Saturday, October 09, 2010

[Sosok] Mario Vargas Llosa: Nobel untuk Amerika Latin

-- Dahono Fitrianto

”SEORANG penulis tidak boleh menjadi patung”. Demikian keyakinan Mario Vargas Llosa, penulis kelahiran Peru yang menjadi pemenang Hadiah Nobel Sastra 2010. Seorang penulis, menurut dia, harus selalu berpijak pada dunia nyata.

Mario Vargas Llosa (AFP/EMMANUEL DUNAND)

Dengan bekal keyakinan itu, tak heran Akademi Swedia memutuskan menghadiahkan Nobel Sastra kepada Vargas Llosa atas ”kemampuan pemetaan struktur kekuasaan dan penggambaran tajam atas perlawanan, pemberontakan, dan kekalahan seseorang” dalam setiap karyanya.

”Saya tak pernah suka gagasan menjadi penulis yang terjebak di dalam perpustakaannya sendiri, terputus dari dunia, seperti yang dilakukan Proust. Saya harus mempertahankan pijakan di dunia nyata, tahu apa yang sedang terjadi. Itu sebabnya saya masuk ke jurnalisme,” kata Vargas Llosa kepada kantor berita Agence France Presse (AFP), tahun lalu.

Dengan pola pikir seperti itu dan pengalaman jurnalistiknya, tulis AFP, Vargas Llosa tidak terhanyut dalam arus gaya penulisan realisme-magis, seperti lazimnya penulis Amerika Latin era 1960-1970-an semacam Gabriel Garcia Marquez.

Alih-alih, dia justru menunjukkan kemampuan membuat deskripsi peristiwa dengan sangat tajam dan realistis meski itu dalam sebuah novel fiksi.

Adegan-adegan pembunuhan, pemerkosaan, dan berbagai tindak kekerasan lain digambarkan dengan sangat detail, bahkan brutal, dalam beberapa novelnya. Hal itu menjadi ciri khas dari karya-karya Vargas Llosa yang pernah menjadi wartawan bidang kriminal pada tabloid La Cronica di Lima, Peru.

Pengalaman yang tumbuh

Kantor berita Reuters menulis, novel-novel karya Vargas Llosa sering dibuat berdasarkan pengalaman pribadi di dunia nyata.

Novel internasional pertamanya, La Ciudad y Los Perros (1963, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Time of the Hero, 1966), didasarkan pada pengalamannya menjadi siswa akademi militer di Lima, Peru. Sebuah pengalaman yang ia gambarkan ”seperti menemukan neraka”.

Pada saat terbit, novel ini dianggap kontroversial di Peru. Sampai-sampai para opsir di Akademi Militer Leoncio Prado itu ramai-ramai membakar sekitar 1.000 eksemplar novel itu di depan umum.

Pengalaman Vargas Llosa menikahi tantenya sendiri, Julia Urquidi, yang berusia 13 tahun lebih tua dari dia, dituangkannya dalam bentuk fiksi lewat novel La Tía Julia y El Escribidor (1977, Aunt Julia and the Scriptwriter, 1982).

”Karya seorang pengarang itu diilhami oleh pengalaman pribadinya sendiri dan setelah bertahun-tahun akan tumbuh semakin kaya,” ujarnya kepada Reuters di Madrid, Spanyol, 2001.

Vargas Llosa lahir di kota Arequipa, Peru selatan, 28 Maret 1936, dari pasangan Ernesto Vargas Maldonado dan Dora Llosa Ureta. Orangtuanya kemudian bercerai dan ia dibesarkan oleh ibu serta kakeknya yang menjadi konsul Peru di Bolivia. Pada 1946, ia dan keluarganya kembali ke Peru, di kota kecil Piura.

Setelah ayah dan ibunya rukun kembali, mereka pindah ke Lima. Umur 14 tahun, dia didaftarkan di Leoncio Prado di Lima. Setahun kemudian, ia sudah menjadi reporter paruh waktu di sebuah koran lokal.

Pindah ideologi

Pada 1959, setelah lulus kuliah dan menikah dengan tantenya itu, Vargas Llosa pindah ke Paris, Perancis. Di kota ini ia menjadi guru bahasa dan bekerja sebagai wartawan untuk AFP serta penyiar Radio Television Francaise.

Di Paris dia mulai menulis novel. Beberapa karya awalnya, selain La Ciudad y Los Perros, antara lain, La Casa Verde (1966/The Green House, 1968), Conversación en La Catedral (1969/Conversation in The Cathedral, 1975), dan Pantaleón y Las Visitadoras (1973/Captain Pantoja and the Special Service, 1978).

Tahun 1964 ia bercerai dengan Julia dan setahun kemudian menikahi sepupunya sendiri, Patricia Llosa. Pernikahan mereka dikaruniai tiga anak.

Seperti lazimnya kaum intelektual di Amerika Latin pada era 1960-an, Vargas Llosa mendukung perjuangan Fidel Castro yang beraliran kiri di Kuba. Namun, memasuki 1970-an, ia berbalik menentang Castro. Dia benci rezim otoriter dan pindah haluan ideologi menjadi pendukung kapitalisme, pasar bebas, liberalisme, dan demokrasi.

Perpindahan ideologi ini membuat Vargas Llosa dimusuhi kawan-kawan penulis yang masih berhaluan kiri, seperti Gabriel Garcia Marquez dari Kolombia dan Guenter Grass dari Jerman. Permusuhan dengan Marquez bahkan dikabarkan sampai menjadi baku pukul saat kedua penulis besar itu berada di Mexico City pada 1976.

Saat mendengar Vargas Llosa meraih hadiah Nobel Sastra 2010, Garcia Marquez dikabarkan langsung membuat tweet di situs jejaring sosial Twitter berbunyi, ”cuentas iguales”. Menurut Associated Press, kalimat itu adalah cara puitis untuk mengatakan, ”sekarang kita impas” dalam bahasa Spanyol. Marquez meraih Nobel Sastra 1982.

Kerja intelektual

Pertengahan 1970-an, Vargas Llosa mulai mengajar di sejumlah universitas di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa. Ia semakin produktif dan membuat segala jenis tulisan, mulai dari novel sejarah, roman erotis, novel kriminal, komedi ringan, skenario teater, memoar, hingga esai-esai akademik. Tak kurang dari 30 judul telah ia tulis sepanjang kariernya.

Pada 1990 ia tiba-tiba mencalonkan diri menjadi presiden Peru. Dia maju ke pemilihan presiden menantang Alberto Fujimori. Ia kalah telak.

”Sejujurnya, saya tak pernah punya karier politik. Saya ambil bagian dalam politik karena keadaan yang sangat khusus. Saya selalu bilang, menang atau kalah dalam pemilu itu saya tetap akan kembali ke dunia sastra, kerja intelektual, bukan politik,” tutur Vargas Llosa.

Kecewa dengan Fujimori yang menjadi otoriter ala diktator, penulis ini pindah dan menjadi warga negara Spanyol.

Meski sudah sejak lama disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat peraih Nobel Sastra, Vargas Llosa mengaku tetap kaget saat ditelepon Akademi Swedia, Kamis (7/10). ”Saya sungguh-sungguh terkejut, saya tidak menyangka,” tuturnya kepada Radio Nasional Spanyol.

Dalam wawancara dengan radio RCN dari Kolombia, menurut Vargas Llosa, hadiah ini adalah penghargaan bagi dunia sastra Amerika Latin.(AFP/AP/Reuters)

Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Oktober 2010

1 comment:

Irfan Fay said...

Hello Cabik Lunik,

Wah, beritanya bagus. Ini ada posting blog serupa, "Paten Ilmuwan Pemenang Nobel" di blog Senangs.

Liat juga facebook Senangs dan Twitter Senangs.

Keren deh. TQ!