Thursday, October 07, 2010

Pengakuan RI Merdeka Tahun 1945

-- Huala Adolf

PADA kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-9 Oktober 2010, Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan RI.

Kunjungan tersebut mendadak dibatalkan. Padahal, pengakuan itu memberi kedudukan hukum penting bagi RI sebagai negara di mata Belanda.

Pengakuan ini sekaligus merupakan pengakuan de jure terhadap RI, artinya Belanda melihat RI sebagai negara yang berdaulat atas wilayahnya. Pengakuan tertulis itu menyebutkan Belanda menyatakan RI merdeka tahun 1945 (Kompas, 2/10).

Pengakuan itu juga akan menandai sejarah dan lembaran baru bagi hubungan kedua negara. Begitu Belanda mengakui RI adalah negara berdaulat sejak 1945, sejak itu pula RI memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban sesuai hukum internasional. Yang juga penting, pengakuan Belanda mengakhiri polemik kapan sebenarnya penyerahan kedaulatan Belanda ke RI.

Menjadi polemik karena menurut Belanda status kedaulatan RI belum jelas. Belanda melihat kedudukan RI sebagai negara berdaulat masih bermasalah secara hukum internasional.

Segera setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Belanda berupaya mengambil kembali kekuasaannya atas wilayah Indonesia. Upaya pengambilalihan secara militer ini dikenal sebagai agresi militer kesatu (1947) dan kedua (1949).

Pengakuan kedaulatan RI justru datang dari Mesir dan India, yang sebenarnya sudah cukup memperkuat status hukum RI sebagai negara baru menurut hukum internasional.

Dua bentuk pengakuan

Pengakuan suatu negara dapat dibagi dalam dua bentuk: de facto dan de jure. Suatu negara memberi pengakuan de facto apabila mengakui kemerdekaan atau lahirnya suatu negara baru. Negara itu memberi pengakuan de facto karena masih menyangsikan, apakah negara baru itu mampu menjalankan kedaulatan di dalam negeri dan mampu menjalin hubungan luar negeri.

Pengakuan de jure diberikan ketika suatu negara menerima penuh lahirnya suatu negara baru. Negara itu tidak menyangsikan lagi eksistensi dan kemampuan negara baru memerintah ke dalam dan ke luar berhubungan dengan negara lain.

JL Brierly (1955) mengungkapkan bahwa pengakuan sebenarnya lebih banyak bernuansa politis daripada hukum. Menurut Podesta Costa (1979), pengakuan tidak wajib dan lebih bersifat fakultatif. Artinya, suatu negara akan memberi atau tidak sifatnya sukarela dan tidak ada dampak hukum apa pun.

Pemberian pengakuan Belanda kepada RI menjadi penting bagi kedudukan RI. Pertama karena Pemerintah Belanda selama ini menganggap hanya menandatangani penyerahan kedaulatan tahun 1949 (Kompas, 2/10).

Kedua, Pemerintah Belanda belum atau tidak pernah secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah RI. Belanda tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Sarjana hukum internasional terkemuka dan mantan pejabat Kementerian Luar Negeri Belanda, Herman Burgers, dalam tulisannya, What Sovereignity was Transferred to the Republic of Indonesia? (1999), menegaskan bahwa Belanda tidak pernah menyerahkan kedaulatan kepada RI. Menurut Burgers, kedaulatan Belanda diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 23 Agustus 1949.

Konferensi dihadiri perwakilan Belanda, RI, serta wakil dari utusan negara federal Indonesia. Disepakati kedaulatan Belanda diserahkan kepada RIS.

Penyerahan kedaulatan secara resmi berlangsung di istana Kerajaan Belanda di Amsterdam, 27 Desember 1949. Acara dihadiri oleh perwakilan Belanda, yaitu Ratu Juliana, dan wakil dari RIS, Mohammad Hatta.

Kedua rangkaian peristiwa menunjukkan bahwa penyerahan kedaulatan Belanda adalah kepada RIS, bukan RI. Itu sebabnya, mengapa selama ini Belanda tidak pernah mengakui RI secara de jure. Dapat pula kita pahami mengapa selama ini Pemerintah Belanda absen dalam acara peringatan 17 Agustus.

Persepsi RI, seperti yang kita pegang teguh, adalah tidak pernah menerima kedaulatan dari Belanda. Kita berjuang sendiri, memproklamasikan kemerdekaan, dan menyatakan diri sebagai suatu negara.

Pada kenyataannya, dengan atau tidak adanya pengakuan, sebagai suatu negara, RI telah memenuhi persyaratan sebagai negara seperti yang disyaratkan Konvensi Montevideo 1933. Sebagai negara, RI memiliki penduduk, pemerintahan, wilayah, dan kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain.

Arti penting pengakuan

Meski demikian, penyerahan pengakuan secara tertulis dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI tetap merupakan peristiwa sejarah penting bagi RI. Pengakuan ini akan mengubah kedudukan RI sebagai suatu negara di mata Belanda.

Meski JL Brierly berpendapat pengakuan itu sifatnya politis, bukan hukum, atau Podesta Costa yang menyatakan pengakuan itu sifatnya fakultatif, pemberian pengakuan tetap bermakna.

Pengakuan Belanda berbeda dengan pengakuan Mesir atau India. Karena diberikan negara eks koloni, secara implisit menunjukkan pengakuan Belanda bahwa RI memang telah berdiri sebagai negara yang berdaulat, terlepas dari ada tidaknya penyerahan kedaulatan dari Belanda sejak 17 Agustus 1945!

Huala Adolf, Guru Besar pada Fakultas Hukum Unpad Bandung

Sumber: Kompas, Kamis, 7 Oktober 2010

No comments: