Data buku Sekolah untuk Kaum Miskin James Tooley Alvabet, Jakarta I, Februari 2013 ix + 476 hlm. |
KAUM miskin selalu diidentikkan dengan kaum marginal, berpendidikan rendah, berstatus sosial rendah, dan cenderung diremehkan di mata publik. Sebaliknya, kaum kaya justru sering dipuja-puji publik lantaran segala keinginannya bisa dituruti karena mereka memiliki harta berlimpah.
Tetapi, tahukah bahwa di dunia ini ternyata ada kaum miskin yang mampu menyekolahkan anak-anaknya secara mandiri tanpa harus menunggu sedekah pendidikan dari pemerintah? Buku ini adalah jawabannya.
Buku karya James Tooley, profesor bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University Inggris ini bertutur ihwal kisah perjalanan sang profesor yang tengah galau dalam mengamati fenomena pendidikan kaum miskin yang sering dipandang sebelah mata oleh para pakar pendidikan. Tooley memberanikan diri mengunjungi kota-kota kumuh terbesar di Afrika hingga ke daerah pedalaman Ganshu di China demi misi penelitian sekolah mandiri bagi kaum miskin.
Selama perjalanannya ke beberapa negara; India, Somalia, Nigeria, Ghana, hingga Ganshu di China, Tooley menemukan beberapa fakta unik yang cukup mencengangkan bagi dunia pendidikan modern saat ini. Setidaknya, ada sekitar lima fakta unik.
Pertama, Tooley menemukan fakta bahwa di kampung-kampung kumuh negara miskin itu terdapat sekolah-sekolah kecil yang didanai secara mandiri oleh orang tua siswa. Kedua, mayoritas orang tua miskin itu lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta ketimbang sekolah negeri. Ketiga, Tooley mendapati fakta bahwa para orang tua miskin di negara-negara itu rela menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya seadanya tanpa harus menunggu sedekah dari pemerintah negara setempat.
Keempat, Tooley menemukan fakta bahwa mayoritas guru sekolah bagi kaum miskin di negara-negara itu bukanlah orang-orang pintar yang memiliki deret gelar kesarjanaan, melainkan mayoritas dari mereka hanyalah orang-orang biasa yang kebetulan punya ilmu lebih dan memiliki dedikasi tinggi sebagai pengajar. Uniknya yang kelima, ternyata sekolah swasta bagi kaum miskin, baik yang diakui maupun yang tidak diakui, kualitasnya lebih unggul jauh daripada sekolah negeri dalam beberapa hal, kecuali dalam poin penyediaan lapangan bermain.
Sekolah Swasta Kaum Miskin
Mayoritas pakar pembangunan ternama yang disebut Tooley dalam buku ini mengklaim bahwa sekolah swasta bagi kaum miskin itu tidak ada. Jika pun ada itu bukan bagi orang miskin, melainkan bagi kaum elite. Atau kalaupun ada, sekolah swasta itu fasilitasnya serta para guru yang mendidiknya di sekolah itu tidak memenuhi standar kelayakan pendidikan modern.
Bahkan yang paling parah, sebagian dari mereka (para pakar pembangunan) ada yang memvonis bahwa para orang tua miskin itu adalah orang-orang pandir. Sebab, mereka punya niat baik menyekolahkan anaknya, tetapi tidak bisa mempertimbangkan sisi baik-buruknya untuk masa depan anak.
Terlepas hal itu, lewat buku ini, Tooley mampu menampik pelbagai keraguan dan klaim tidak berdasar itu dengan bukti bahwa kualitas sekolah swasta bagi kaum miskin di Hyderabad, Delhi, Mahbubnagar, Ga, Lagos, dan Kibera itu patut diperhitungkan ketimbang sekolah negeri yang mayoritas dipenuhi oleh kaum elit.
Selain itu, di buku ini Tooley juga menyuguhkan opini-opini dari beberapa responden, baik dari orang tua miskin maupun anak miskin itu sendiri, ihwal mengapa mereka lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta ketimbang di sekolah negeri. Tooley menyimpulkan setidaknya ada lima alasan; yakni guru di sekolah negeri yang sering mangkir, guru sekolah negeri yang berjarak, kondisi kelas yang buruk tidak terkendali, standar pendidikan yang rendah, serta kegagalan para guru sekolah negeri dalam menjangkau dan mengimbangi realitas kehidupan kaum miskin (hlm: 216?229).
Selama proses penelitian, Tooley menemui pelbagai rintangan dan hambatan. Sebut saja ia sering mendapat respons sinis, penyangkalan, bahkan peremehan dari beberapa pakar pembangunan dan birokrat yang menganggap bahwa ikhtiar Tooley itu hanyalah sia-sia.
Meskipun demikian, Tooley sama sekali tidak menggubrisnya. Bahkan, luar biasanya, ia selalu tidak pernah menyerah dan ingin membuktikan sendiri bahwa sekolah swasta bagi kaum miskin di negara-negara miskin itu memang benar-benar ada.
Buku ini adalah jawaban lantang atas pendapat usang yang menyatakan bahwa selamanya kaum miskin itu tidak mampu menyekolahkan anaknya secara layak dan tidak mungkin diselenggarakan sekolah tanpa sedekah pendidikan dari pemerintah. Membaca buku ini, pembaca seakan diajak langsung oleh Tooley untuk bergumul menelusuri kampung-kampung kumuh itu. Buku ini sebenarnya menawarkan pelajaran sederhana; ikhtiar pantang menyerah dari kaum miskin untuk memerangi kebodohan.
Pelajaran penting yang bisa diambil bagi bangsa ini adalah sudahkah Indonesia mampu memberdayakan semua rakyatnya, termasuk kaum paling miskin di negara ini sekalipun, untuk mendapat pendidikan yang layak?
Jika jawabannya belum, sudah saatnya pemerintah kita saat ini harus memikirkan nasib pendidikan kaum miskin. Bagaimanapun juga, pendidikan adalah gerbang utama menuju maju atau mundurnya peradaban sebuah bangsa. Sudah saatnya pemerintah kita tidak perlu lagi berbusa-busa mengobral janji manis, tetapi perlu bukti riil!
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Mei 2013
Tetapi, tahukah bahwa di dunia ini ternyata ada kaum miskin yang mampu menyekolahkan anak-anaknya secara mandiri tanpa harus menunggu sedekah pendidikan dari pemerintah? Buku ini adalah jawabannya.
Buku karya James Tooley, profesor bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University Inggris ini bertutur ihwal kisah perjalanan sang profesor yang tengah galau dalam mengamati fenomena pendidikan kaum miskin yang sering dipandang sebelah mata oleh para pakar pendidikan. Tooley memberanikan diri mengunjungi kota-kota kumuh terbesar di Afrika hingga ke daerah pedalaman Ganshu di China demi misi penelitian sekolah mandiri bagi kaum miskin.
Selama perjalanannya ke beberapa negara; India, Somalia, Nigeria, Ghana, hingga Ganshu di China, Tooley menemukan beberapa fakta unik yang cukup mencengangkan bagi dunia pendidikan modern saat ini. Setidaknya, ada sekitar lima fakta unik.
Pertama, Tooley menemukan fakta bahwa di kampung-kampung kumuh negara miskin itu terdapat sekolah-sekolah kecil yang didanai secara mandiri oleh orang tua siswa. Kedua, mayoritas orang tua miskin itu lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta ketimbang sekolah negeri. Ketiga, Tooley mendapati fakta bahwa para orang tua miskin di negara-negara itu rela menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya seadanya tanpa harus menunggu sedekah dari pemerintah negara setempat.
Keempat, Tooley menemukan fakta bahwa mayoritas guru sekolah bagi kaum miskin di negara-negara itu bukanlah orang-orang pintar yang memiliki deret gelar kesarjanaan, melainkan mayoritas dari mereka hanyalah orang-orang biasa yang kebetulan punya ilmu lebih dan memiliki dedikasi tinggi sebagai pengajar. Uniknya yang kelima, ternyata sekolah swasta bagi kaum miskin, baik yang diakui maupun yang tidak diakui, kualitasnya lebih unggul jauh daripada sekolah negeri dalam beberapa hal, kecuali dalam poin penyediaan lapangan bermain.
Sekolah Swasta Kaum Miskin
Mayoritas pakar pembangunan ternama yang disebut Tooley dalam buku ini mengklaim bahwa sekolah swasta bagi kaum miskin itu tidak ada. Jika pun ada itu bukan bagi orang miskin, melainkan bagi kaum elite. Atau kalaupun ada, sekolah swasta itu fasilitasnya serta para guru yang mendidiknya di sekolah itu tidak memenuhi standar kelayakan pendidikan modern.
Bahkan yang paling parah, sebagian dari mereka (para pakar pembangunan) ada yang memvonis bahwa para orang tua miskin itu adalah orang-orang pandir. Sebab, mereka punya niat baik menyekolahkan anaknya, tetapi tidak bisa mempertimbangkan sisi baik-buruknya untuk masa depan anak.
Terlepas hal itu, lewat buku ini, Tooley mampu menampik pelbagai keraguan dan klaim tidak berdasar itu dengan bukti bahwa kualitas sekolah swasta bagi kaum miskin di Hyderabad, Delhi, Mahbubnagar, Ga, Lagos, dan Kibera itu patut diperhitungkan ketimbang sekolah negeri yang mayoritas dipenuhi oleh kaum elit.
Selain itu, di buku ini Tooley juga menyuguhkan opini-opini dari beberapa responden, baik dari orang tua miskin maupun anak miskin itu sendiri, ihwal mengapa mereka lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta ketimbang di sekolah negeri. Tooley menyimpulkan setidaknya ada lima alasan; yakni guru di sekolah negeri yang sering mangkir, guru sekolah negeri yang berjarak, kondisi kelas yang buruk tidak terkendali, standar pendidikan yang rendah, serta kegagalan para guru sekolah negeri dalam menjangkau dan mengimbangi realitas kehidupan kaum miskin (hlm: 216?229).
Selama proses penelitian, Tooley menemui pelbagai rintangan dan hambatan. Sebut saja ia sering mendapat respons sinis, penyangkalan, bahkan peremehan dari beberapa pakar pembangunan dan birokrat yang menganggap bahwa ikhtiar Tooley itu hanyalah sia-sia.
Meskipun demikian, Tooley sama sekali tidak menggubrisnya. Bahkan, luar biasanya, ia selalu tidak pernah menyerah dan ingin membuktikan sendiri bahwa sekolah swasta bagi kaum miskin di negara-negara miskin itu memang benar-benar ada.
Buku ini adalah jawaban lantang atas pendapat usang yang menyatakan bahwa selamanya kaum miskin itu tidak mampu menyekolahkan anaknya secara layak dan tidak mungkin diselenggarakan sekolah tanpa sedekah pendidikan dari pemerintah. Membaca buku ini, pembaca seakan diajak langsung oleh Tooley untuk bergumul menelusuri kampung-kampung kumuh itu. Buku ini sebenarnya menawarkan pelajaran sederhana; ikhtiar pantang menyerah dari kaum miskin untuk memerangi kebodohan.
Pelajaran penting yang bisa diambil bagi bangsa ini adalah sudahkah Indonesia mampu memberdayakan semua rakyatnya, termasuk kaum paling miskin di negara ini sekalipun, untuk mendapat pendidikan yang layak?
Jika jawabannya belum, sudah saatnya pemerintah kita saat ini harus memikirkan nasib pendidikan kaum miskin. Bagaimanapun juga, pendidikan adalah gerbang utama menuju maju atau mundurnya peradaban sebuah bangsa. Sudah saatnya pemerintah kita tidak perlu lagi berbusa-busa mengobral janji manis, tetapi perlu bukti riil!
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Mei 2013
No comments:
Post a Comment