KETUA Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid mengakui ada kolusi antara penerbit dan pihak sekolah. Namun, menurutnya, kalau pun guru memperoleh komisi dari penerbit, keuntungan penerbitlah yang berkurang, bukan mengambil uang pemerintah.
Sebab, katanya, tak ada sekolah yang membeli buku pelajaran lebih dari harga Rp 22.000. Harga ini adalah harga buku yang diberikan pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke sekolah-sekolah. "Jadi, yang ada sebenarnya persaingan antarpenerbit," ujarnya.
Setia mengemukakan, Ikapi telah menyampaikan pandangannya kepada Mendiknas soal perbukuan untuk sekolah. Dalam beberapa minggu ke depan, pihaknya dan Depdiknas akan melakukan penghitungan mengenai harga buku pelajaran yang akan dijual di sekolah. Ikapi memastikan, harga buku yang akan dijual di sekolah akan melebihi harga BSE.
"Dalam penerbitan buku ada sejumlah faktor yang diperhitungkan. Mulai dari editing, percetakan, distribusi, dan pembayaran penulis," katanya.
Buku memang salah satu komponen terpenting dalam pendidikan. Dengan buku maka proses belajar dan proses pencarian ilmu bisa berlangsung. Karena itu, biaya pembangunan pendidikan semestinya bisa juga dikonsentrasikan pada usaha penambahan ilmu.
Namun, membuat kebijakan populis bahwa buku adalah penyebab mahalnya biaya pendidikan adalah juga sikap pragmatisme. Hasil survei ICW tentang pungutan di sekolah jelas membuktikan bahwa biaya membangun pagar sekolah, study tour, dan lain sebagainya merupakan biaya langsung yang jauh di atas rata-rata.
Di satu sisi, dengan buku yang murah, setidaknya biaya mahal pendidikan yang diakibatkan oleh buku bisa sedikit teratasi. Namun, di sisi lainnya, masyarakat juga mengharapkan praktik pungutan liar di sekolah bisa dihapuskan. Inilah salah satu harapan masyarakat terhadap pemerintah. Kebijakan yang berpihak pada "wong cilik" seharusnya bisa selalu diterapkan. [W-12]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 30 Juni 2008
No comments:
Post a Comment