-- Yeni Maulina
JUDUL tulisan ini, bagi banyak orang, mungkin akan menggiring ingatannya pada nama tokoh tertentu. Orang yang senang ngegosip akan ingat Julia Perez, artis fenomenal yang selalu blak-blakan dalam bertutur kata itu. Lain halnya penggila bola, mungkin yang diingatnya Miguel Perez Cuesta, atau lebih dikenal dengan nama Michu (pemain gelandang Swansea, Inggris) atau Diego Perez (pemain gelandang Bologna, Italia). Begitu pun bagi yang lain, judul tulisan ini dapat saja mengingatkannya pada Shimon Peres (Presiden Israel), Otto Perez Molina (Presiden Guatemala), atau Alan Garcia Perez (Presiden Peru).
Tulisan ini tidak membicarakan tokoh-tokoh itu. Yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah ihwal kata perez dan teman-temannya (seperti gengges, kepo, rempong, sekong, sindang, lambreta, dan sapose). Kata-kata jenis itu menarik untuk dibicarakan karena ajaib, dominasinya telah merambah hingga ranah media massa eletronik.
Entah dari mana asal muasal kata-kata ajaib itu. Yang pasti, beberapa kata ajaib itu dipakai sebagai judul program tayangan beberapa stasiun televisi: “Kepo Quiz” (Trans7), “Gengges” (Trans), dan “Chit Chat Cuzz” (Trans Tv). Konon, program-program itu juga menempati posisi (rating) atas. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat animo peminat yang mengantre untuk menjadi peserta program. Ajaib bukan? Padahal, dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran (termaktub pada Bab IV, Pasal 37 tentang Bahasa Siaran) disebutkan bahwa bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada kenyataannya, di samping menggunakan kata-kata ajaib tadi, program-program tayangan televisi juga menggunakan bahasa asing: misalnya “Ring of Fire” (Metro Tv), “Eat Bulaga” (SCTV), dan “Mels Update” (Anteve).
Usut punya usut, ternyata kata-kata ajaib itu lahir dari bahasa gaul yang sejak tahun 70-an sudah dipakai oleh kalangan/kelompok tertentu. Dalam perkembangannya, karena terus “dimanipulasi”, bahasa gaul pun selalu berubah, seolah-olah melahirkan “jenis bahasa baru” yang lain, seperti bahasa alay dan/atau baby talk ‘celoteh bayi’ yang belakangan ini marak.
Bagi sebagian orang (terutama yang bukan pengguna), keberadaan bahasa ini tentu sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Pemanipulasian terhadapnya dilakukan secara semena-mena. Dalam tulisan, misalnya, bahasa ini mengacaukan penggunaan angka dan huruf: 3=E, 7=T, 5=S, 13=B, 12=R. Begitu pun dalam pembentukan dan pemilihan kata. Di samping yang dipleset-plesetkan (seperti kata ciyus ‘serius’, mi apah ‘demi apa’, cemungud ‘semangat’, dan cungguh ‘sungguh’), kosakata bahasa ini juga penuh dengan ketidaklaziman (seperti ala-ala ‘pura-pura’, kepo ‘ingin tahu’, dan unyu-unyu ‘lucu’). Artinya, sekalipun kata kepo, misalnya, dapat diduga merupakan singkatan dari knowing every particular object (Inggris) atau merupakan serapan dari kaypoh (Hokkian), kosakata itu tetap membingungkan karena tidak mengikuti kaidah/aturan yang tetap.
Bagaimana dengan kata perez, gengges, kepo, rempong, sekong, sindang, lambreta, dan sapose? Setali tiga uang, sama saja: membingungkan!
Menurut sebagian orang, kata perez diartikan ‘pura-pura, bohong, atau palsu’, sebagian yang lain mengartikannya ‘tidak tulus’. Gengges masih dapat diduga-duga, berasal dari kata ganggu dengan tambahan –es (agar terkesan keinggris-inggrisan). Sementara itu, rempong ‘repot, ribet’, sekong ‘sakit, kelainan seksual’, sindang ‘(ke) sini, ajakan’, lambreta ‘lama’, dan sapose ‘siapa’ sulit dijelaskan proses pembentukannya.
Fenomena bahasa gaul, alay, dan/atau baby talk, karena oleh sebagian orang selalu dicurigai dapat merusak tatanan baku bahasa Indonesia, perlu disikapi secara arif. Dalam batas-batas tertentu (tidak digunakan secara membabi-buta), fenomena itu justru harus dianggap sebagai sebuah kreativitas berbahasa. Artinya, bahasa jenis ini tidak perlu terlalu dirisaukan selama digunakan secara baik, sesuai dengan situasi pemakaiannya. Dalam kenyataannya, meskipun sudah terjadi sejak lama, fenomena bahasa itu tidak pernah mengancam eksistensi bahasa Indonesia dalam ragam-ragam tertentu (seperti jurnalistik, ilmiah, dan sastra sekalipun).
Mengapa fenomena bahasa gaul, alay, dan/atau baby talk tidak perlu dikhawatirkan? Ya jawabannya sederhana saja, karena berbahasa sesungguhnya sama dengan berekspresi diri. “Bahasa menunjukkan bangsa,” begitu kata pepatah dalam konteks (ber)bangsa. Dalam korteks pribadi, pepatah itu tentu dapat diubah menjadi, “Bahasa menunjukkan diri.” Nah, kata kuncinya ada pada (menunjukkan) diri. Ilmuwan misalnya, dengan demikian, hanya akan terlihat tingkat keilmuannya ketika berbahasa ilmiah, bukan ketika berbahasa alay. Kalaupun sesekali menggunakan kosakata bahasa alay, bisa jadi, ilmuwan itu hanya bermaksud agar dirinya dianggap “gaul”. Begitu pula sastrawan, agar terlihat tingkat kesastrawanannya, tentu harus berbahasa sastra dalam berkarya.
Lalu, bagaimana dengan beberapa judul program tayangan televisi yang berbahasa alay dan asing? Mungkin, judul-judul itu pun hanya dimaksudkan agar dirinya (stasiun televisi) dianggap “gaul” sekaligus bermaksud menarik penonton dari kalangan yang senang berbahasa gaul atau asing.Yang pasti, perlu dilakukan penelitian keterkaitan antara judul program dan tingkat/rating-nya agar ada kejelasan. Selama ini pihak stasiun televisi selalu mengklaim bahwa judul program (berbahasa alay dan asing) itulah yang mendongkrak rating-nya. Sungguh mengherankan! Padahal, animo masyarakat pada program-program tayangan televisi dapat saja disebabkan oleh ketertarikan pada isi dan/atau pengelolaannya yang baik, bukan pada judulnya.
Kasus yang sama dapat dilihat pada penamaan rupa bumi, terutama perumahan. Nama-nama yang berasal dari bahasa asing terutama bahasa Inggris seolah menjadi pesona kemahalan dan kemewahan, sebut saja: Kedoya Garden, Agung Podomoro Land, Casajardin – The Garden Residence. Di Pekanbaru misalnya, ada Citra Land, Maton House, Nirvana Residence, Citra Garden, dan lain-lain. Padahal, belum tentu penamaan dengan bahasa Indonesia menunjukkan hal sebaliknya. Pondok Indah atau Pantai Indah Kapuk misalnya, tetap merupakan permukiman bergengsi di Jakarta meskipun berbahasa Indonesia. Hal itu membuktikan bahwa Pondok Indah atau Pantai Indah Kapuk bukanlah perumahan yang perez atau palsu. Salam. n
Yeni Maulina, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Mei 2013
JUDUL tulisan ini, bagi banyak orang, mungkin akan menggiring ingatannya pada nama tokoh tertentu. Orang yang senang ngegosip akan ingat Julia Perez, artis fenomenal yang selalu blak-blakan dalam bertutur kata itu. Lain halnya penggila bola, mungkin yang diingatnya Miguel Perez Cuesta, atau lebih dikenal dengan nama Michu (pemain gelandang Swansea, Inggris) atau Diego Perez (pemain gelandang Bologna, Italia). Begitu pun bagi yang lain, judul tulisan ini dapat saja mengingatkannya pada Shimon Peres (Presiden Israel), Otto Perez Molina (Presiden Guatemala), atau Alan Garcia Perez (Presiden Peru).
Tulisan ini tidak membicarakan tokoh-tokoh itu. Yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah ihwal kata perez dan teman-temannya (seperti gengges, kepo, rempong, sekong, sindang, lambreta, dan sapose). Kata-kata jenis itu menarik untuk dibicarakan karena ajaib, dominasinya telah merambah hingga ranah media massa eletronik.
Entah dari mana asal muasal kata-kata ajaib itu. Yang pasti, beberapa kata ajaib itu dipakai sebagai judul program tayangan beberapa stasiun televisi: “Kepo Quiz” (Trans7), “Gengges” (Trans), dan “Chit Chat Cuzz” (Trans Tv). Konon, program-program itu juga menempati posisi (rating) atas. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat animo peminat yang mengantre untuk menjadi peserta program. Ajaib bukan? Padahal, dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran (termaktub pada Bab IV, Pasal 37 tentang Bahasa Siaran) disebutkan bahwa bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada kenyataannya, di samping menggunakan kata-kata ajaib tadi, program-program tayangan televisi juga menggunakan bahasa asing: misalnya “Ring of Fire” (Metro Tv), “Eat Bulaga” (SCTV), dan “Mels Update” (Anteve).
Usut punya usut, ternyata kata-kata ajaib itu lahir dari bahasa gaul yang sejak tahun 70-an sudah dipakai oleh kalangan/kelompok tertentu. Dalam perkembangannya, karena terus “dimanipulasi”, bahasa gaul pun selalu berubah, seolah-olah melahirkan “jenis bahasa baru” yang lain, seperti bahasa alay dan/atau baby talk ‘celoteh bayi’ yang belakangan ini marak.
Bagi sebagian orang (terutama yang bukan pengguna), keberadaan bahasa ini tentu sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Pemanipulasian terhadapnya dilakukan secara semena-mena. Dalam tulisan, misalnya, bahasa ini mengacaukan penggunaan angka dan huruf: 3=E, 7=T, 5=S, 13=B, 12=R. Begitu pun dalam pembentukan dan pemilihan kata. Di samping yang dipleset-plesetkan (seperti kata ciyus ‘serius’, mi apah ‘demi apa’, cemungud ‘semangat’, dan cungguh ‘sungguh’), kosakata bahasa ini juga penuh dengan ketidaklaziman (seperti ala-ala ‘pura-pura’, kepo ‘ingin tahu’, dan unyu-unyu ‘lucu’). Artinya, sekalipun kata kepo, misalnya, dapat diduga merupakan singkatan dari knowing every particular object (Inggris) atau merupakan serapan dari kaypoh (Hokkian), kosakata itu tetap membingungkan karena tidak mengikuti kaidah/aturan yang tetap.
Bagaimana dengan kata perez, gengges, kepo, rempong, sekong, sindang, lambreta, dan sapose? Setali tiga uang, sama saja: membingungkan!
Menurut sebagian orang, kata perez diartikan ‘pura-pura, bohong, atau palsu’, sebagian yang lain mengartikannya ‘tidak tulus’. Gengges masih dapat diduga-duga, berasal dari kata ganggu dengan tambahan –es (agar terkesan keinggris-inggrisan). Sementara itu, rempong ‘repot, ribet’, sekong ‘sakit, kelainan seksual’, sindang ‘(ke) sini, ajakan’, lambreta ‘lama’, dan sapose ‘siapa’ sulit dijelaskan proses pembentukannya.
Fenomena bahasa gaul, alay, dan/atau baby talk, karena oleh sebagian orang selalu dicurigai dapat merusak tatanan baku bahasa Indonesia, perlu disikapi secara arif. Dalam batas-batas tertentu (tidak digunakan secara membabi-buta), fenomena itu justru harus dianggap sebagai sebuah kreativitas berbahasa. Artinya, bahasa jenis ini tidak perlu terlalu dirisaukan selama digunakan secara baik, sesuai dengan situasi pemakaiannya. Dalam kenyataannya, meskipun sudah terjadi sejak lama, fenomena bahasa itu tidak pernah mengancam eksistensi bahasa Indonesia dalam ragam-ragam tertentu (seperti jurnalistik, ilmiah, dan sastra sekalipun).
Mengapa fenomena bahasa gaul, alay, dan/atau baby talk tidak perlu dikhawatirkan? Ya jawabannya sederhana saja, karena berbahasa sesungguhnya sama dengan berekspresi diri. “Bahasa menunjukkan bangsa,” begitu kata pepatah dalam konteks (ber)bangsa. Dalam korteks pribadi, pepatah itu tentu dapat diubah menjadi, “Bahasa menunjukkan diri.” Nah, kata kuncinya ada pada (menunjukkan) diri. Ilmuwan misalnya, dengan demikian, hanya akan terlihat tingkat keilmuannya ketika berbahasa ilmiah, bukan ketika berbahasa alay. Kalaupun sesekali menggunakan kosakata bahasa alay, bisa jadi, ilmuwan itu hanya bermaksud agar dirinya dianggap “gaul”. Begitu pula sastrawan, agar terlihat tingkat kesastrawanannya, tentu harus berbahasa sastra dalam berkarya.
Lalu, bagaimana dengan beberapa judul program tayangan televisi yang berbahasa alay dan asing? Mungkin, judul-judul itu pun hanya dimaksudkan agar dirinya (stasiun televisi) dianggap “gaul” sekaligus bermaksud menarik penonton dari kalangan yang senang berbahasa gaul atau asing.Yang pasti, perlu dilakukan penelitian keterkaitan antara judul program dan tingkat/rating-nya agar ada kejelasan. Selama ini pihak stasiun televisi selalu mengklaim bahwa judul program (berbahasa alay dan asing) itulah yang mendongkrak rating-nya. Sungguh mengherankan! Padahal, animo masyarakat pada program-program tayangan televisi dapat saja disebabkan oleh ketertarikan pada isi dan/atau pengelolaannya yang baik, bukan pada judulnya.
Kasus yang sama dapat dilihat pada penamaan rupa bumi, terutama perumahan. Nama-nama yang berasal dari bahasa asing terutama bahasa Inggris seolah menjadi pesona kemahalan dan kemewahan, sebut saja: Kedoya Garden, Agung Podomoro Land, Casajardin – The Garden Residence. Di Pekanbaru misalnya, ada Citra Land, Maton House, Nirvana Residence, Citra Garden, dan lain-lain. Padahal, belum tentu penamaan dengan bahasa Indonesia menunjukkan hal sebaliknya. Pondok Indah atau Pantai Indah Kapuk misalnya, tetap merupakan permukiman bergengsi di Jakarta meskipun berbahasa Indonesia. Hal itu membuktikan bahwa Pondok Indah atau Pantai Indah Kapuk bukanlah perumahan yang perez atau palsu. Salam. n
Yeni Maulina, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Mei 2013
No comments:
Post a Comment