-- Iwan Kurniawan
Teater Sakti Aktor mementaskan lakon terjemahan The Agreement karya Douglas Taylor. Ada konflik sepasang kekasih yang berujung pada perpisahan.
HARI semakin gelap. Tak ada suara manusia lain. Hanya terdengar ketukan mesin tik yang seakan berkejar-kejaran. Sal, seorang penulis muda, tampak sedikit gelisah di kamarnya.
Setelah mengeluarkan sebatang rokok, Sal langsung menyulutnya. Ia menarik asap dalam-dalam. Lalu, kembali mengetik. Dia sedang menyelesaikan sebagian karangan agar bisa terangkum menjadi sebuah naskah yang utuh.
Gambaran awal itu terlihat jelas pada pementasan lakon terjemahan The Agreement (1967) karya Douglas Taylor yang dibawakan Teater Sakti Aktor di Saung Geulis, Kedoya, Jakarta Barat, pekan lalu.
Itu merupakan naskah terjemahan garapan sutradara Eka D Sitorus yang lekat dengan kisah cinta dan benci. Ada sebuah konflik yang membuat lakon realis itu tersaji secara lugas, tetapi serius.
Pada pementasan yang dilakukan dalam rangka pembukaan sekolah akting milik Eka di Kedoya, Jakarta Barat, tersebut, ada sebuah kegelisahan yang ia ungkapan. Teater harus menjadi sebuah pencerahan. Namun terkadang, minimnya perhatian pemerintah telah membuat teater tak berkembang.
“Tidak pernah ada akting untuk menjadi orang lain. Jadi, akting itu harus jujur dan sederhana. Ketika kesederhanaan tak ada, bukanlah akting," ujar Eka seusai pementasan.
Tata panggung terlihat sederhana laiknya sebuah rumah. Ada meja plus kursi, rak buku, lemari, tempat tidur, dan deretan anggur dan minuman di sebuah meja.
Seratusan penonton pun lebih santai menyaksikan lakon berdurasi sekitar 40 menit itu. Mereka menonton sambil duduk di karpet. “Lakon realis yang saya bangun di sini sebagai bentuk untuk menghadirkan realitas lewat panggung,” jelasnya.
Konflik
Sal (diperankan Ferdi Sulaiman) merupakan seorang penulis. Ia begitu terobsesi untuk bisa menyelesaikan sebuah novel terbaru. Sayangnya, Jenny (Patty Sandya) tak menerima kondisi itu. Ia merasa kurang mendapatkan perhatian sang kekasih.
Malam itu, Jenny berkunjung ke tempat Sal. Ia mendapati sang kekasih yang begitu sibuk sehingga mengacuhkan kedatangannya. Merasa dicuekkan, sang perempuan pun berang. "Musim semi, ya Tuhan. Apa yang terjadi dengan dia. Apa yang terjadi dengan musim semi? Sekarang sudah musim panas dan lengket," ujar Jenny.
"Musim semi dan musim salju sama saja. Tak ada enaknya musim semi," sambungnya seraya menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur empuk di kamar yang banyak buku sastra itu.
Merasa terganggu dengan ocehan si perempuan, Sal pun langsung kehilangan konsentrasi. “Aku mau jadi penulis, makanya aku kerja. Kau mau jadi aktor ya silakan. Berikan aku waktu lima jam saja, sayang," timpal Sal.
Percekcokan pun mulai menampak. Keduanya tak saling mendengar. Waktu bermesraan pun selalu tertunda. “Dasar kau munafik! Di tempat tidur itu kau begitu bernafsu mengatakan cinta. Setelah matahari terbit, kau tak di sini," cetus Jenny, dengan nada kesal.
Konflik pun semakin memuncak. Mereka semakin berargumentasi dan mempersoalkan status hubungan. Tak ada yang mau mengalah hingga pada suatu titik emosi mereka tak bisa terbendung.
Sal mencoba untuk memberikan penjelasan secara tenang kepada sang kekasih, tetapi tak ampuh. “Ah! Tidak, kamu hanya memperhatikan novelmu saja. Dunia kita sudah mau mati! Yang kamu bisa hanya menulis saja,” teriak Jenny, seraya menampar pipi kekasihnya itu.
Lakon The Agreement memang mengundang emosi dan perasaan yang begitu kuat. Ada yang menarik karena kisah lakon itu dibiarkan menggantung. Ini menjadi cara Eka agar penonton bisa ikut berpikir sejenak untuk mengetahui akhir kisah satu babak itu.
Lakon terjemahan tersebut telah dipentaskan Teater Sakti Aktor pada 2004 dan 2008. Namun, ada perubahan yang mendasar malam itu. Terutama, pada gaya akting yang Eka terapkan kepada anak-anak didikannya.
"Realis(me) sangat menentukan pemilihan kata dan kualitas aktor. Mereka harus bisa menunjukkan kenyataan yang ditampikan ke atas panggung,” jelas Eka, saat menanggapi lakon tersebut.
Lewat pementasan tersebut, Eka mencoba mentransendensi kehidupan lewat teater. Dua aktor mampu mementaskan naskah secara sempurna. Namun, ada beberapa adegan dan blocking panggung yang masih terlihat datar dan membosankan. “Saya mencoba menghadirkan emosi saat konflik memuncak. Ini karya terbaik Douglas yang sangat saya jiwai,” ungkap Ferdi. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013
Teater Sakti Aktor mementaskan lakon terjemahan The Agreement karya Douglas Taylor. Ada konflik sepasang kekasih yang berujung pada perpisahan.
HARI semakin gelap. Tak ada suara manusia lain. Hanya terdengar ketukan mesin tik yang seakan berkejar-kejaran. Sal, seorang penulis muda, tampak sedikit gelisah di kamarnya.
Setelah mengeluarkan sebatang rokok, Sal langsung menyulutnya. Ia menarik asap dalam-dalam. Lalu, kembali mengetik. Dia sedang menyelesaikan sebagian karangan agar bisa terangkum menjadi sebuah naskah yang utuh.
Gambaran awal itu terlihat jelas pada pementasan lakon terjemahan The Agreement (1967) karya Douglas Taylor yang dibawakan Teater Sakti Aktor di Saung Geulis, Kedoya, Jakarta Barat, pekan lalu.
Itu merupakan naskah terjemahan garapan sutradara Eka D Sitorus yang lekat dengan kisah cinta dan benci. Ada sebuah konflik yang membuat lakon realis itu tersaji secara lugas, tetapi serius.
Pada pementasan yang dilakukan dalam rangka pembukaan sekolah akting milik Eka di Kedoya, Jakarta Barat, tersebut, ada sebuah kegelisahan yang ia ungkapan. Teater harus menjadi sebuah pencerahan. Namun terkadang, minimnya perhatian pemerintah telah membuat teater tak berkembang.
“Tidak pernah ada akting untuk menjadi orang lain. Jadi, akting itu harus jujur dan sederhana. Ketika kesederhanaan tak ada, bukanlah akting," ujar Eka seusai pementasan.
Tata panggung terlihat sederhana laiknya sebuah rumah. Ada meja plus kursi, rak buku, lemari, tempat tidur, dan deretan anggur dan minuman di sebuah meja.
Seratusan penonton pun lebih santai menyaksikan lakon berdurasi sekitar 40 menit itu. Mereka menonton sambil duduk di karpet. “Lakon realis yang saya bangun di sini sebagai bentuk untuk menghadirkan realitas lewat panggung,” jelasnya.
Konflik
Sal (diperankan Ferdi Sulaiman) merupakan seorang penulis. Ia begitu terobsesi untuk bisa menyelesaikan sebuah novel terbaru. Sayangnya, Jenny (Patty Sandya) tak menerima kondisi itu. Ia merasa kurang mendapatkan perhatian sang kekasih.
Malam itu, Jenny berkunjung ke tempat Sal. Ia mendapati sang kekasih yang begitu sibuk sehingga mengacuhkan kedatangannya. Merasa dicuekkan, sang perempuan pun berang. "Musim semi, ya Tuhan. Apa yang terjadi dengan dia. Apa yang terjadi dengan musim semi? Sekarang sudah musim panas dan lengket," ujar Jenny.
"Musim semi dan musim salju sama saja. Tak ada enaknya musim semi," sambungnya seraya menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur empuk di kamar yang banyak buku sastra itu.
Merasa terganggu dengan ocehan si perempuan, Sal pun langsung kehilangan konsentrasi. “Aku mau jadi penulis, makanya aku kerja. Kau mau jadi aktor ya silakan. Berikan aku waktu lima jam saja, sayang," timpal Sal.
Percekcokan pun mulai menampak. Keduanya tak saling mendengar. Waktu bermesraan pun selalu tertunda. “Dasar kau munafik! Di tempat tidur itu kau begitu bernafsu mengatakan cinta. Setelah matahari terbit, kau tak di sini," cetus Jenny, dengan nada kesal.
Konflik pun semakin memuncak. Mereka semakin berargumentasi dan mempersoalkan status hubungan. Tak ada yang mau mengalah hingga pada suatu titik emosi mereka tak bisa terbendung.
Sal mencoba untuk memberikan penjelasan secara tenang kepada sang kekasih, tetapi tak ampuh. “Ah! Tidak, kamu hanya memperhatikan novelmu saja. Dunia kita sudah mau mati! Yang kamu bisa hanya menulis saja,” teriak Jenny, seraya menampar pipi kekasihnya itu.
Lakon The Agreement memang mengundang emosi dan perasaan yang begitu kuat. Ada yang menarik karena kisah lakon itu dibiarkan menggantung. Ini menjadi cara Eka agar penonton bisa ikut berpikir sejenak untuk mengetahui akhir kisah satu babak itu.
Lakon terjemahan tersebut telah dipentaskan Teater Sakti Aktor pada 2004 dan 2008. Namun, ada perubahan yang mendasar malam itu. Terutama, pada gaya akting yang Eka terapkan kepada anak-anak didikannya.
"Realis(me) sangat menentukan pemilihan kata dan kualitas aktor. Mereka harus bisa menunjukkan kenyataan yang ditampikan ke atas panggung,” jelas Eka, saat menanggapi lakon tersebut.
Lewat pementasan tersebut, Eka mencoba mentransendensi kehidupan lewat teater. Dua aktor mampu mementaskan naskah secara sempurna. Namun, ada beberapa adegan dan blocking panggung yang masih terlihat datar dan membosankan. “Saya mencoba menghadirkan emosi saat konflik memuncak. Ini karya terbaik Douglas yang sangat saya jiwai,” ungkap Ferdi. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013
No comments:
Post a Comment