Sunday, May 19, 2013

[Jendela Buku] Menolak Lupa dengan Peluncuran Pasung Jiwa


BANYAK cara untuk memperingati sebuah hari bersejarah. Contoh paling sederhana ialah bagaimana merayakan hari lahir kita sendiri, entah itu dengan budaya tiup lilin atau berdoa mengucap rasa syukur karena dikaruniai umur oleh Yang Mahakuasa.

Lima belas tahun lalu, tepatnya 12 Mei 1998, negara ini diguncang peristiwa bersejarah, yakni tumbangnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang telah 32 tahun berkuasa. Momen kala itu sekarang diperingati sebagai Hari Reformasi.

Lima belas tahun sudah momen tumbangnya rezim Soeharto tak serta-merta menghilangkan ketidakadilan, penindasan, dan kebebasan. Banyak hak masyarakat sebagai warga negara masih diberangus dan terbelenggu. Selama 15 tahun negeri ini membangun harapan untuk mewujudkan kehidupan berdasarkan demokrasi, keadilan, serta menjunjung kebebasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, kenyataan tidak seperti yang ada dalam dunia fantasi, kenyataan tidak terwujud sebagaimana mestinya. Melalui sastra, novelis Okky Madasari memilih caranya untuk memperingati momentum 15 tahun reformasi yang sarat sejarah. Novelis yang lebih dulu dikenal melalui novel Entrok (2010), 86 (2011), dan Maryam (2012) itu menjadikan momentum 15 tahun reformasi untuk merefleksikan kondisi terkini bangsa Indonesia melalui peluncuran sebuah buku terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa.

Okky me-launching buku keempatnya itu pada Kamis (16/5) malam di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Novelis peraih Khatulistiwa Award 2012 itu mengatakan novel Pasung Jiwa mengusung isu-isu kemanusiaan dan ketidakadilan dalam masyarakat. “Pasung Jiwa mempertanyakan soal kebebasan individu dalam rentang periode sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Dalam novel tersebut dihadirkan fakta-fakta diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami warga negara dengan beragam latar belakang,” terang Okky tentang benang merah novel terbarunya.

Cerita dalam novel Pasung Jiwa ternyata cukup cerdas. Cerita mengangkat tema-tema yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi tak jarang terlupakan. Seorang waria bernama Sasa menjadi tokoh sentral dalam cerita novel itu. Latar belakang sedari kecil yang acap kali teraniaya membawa Sasa pada kepribadian berbeda yang membuatnya menemukan kebebasan hidup dengan menjadi waria.

Di Kota Malang, ia mulai menapaki kebebasannya. Namun, tak mudah untuk menjadi individu yang benar-benar merdeka. Sasa tetap saja dianiaya para preman, oknum aparat, hingga teman-temannya sendiri, sampai dijerumuskan ke jeruji rumah sakit jiwa karena telah dianggap kehilangan kewarasan. Tanpa orangtua, saudara, ataupun kawan, dia harus kehilangan segalanya.

Tidak sekadar seremoni peluncuran karya sastra dari Okky Madasari, novel Pasung Jiwa diejawantahkan ke dalam sebuah pementasan teater pada malam itu juga.

Banyak apresiasi positif tentang karya Okky yang langsung dipentaskan secara teatrikal, salah satunya terlihat dari penuhnya ruang Teater Kecil Taman Ismail Marzuki.

Belasan orang bahkan rela berdiri menyaksikan pementasan tersebut. Okky pun begitu puas terhadap pertunjukan yang digarap Herry W Nugroho dan R Tono itu. "Mereka bisa merepresentasikan novel saya dengan baik dalam sebuah kesederhanaan dan keterbatasan tanpa mengurangi pesan," komentar Okky. (*/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013


No comments: