-- Ali Rif an
JIKA mencermati perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, kita segera menemukan realitas yang miris. Betapa tidak, proses transfer ilmu dan informasi hari ini lebih banyak dilakukan dari mulut ke mulut ketimbang melalui kegiatan membaca.
Tidak heran jika data dari United Nations Development Programme (UNDP) pernah menyebutkan dalam hal minat baca, Indonesia menempati peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara di bawah peringkat Indonesia, yakni Kamboja dan Laos.
Fakta di atas menandakan bangsa ini agaknya telah mengalami kepikunan sejarah. Sebab, dalam sejarahnya, kegiatan membaca bukanlah hal asing bagi kita. Sebagai contoh, para pendiri bangsa kita adalah orang-orang yang kutu buku, sebut saja Soekarno, Mohammad Hatta, Sahrir, Tan Malaka, Hasyim Asy?ari, dan lain-lain.
Bahkan, saking seringnya membaca, ketika Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin, ia mampu melahirkan buku menggugah berjudul Di Bawah Bendera Revolusi. Begitu halnya Mohammad Hatta, ketika mengalami masa tahanan di Penjara Boeven Digul, ia mampu memunculkan buku berjudul Mendayung Antara Dua Karang.
Dua Sebab
Apa sebenarnya yang melatari rendahnya minat baca di negeri ini? Menurut Suherman, dalam bukunya Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban (2010), ada dua faktor yang menyebabkan minat baca rendah di Indonesia. Pertama, faktor determinisme genetik, yakni warisan orang tua. Seseorang tidak suka membaca karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orang tua yang tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan.
Kedua, determinisme lingkungan. Orang tidak senang membaca karena lingkungan, teman-teman, rekan kerja, guru, atau dosen tidak senang membaca. Di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan, serta tidak ada peraturan perusahaan/instansi yang mengharuskan seseorang untuk membaca.
Dengan kata lain, membaca belum dijadikan denyut nadi dalam kehidupan berbangsa. Orang tua masih malas memberikan keteladan membaca bagi anak-anaknya, sementara pemerintah makin acuh dan kurang selera menggerakkan budaya baca.
Tidak heran jika guru besar bahasa di Universitas Pendidikan Indonesia, A. Chaidar Alwasilah, pernah menemukan penelitian mencengangkan tentang kaum akademis di Indonesia. Alwasilah dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 16 responden etnografis (mahasiswa S-1, S-2, dan S-3) di kampus Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, mayoritas responden menilai bahwa pendidikan nasional Indonesia tidak membekali (maha) siswa dengan kemampuan menulis paper (75%), tidak mengajari kemampuan berpikir kritis (68%), dan menulis paper merupakan tugas akademik yang paling sulit (75%).
Kenyataan ini tentu berbahaya. Pasalnya, membaca merupakan titik penting dari tumbuh kembangnya suatu peradaban. Dalam Islam, misalnya, membaca justru perintah pertama dan utama sebelum diperintahkan yang lainnya. Islam pernah menjadi saka guru peradaban dunia yang menguasai lebih dari separuh jagat ini. Jika ditelusuri, peletak dasar ilmu-ilmu yang ada sekarang adalah lahir dari tangan-tangan para ulama yang memiliki kegilaan dalam membaca.
Dalam konteks kenegaraan, kemajuan suatu bangsa dan peradaban sangat berkelindan dengan kegetolan masyarakatnya menyelami dunia literasi. Sebagai contoh, di negara maju, semisal AS dan Jepang, setiap individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan di negara maju memiliki waktu baca delapan jam dalam sehari, sementara di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap harinya (Suherman, 2010: 128).
Kebutuhan Primer
Oleh karena itu, sudah saatnya kesadaran membaca menjadi pijakan dari segenap anak bangsa. Sebab, jika pangan, sandang, dan papan adalah kebutuhan primer manusia secara fisik (badan), buku dan bahan bacaan lainya adalah kebutuhan primer manusia secara nonfisik, rohani (otak). Kita harus sadar bahwa buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya.
Buku, menurut sastrawan kondang Taufik Ismail, adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, dan pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang gemar membaca, bukan menonton. Sudah saatnya budaya visual yang lebih dominan di negeri digantikan dengan tradisi literasi.
Ali Rif'an, Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Lampung Post, Jumat, 17 Mei 2013
JIKA mencermati perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, kita segera menemukan realitas yang miris. Betapa tidak, proses transfer ilmu dan informasi hari ini lebih banyak dilakukan dari mulut ke mulut ketimbang melalui kegiatan membaca.
Tidak heran jika data dari United Nations Development Programme (UNDP) pernah menyebutkan dalam hal minat baca, Indonesia menempati peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Bahkan, untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara di bawah peringkat Indonesia, yakni Kamboja dan Laos.
Fakta di atas menandakan bangsa ini agaknya telah mengalami kepikunan sejarah. Sebab, dalam sejarahnya, kegiatan membaca bukanlah hal asing bagi kita. Sebagai contoh, para pendiri bangsa kita adalah orang-orang yang kutu buku, sebut saja Soekarno, Mohammad Hatta, Sahrir, Tan Malaka, Hasyim Asy?ari, dan lain-lain.
Bahkan, saking seringnya membaca, ketika Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin, ia mampu melahirkan buku menggugah berjudul Di Bawah Bendera Revolusi. Begitu halnya Mohammad Hatta, ketika mengalami masa tahanan di Penjara Boeven Digul, ia mampu memunculkan buku berjudul Mendayung Antara Dua Karang.
Dua Sebab
Apa sebenarnya yang melatari rendahnya minat baca di negeri ini? Menurut Suherman, dalam bukunya Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban (2010), ada dua faktor yang menyebabkan minat baca rendah di Indonesia. Pertama, faktor determinisme genetik, yakni warisan orang tua. Seseorang tidak suka membaca karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orang tua yang tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan.
Kedua, determinisme lingkungan. Orang tidak senang membaca karena lingkungan, teman-teman, rekan kerja, guru, atau dosen tidak senang membaca. Di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan, serta tidak ada peraturan perusahaan/instansi yang mengharuskan seseorang untuk membaca.
Dengan kata lain, membaca belum dijadikan denyut nadi dalam kehidupan berbangsa. Orang tua masih malas memberikan keteladan membaca bagi anak-anaknya, sementara pemerintah makin acuh dan kurang selera menggerakkan budaya baca.
Tidak heran jika guru besar bahasa di Universitas Pendidikan Indonesia, A. Chaidar Alwasilah, pernah menemukan penelitian mencengangkan tentang kaum akademis di Indonesia. Alwasilah dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 16 responden etnografis (mahasiswa S-1, S-2, dan S-3) di kampus Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, mayoritas responden menilai bahwa pendidikan nasional Indonesia tidak membekali (maha) siswa dengan kemampuan menulis paper (75%), tidak mengajari kemampuan berpikir kritis (68%), dan menulis paper merupakan tugas akademik yang paling sulit (75%).
Kenyataan ini tentu berbahaya. Pasalnya, membaca merupakan titik penting dari tumbuh kembangnya suatu peradaban. Dalam Islam, misalnya, membaca justru perintah pertama dan utama sebelum diperintahkan yang lainnya. Islam pernah menjadi saka guru peradaban dunia yang menguasai lebih dari separuh jagat ini. Jika ditelusuri, peletak dasar ilmu-ilmu yang ada sekarang adalah lahir dari tangan-tangan para ulama yang memiliki kegilaan dalam membaca.
Dalam konteks kenegaraan, kemajuan suatu bangsa dan peradaban sangat berkelindan dengan kegetolan masyarakatnya menyelami dunia literasi. Sebagai contoh, di negara maju, semisal AS dan Jepang, setiap individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan di negara maju memiliki waktu baca delapan jam dalam sehari, sementara di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap harinya (Suherman, 2010: 128).
Kebutuhan Primer
Oleh karena itu, sudah saatnya kesadaran membaca menjadi pijakan dari segenap anak bangsa. Sebab, jika pangan, sandang, dan papan adalah kebutuhan primer manusia secara fisik (badan), buku dan bahan bacaan lainya adalah kebutuhan primer manusia secara nonfisik, rohani (otak). Kita harus sadar bahwa buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya.
Buku, menurut sastrawan kondang Taufik Ismail, adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, dan pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Bangsa yang membaca adalah bangsa yang gemar membaca, bukan menonton. Sudah saatnya budaya visual yang lebih dominan di negeri digantikan dengan tradisi literasi.
Ali Rif'an, Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Lampung Post, Jumat, 17 Mei 2013
No comments:
Post a Comment