Sunday, May 19, 2013

[Tifa] Menjaga Tradisi Keraton lewat Tarian

KESENIAN tradisi seperti tari-tarian masih menjadi sebuah hal yang memiliki nilai kesakralan, apalagi memuat tentang kisah yang mampu memberikan sebuah pencerahan dalam hidup.

Proses kreativitas para seniman pun ditantang sehingga mereka mampu menghadirkan empat tarian yang berkualitas, meliputi tarian Fragmen Gatutkaca-Suteja, Srimpi Monce, Beksan Floret, dan Legong Gebyar.

Keempat tarian tradisi itu dipentaskan para penari yang berada di bawah Paguyuban Catur Sagorta Nusantara di Jakarta, pekan lalu. Lewat pentas itu, ada sebuah upaya untuk menjaga kearifan lokal yang ada di Pulau Jawa.

Tarian Fragmen Gatutkaca-Suteja mengisahkan tentang Gatutkaca versus Suteja. Itu sesungguhnya merupakan pethilan (bagian) dari sebuah sajian wayang orang gaya Yogyakarta dalam kisah Rebutan Kikis Tunggarana.

Tarian tersebut dibawakan empat penari pria, dengan mengisahkan perjuangan Gatutkaca dan Suteja dalam mempertahankan batas wilayah kekuasaan yang berupa sebuah hutan bernama Tunggarana.

Berbagai jalan musyawarah telah ditempuh, tetapi mengalami kegagalan. Akhirnya, satu-satunya jalan penyelesaian yang terpaksa dipilih ialah melakukan perang tanding antara Gatutkaca melawan Suteja.

Akhirnya, mereka berdua melakukan perang tanding dengan naik kendaraan berupa burung garuda. Gatutkaca naik garuda bernama Wildata, dan Suteja naik garuda bernama Wilmana.

Lewat tarian itu, dua penari pria tampak menghadirkan gerakan yang berwibawa dan perkasa. Hal itu menunjukkan upaya untuk menggambarkan keberadaan prajurit di zaman kejayaan Kerajaan Mataram kuno.

Tarian Srimpi Monce pun begitu lekat dengan unsur kelembutan. Para penari perempuan membawakan dengan ayu dan lembut. “Tarian-tarian yang terlahir dari keraton memiliki nilai ritus,” ujar Ketua Presidium Paguyuban Catur Sagorta Nusantara Koesoemowinoto seusai pementasan.

Kearifan

Dua mantan menteri, yaitu mantan Menteri Sosial Nani Soedarsono dan mantan Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandi juga ikut menyaksikan pementasan itu.

Lewat kesempatan tersebut, mereka juga mengukuhkan Paguyuban Catur Sagorta Nusantara sebagai bentuk untuk menjaga nilai-nilai budaya yang ada di keraton-keraton Nusantara.

Keberadaan Paguyuban Catur Sagorta Nusantara hanya sebagai media inkulturasi, sosialisasi seni, dan kebudayaan empat keraton/pura, yaitu Keraton Kesunanan, Keraton Kesultanan, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegara. “Penambahan kata ‘Nusantara’ mengandung harapan untuk menjangkau para trah, sentana (anak), dan kerabat yang tersebar di wilayah Indonesia,” jelas Nani.

Perempuan berusia 85 tahun itu mengharapkan, lewat paguyuban tersebut, nilai-nilai lokal yang ada di keraton dapat tetap dijaga sebagai jati diri bangsa Indonesia. “Di sini, tak ada feodal. Kita nyembah kepada yang lebih tua karena itu tata krama di negeri ini,” tuturnya, sopan.

Sementara itu, lewat paguyuban tersebut, ada berbagai kegiatan utama yang dikaji. Semisal, sastra, sejarah, seni tari, seni rupa, seni gandhing, seni pertunjukan, hingga upacara adat istiadat.

“Ini sangat penting karena dapat memberikan sumbangsih bagi Indonesia. Paguyuban ini dapat menjadi tempat bagi sejarawan, peneliti (akademisi), hingga seniman,” timpal Koesoemowinoto. (Iwa/B-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013

No comments: