Ubud, Kompas - Rasisme sampai kini masih tetap hidup di tengah masyarakat mana pun. Sikap merasa lebih baik dari ras lain, kebudayaan lain, bangsa lain, dan agama lain menjadi akar aneka konflik pada abad modern ini. Mulai dari sekadar sentimen rasial sampai aksi terorisme.
Pandangan ini mengemuka dalam beberapa sesi diskusi dengan sejumlah pengarang dalam dan luar negeri pada acara Citibank-Ubud Writers and Readers Festival ke-7 di Ubud, Bali, Kamis (7/10), yang diikuti lebih dari 100 penulis buku dari 30 negara.
Anne-Ruth Wertheim yang lahir di Indonesia pada masa penjajahan Belanda melakoni sejumlah pengalaman rasisme pada masa kecilnya. Sebagai warga Belanda, posisi sosialnya lebih tinggi dari warga Indonesia. Namun, ketika Jepang datang dan menjajah Indonesia, posisinya anjlok menjadi warga kasta terendah. Ayahnya yang keturunan Yahudi menimbulkan diskriminasi baru baginya karena Jepang memisahkan kamp tahanan bagi mereka yang Yahudi dan non-Yahudi.
Pengalaman itu mendorong Wertheim menggalang kampanye global antirasisme. Situasi dunia saat ini membuka peluang terjadinya bentuk baru rasisme, yang, antara lain, didasari kompersaingan, seperti antara penduduk lokal dan imigran. Pasca-aksi teror 9/11, situasi diperkeruh dengan munculnya prasangka kepada warga Muslim.
Bagaimana proses mengubah perspektif individu menjadi lebih toleran dan menghargai perbedaan mengemuka dalam acara bincang-bincang dengan Noor Huda Ismail, penulis buku Temanku, Teroris?, yang dipandu Michael Vatikiotis. Buku itu ditulis berdasarkan pengalaman Noor Huda, di mana teman sekamarnya saat belajar di Pondok Pesantren Ngruki, Utomo Pamungkas alias Fadlulah Hasan, dinyatakan terlibat dalam Bom Bali I. Apa yang membuat mereka menjalani pilihan hidup berbeda?
Ajaran dari ibu, antara lain, berperan di sini. ”Sejak kecil ibu saya mengajari berpikir kritis. Untuk tak takut mempertanyakan apa pun,” ujarnya. Noor Huda menekankan pentingnya para guru sekolah mendorong murid-muridnya berpikir kritis, bahkan di pesantren sekalipun.
Salah satu bentuk kekerasan akibat perbedaan pandangan, antara lain, ditunjukkan pemerintahan Orde Baru yang memenjarakan penyair Sitor Situmorang (86) selama hampir delapan tahun tanpa proses pengadilan, tanpa pemberitahuan apa kesalahannya. (MYR)
Sumber: Kompas, Jumat, 8 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment