Thursday, October 07, 2010

Timbangan Buku: Dikotomi Batak dan Melayu Masa Kolonialisme

-- Khairul Ikhwan Damanik

DATA BUKU

• Judul Buku: Kolonialisme dan Etnisitas. Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut • Penulis: Daniel Perret • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia • Cetakan: I (Pertama), 2010 • Tebal: 448 halaman

DI masa kolonialisme, status sosial etnik Melayu dan Batak di Sumatera Utara seolah memiliki kasta. Melayu di pesisir menjadi kelompok elite, sementara Batak di pegunungan statusnya lebih rendah.

Era kolonialisme ternyata mampu membangkitkan kesadaran etnik Batak sebagai sebuah entitas. Kondisi itu yang digambarkan Daniel Perret dalam buku ini, yang merupakan hasil disertasi doktoralnya di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris.

Pada masa jajahan Belanda, etnik Batak dan Melayu dipisahkan dalam zona teritorial. Rumusan utama dalam pembuatan garis batas ini adalah etnik yang tinggal di daerah tersebut, yakni Batak ataupun Melayu dengan ciri khas bahasa atau pakaiannya. Belakangan, penarikan batas wilayah berdasarkan etnik ternyata tidak berguna. Batas itu menjadi kabur karena ternyata ada proses akulturasi orang Batak menjadi Melayu. Akhirnya kolonial Belanda membuat lagi batas wilayah tanpa memerhatikan unsur etnik, semata-mata wilayah topografi saja (hal 216), tetapi dengan tujuan memutus hubungan dataran tinggi dan pesisir (hal 244).

Akulturasi etnik

Akulturasi Batak dan Melayu dipicu kehadiran perkebunan-perkebunan besar di Deli. Etnik Batak merupakan penyuplai utama tenaga kerja, baik sebagai budak maupun orang gajian. Situasi ini terjadi karena sulit dan mahalnya mendapatkan tenaga kerja dari Penang, Malaka, yang sebelumnya memasok tenaga kerja keturunan India dan China. Maka, mendatangkan penduduk pengunungan menjadi opsi termudah dan termurah untuk mendapatkan tenaga kerja.

Etnik Batak selanjutnya semakin banyak di kawasan pesisir. Tidak sekadar hidup dan bekerja di wilayah Melayu, orang-orang pedalaman ini juga akhirnya memelayukan dirinya. Ketika seseorang menjadi Melayu, maka dia mengadopsi semua identitas Melayu, yaitu beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mengikuti adat Melayu (hal 169). Akulturasi ini juga berarti mengubah identitas diri dengan nama Melayu dan biasanya diiringi dengan pelepasan marga atau merga kendati tak berarti melepas ikatan primordial dengan etnik asal.

Ada tiga kelebihan strategis mengapa seorang Batak ingin berubah menjadi Melayu. Menjadi Melayu. Perubahan ini berarti menghindari kemungkinan dijual sebagai budak. Identitas Melayu juga dapat dimanfaatkan untuk mengolah tanah bagi kepentingan sendiri setelah menikahi seorang Melayu. Selain itu, seorang pemimpin dari pedalaman yang menjadi Melayu dan tinggal di muara sungai dapat memperoleh dukungan dari orang-orang Melayu dan posisinya menguntungkan menjadikan kampung-kampung di udik kurang lebih bergantung padanya (hal 171).

Namun, dari semua itu, sepertinya ada aspek ketidaknyamanan terhadap nama Batak itu sendiri yang kemudian membuat seorang Batak menjadi Melayu. Stereotip nama Batak mengarah kepada penghinaan, pelekatan sebutan orang Melayu kepada orang pedalaman dengan maksud merendahkan. Sebutan ini muncul dari pertentangan dengan identitas Melayu. Seluruh penduduk pedalaman dimasukkan dalam kategori Batak, yang merujuk pada bukan Melayu, bukan Islam, beradat kasar, bahkan sampai menjadi kanibal (hal 173).

Strategi agama

Proses melayunisasi, yang otomatis berarti islamisasi, menggelisahkan Belanda. Maka, diciptakan ruang-ruang untuk membangkitkan kesadaran etnik. Di antaranya sistem peradilan yang berlaku untuk kawasan Batak, menghadirkan kontrolir yang khusus mengurusi Batak, dengan tugas menyelesaikan pertikaian orang Batak dengan Melayu, terutama dalam bidang batas wilayah kampung. Kontrolir juga berupaya menghapuskan keterikatan secara politik antara wilayah Dusun yang tunduk kepada kesultanan Deli dan penduduk dataran tinggi yang tidak seharusnya tunduk kepada kesultanan (hal 212).

Di Karo, diberlakukan adat peradilan wilayah yang disusun dalam bahasa Karo pada tahun 1909 yang berakibat pembentukan suatu ruang peradilan besar yang belum pernah ada sebelumnya (hal 244).

Pada awalnya Belanda tidak berkepentingan terhadap penyebaran agama. Perkembangan belakangan membuat Belanda mengambil strategi ini untuk menguasai Batak. Belanda membatasi gerakan dakwah Islam dan memberi porsi yang sangat besar bagi penyebaran Kristen. Mulai tahun 1878, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil menerbitkan larangan mengangkat orang Islam menjadi pegawai pemerintah di sana. Di wilayah Simalungun, Pemerintah Kolonial dan misionaris mendatangkan petani dan pegawai beragama Kristen yang berasal dari selatan Danau Toba. Pelarangan juga dilakukan terhadap pendakwah yang ingin mendirikan kedai di wilayah Batak karena kedai dianggap sebagai tempat yang strategis untuk penyebaran Islam, tetapi izin diberikan kepada misionaris untuk membuka kedai yang memang dimaksudkan untuk tempat penyebaran agama (hal 237).

Kekhawatiran Belanda terhadap Islam dipicu masalah yang dihadapinya ketika perang dengan Aceh yang membutuhkan waktu demikian lama. Pengaruh Aceh sebagai basis Islam yang terus bergerak memasuki wilayah Batak dianggap berbahaya untuk kepentingan kolonialisasi. Maka, dipandang perlu mengembangkan agama Kristen secara lebih intensif di Bataklandeen. Dalam salah satu pidatonya dalam sidang di parlemen Belanda, anggota Tweede Kamer (Dewan Kedua), JT Creemer, menilai masalah Aceh ini menjadi dasar penting untuk membuat misi Nederlandsche Zendelinggenootschap ke wilayah Batak. Menurut pendapatnya, tidak diragukan bahwa setelah berpindah agama, orang Batak tidak akan menimbulkan masalah bagi penguasa kolonial (hal 261).

Misionaris

Islam lebih dahulu masuk ke Tanah Batak, baik karena andil perdagangan di Barus, infiltrasi, maupun intervensi Aceh, serta serangan dari pasukan Paderi. Namun, pada akhirnya misionaris yang datang ke Batak berhasil mengangkat identitas etnik dan agama sebagai sebuah identitas yang menyatu. Seperti halnya keidentikan Melayu dengan Islam, maka Batak juga diidentikkan dengan Kristen. Identitas etnik memang kadang-kadang berimpit dengan ikatan-ikatan agama dan berbagai ciri-ciri primordial lainnya sehingga ikatan itu menjadi sangat kuat. Ikatan-ikatan primordial ini dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu berdasarkan situasi yang berbeda-beda (Pelly, 2003).

Dalam buku ini, Perret menunjukkan, ternyata kepentingan dari luar kelompok etnik dapat memberi warna dan bahkan memberi pengaruh besar pada perkembangan kelompok etnik itu sendiri. Pembatasan wilayah dan penyebaran agama ternyata memberi makna yang kuat, memperteguh kebatakan anggota kelompok etnik itu. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Barth (1988), yang menilai ada dua faktor utama yang mampu mempertahankan budaya suatu suku atau bangsa, yakni faktor isolasi geografis dan isolasi sosial. Pembatasan wilayah Batak dan Melayu yang dilakukan Belanda berdasarkan geografis, membuat kedua aspek tersebut ada, dan bisa jadi merupakan salah satu alasan mengapa eksistensi Batak masih kuat sampai sekarang.

Khairul Ikhwan Damanik, Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan

Sumber: Kompas, Kamis, 7 Oktober 2010

No comments: