-- Budiarto Shambazy
MUSTAHIL pengadilan Den Haag menangkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena itu bertentangan dengan hukum internasional yang menjamin kekebalan (ratione materiae) kepala negara/pemerintahan dan menteri. Kekebalan berlaku untuk menghormati kedaulatan negara/pemerintahan.
Pengadilan Inggris gagal menangkap Presiden Zimbabwe Robert Mugabe saat berkunjung ke London. Kasus yang sama terjadi ketika Presiden Kuba Fidel Castro melawat ke Spanyol, Presiden China Jiang Zemin bertamu ke Amerika Serikat, atau Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Donald Rumsfeld ke Perancis.
Jika Mugabe, Castro, Jiang, atau Rumsfeld tak menjabat lagi, baru mereka bisa ditangkap di negara penuntut atau melalui Mahkamah Internasional (ICJ). Itu pun kalau terbukti melakukan kejahatan (genosida, perang, dan terhadap kemanusiaan) sebelum atau setelah jadi presiden/menlu.
Jakarta sempat meminta jaminan tertulis SBY tak akan diseret ke pengadilan begitu tiba. Namun, Den Haag menolak karena undangan dan jaminan Ratu Beatrix untuk SBY sudah lebih dari cukup.
Baru pertama kalinya terjadi dalam sejarah kita Kepala Negara membatalkan kunjungan saat pesawat sudah siap lepas landas. Dalam dunia internasional, pembatalan mendadak ini merupakan insiden diplomatik unik dan langka serta membuat malu citra kedua negara/bangsa.
Ia membuat malu bukan cuma karena rencana telanjur disiapkan sampai ke detail-detailnya dengan biaya tak sedikit, melainkan juga menurunkan wibawa kedua pemimpin/negara/bangsa di arena internasional. Meminjam istilah populer, ”Apa kata dunia”?
Pembatalan mendadak diputuskan jika terjadi force majeure seperti bencana alam. Pembatalan sebaiknya diputuskan jauh hari, seperti rencana lawatan SBY ke Brussels (Belgia) dan Moskwa (Rusia) yang dijadwalkan berlangsung bersamaan dengan kunjungan ke Den Haag ini.
Apalagi selalu ada ancaman terjadinya demonstrasi anti-Indonesia di negara mana pun tiap kali Kepala Negara melawat. Kita pun melancarkan demonstrasi menghebohkan tatkala Presiden AS George W Bush berkunjung ke Istana Bogor.
Mungkin Pak Harto ”bosan” menghadapi demonstrasi di mana-mana. Insiden terburuk dialami rombongan Pak Harto saat bus ”digoyang-goyang” sejumlah demonstran di Jerman, membuat Pak Harto menangkapi aktivis di dalam negeri yang dianggap terlibat.
Kemarin, sekitar 600 aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) unjuk rasa anti-Indonesia di Den Haag. Aparat bertindak tegas menangkapi 12 demonstran yang terlibat kerusuhan kecil akibat terjadinya saling provokasi.
Pembatalan kunjungan itu membuat RMS mendapat momentum kembali diberitakan media internasional. Setelah menyatakan kemerdekaan 23 April 1950, mereka hidup di alam mimpi.
Mimpi merdeka diidamkan generasi tua yang tiap tahun menaikkan bendera RMS. Generasi muda RMS, yang lahir dan dibesarkan di Belanda dan dijuluki ”Kentang Perancis” karena kebarat-baratan, tak tertarik lagi dengan ide kemerdekaan.
Sebagian lebih suka menjalin hubungan dengan Tanah Air melalui berbagai cara. Salah satunya yang sedang diupayakan adalah menawarkan program naturalisasi agar pemain-pemain sepak bola berdarah Maluku memperkuat tim nasional kita.
Mereka punya ”pemerintahan pelarian” dengan total populasi sekitar 50.000 saja. Mereka termakan gombal Belanda yang berjanji mendirikan negara Maluku Selatan sebagai balas jasa atas dukungan serdadu-serdadu Ambon yang berpihak kepada Belanda setelah Proklamasi.
Belanda ingkar janji karena Bung Karno menumpas RMS, salah satu pemberontakan paling awal tak lama setelah kemerdekaan kita. Rasa kecewa RMS terhadap Belanda setiap tahun menggumpal dan kadang dilampiaskan mencapai tingkat ekstrem dalam bentuk teror.
Mereka pernah menduduki kedutaan besar kita di Den Haag sekaligus menyandera beberapa staf. Tahun 1975 dan 1977 mereka membajak kereta api dan menyandera penumpang—termasuk perempuan dan anak-anak—menimbulkan antipati masyarakat Belanda.
Sejak itu RMS meninggalkan metode kekerasan dan kepemimpinan Presiden RMS John Wattilete memilih cara-cara non-kekerasan, termasuk lobi dan dialog. Bahkan, ia memandang Indonesia tak lagi musuh abadi dan tak keberatan dengan gagasan otonomi Maluku Selatan.
Suka atau tidak, pembatalan kunjungan menaikkan kembali RMS ke panggung pertunjukan. Sebaiknya lawatan baru dijadwalkan kembali secepatnya setelah pemerintahan baru hasil pemilu Juni lalu terbentuk dan dilantik Ratu Beatrix.
Banyak yang menduga, pembatalan diputuskan karena SBY kurang mendapat masukan akurat tentang kondisi Belanda. Ada spekulasi menyebut tentang upaya membesar-besarkan ancaman RMS membahayakan keamanan fisik rombongan SBY.
Ada spekulasi tentang kekhawatiran bergabungnya Geert Wilders ke kabinet baru pemerintahan yang akan dipimpin partai liberal konservatif Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD) pimpinan Mark Rutte. Wilders politisi anti-Islam.
Belanda negeri kecil yang letaknya jauh dan kurang vital untuk kepentingan kita, negara menengah di Asia. Kita hanya sesekali melihat atau mendengar tentang ulah mereka.
Terakhir kita saksikan tim sepak bolanya main kasar di final Piala Dunia 2010, sebelum itu mendengar ulah nyentrik Wilders. Seperti kata orang tua kita, londo édan ora kato’an.
Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment