Jakarta, Kompas - Pelarangan buku tidak lagi relevan dengan demokrasi di Indonesia. Selain mengebiri kebebasan berpendapat dan menghambat masyarakat mendapatkan pengetahuan lebih luas, pelarangan buku oleh negara itu juga masih menggunakan aturan hukum yang tidak lagi relevan dengan kondisi kekinian.
Demikian benang merah dari seminar hasil penelitian yang dilakukan lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2media) tentang pelarangan buku di Indonesia, Selasa (5/10) di Jakarta. Pembicara seminar itu adalah Koordinator Tim Riset PR2media Iwan Awaluddin Yusuf; anggota Komisi I DPR (Fraksi PKB), Lili Chadijah Wahid; penulis dan pendiri penerbitan Resist Book, Eko Prasetyo; serta Th J Erlijna dari Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI).
”Tindakan pelarangan buku oleh negara dan masyarakat merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam negara demokrasi. Kalaupun ada keberatan terhadap isi buku, hal itu bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum, tanpa harus melakukan pelarangan,” kata Iwan.
Rekomendasi dari hasil riset PR2media tersebut, pemerintah sebaiknya tidak hanya menghentikan pengawasan terhadap buku, tetapi juga menghentikan pelarangan buku. Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum sebaiknya juga dicabut. Undang-undang tersebut selama ini dijadikan dasar untuk melakukan pelarangan buku.
Menurut Lili, pemerintah sebaiknya tidak lagi menggunakan aturan kedaluwarsa yang tak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Jika memang diperlukan pengaturan baru, peraturan itu bukan untuk melarang buku, melainkan mendorong perkembangan buku di Indonesia.
Erlijna mengkritik alasan ketertiban umum yang biasa digunakan pemerintah untuk melarang sebuah buku. Kriteria mengganggu ketertiban umum yang digunakan selama ini tidak jelas sehingga Kejaksaan Agung yang diberikan wewenang mengawasi dan melarang suatu buku seperti membuat kriteria sendiri. Uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas UU No 4/PNPS/1963 tengah diajukan ISSI dan sejumlah pihak lain. (why)
Sumber: Kompas, Rabu, 6 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment