Hikmahanto Juwana
, Guru Besar Hukum Internasional UI, Jakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Oktober 2010

No comments: