Sunday, June 29, 2008

Esai: Sutardji Memberikan Contoh

-- Rikobidik*

MENEMPATKAN puisi sebagai status ontologis bahasa nampaknya sebuah eksplorasi mengenai hakikat bahasa yang cukup menjanjikan. Meski ciri-ciri puisi di sini janganlah seperti yang kita kenal yang konon melekat di semua tata permainan bahasa membuat bahasa gaul otomatis termasuk di dalamnya.

Kenapa tidak dikatakan saja bahwa bahasa gaul sebagai status ontologis bahasa? Memberikan nama memang terkadang merepotkan. Berbekal sisa ingatan materi kuliah filsafat bahasa (khususnya filsafat analitis—R), tulisan ini akan mencoba menganalisis konsep status ontologis bahasa sebagai puisi yang sepertinya sangat diperjuangkan A Boy-Mahromi.

Ketidakteraturan, permainan, dan bahasa sebagai mantra

Kata ”ketidakteraturan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”. Kalau memang demikian, saya akan memahami kata ”ketidakteraturan” sebagai ketidaksamaan keadaan, kegiatan, atau proses yang terjadi beberapa kali.

Barangkali benar apa yang dikatakan A Boy-Mahromi bahwa bahasa dalam kehidupan berlaku sebagai ”ketidakteraturan”.Sebab, kehidupan yang menyangkut pemahaman terhadap manusia sulit sekali dimengerti dengan pola verifikasi positivistik. Kata ”permainan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi sebagai ontologis bahasa barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”.

Jika memang demikian, saya akan memahami kata ”permainan” sebagaimana pemahaman penafsiran saya menurut Wittgenstein II. Permainan bahasa yang dimaksudkan Wittgenstein II (1983) adalah setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing. Meskipun aturan itu sulit ditentukan secara normatif dan sulit ditentukan batasbatasnya secara tepat, manusia memahami bagaimana menggunakan bahasa di setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam.

Mayoritas ahli bahasa di Pusat Bahasa kerap kali mengabaikan aspek ini,terutama dengan menerapkan istilah baku dan tidak baku yang menurut saya bertendensi melecehkan. Namun, penafsiran Yunit dan A Boy-Marhomi terhadap kata ”permainan” ternyata berbeda dengan tafsiran saya di atas.Dengan penafsiran yang saling berbeda seperti inilah barangkali Yunit menyandingkan kata ”hanyalah”pada ungkapan ”hanyalah permainan” pada artikelnya yang terbit di harian SINDO (11/ 05/08).

Dilekatkannya kata ”hanyalah” itu menyebabkan saya menafsirkan ”permainan”-nya Yunit kepada pengertian perbuatan yang dilakukan dengan tidak sungguhsungguh.

Status ontologis bahasa adalah penggunaannya

Dengan meniru sifat curiga Wittgenstein seraya mengambil keuntungan dari pernyataan Derrida,saya mengajak para pembaca untuk curiga, jangan-jangan pemahaman Yunit dan A Boy-Mahromi atas Heidegger mengenai kebenaran hakikat bahasa sesungguhnya terdapat dalam puisi pun bisa jadi mengalami ”perbedaan” dan ”penundaan”.

Mengingat pemahaman A Boy-Mahromi mengenai Wittgenstein, Heidegger, dan Sutardji pun tersampaikan melalui bahasa yang hanya bisa ditafsir tanpa harus terbirit-birit untuk memutlakkan diri paling tahu bukan? Saya mengajak para pembaca untuk kembali kepada yang diungkapkan Sutardji, yaitu ”kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian, kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra”.

Dalam ungkapan Sutardji tersebut, saya akan mendekatinya sebagai berikut.Misalnya, kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian. Sutardji tentu tidak bermaksud seadanya dengan ungkapan tersebut. Ungkapan tersebut sebaiknya ditafsirkan secara memadai, yaitu bahwa kata-kata yang beredar dalam kehidupan kita yang berwujud maksud (pengertian) harus ditafsirkan kegunaannya (dibebaskan dari kungkungan) terlebih dahulu.

Secara sederhana, dapat saya simpulkan bahwa Sutardji bermaksud supaya kita mampu menyibak maksud atau menafsirkan (dibebaskan dari kungkungan pengertian) suatu ungkapan bahasa. Tafsiran ini ditopang dari pengertian arti kata sebagai ”maksud” seperti yang diungkapkan Wittgenstein II (1983) bahwa ”maksud” adalah sesuatu yang seluruhnya tetap ada dalam bahasa dan bukan sesuatu yang dianggap terpisah dari bahasa.

Saya tambahkan lagi, jika arti yang dikandungnya sebagai maksud, penggunaannya tidak menggambarkan katakata dan arti itu sendiri. Sementara untuk memahami arti kata sebagai kegunaan, dilakukan dengan cara menerangkannya. Mudahnya, jika seseorang ingin memahami penggunaan kata ”mantra”, 0harus dicari penjelasan dari arti kata tersebut.

Sebab,arti sesuatu dari satu kasus menunjukkan pada pengertian arti kata dalam penggunaannya. Kata ”mantra”yang digunakan Sutardji dapat diurai menjadi perkataan yang memiliki kekuatan gaib. Kata ”gaib” berarti tidak kelihatan, tersembunyi, tidak nyata.Berhubung Sutardji berbicara dalam konteks kata (bahasa) dalam puisi seperti yang dinyatakan Yunit, dirinya bermaksud supaya kita jangan terlalu sibuk mengurusi bahasa dari sistem tanda dan struktur fisis seperti yang dilakukan kaum linguistik struktural.

Dengan memberikan contoh fungsi kata seperti dalam mantra, saya menafsirkan, dia berkehendak untuk menunjukkan bahwa walaupun dalam mantra tidak ditemui penggunaan aturan gramatikal yang ketat seperti yang diyakini kaum linguistik struktural, kata-kata itu tetap berfungsi, yaitu memiliki kekuatan yang tersembunyi dalam kata.

Yaitu,makna! Jika ditambah dengan tafsiran pada tidak ditemuinya aturan gramatikal yang ketat pada ”mantra”, dapatlah saya tafsirkan aturan gramatikal bahasa sebaiknya disesuaikan dengan penggunaannya. Artinya, ungkapan Sutardji ”kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra” adalah ikhtiarnya dalam memberikan contoh, meski secara tidak langsung,mengenai aspek ontologis bahasa yang berujung kepada penggunaannya.

Sebab, seperti kita ketahui, pada masa itu sulit sekali berbicara terangterangan menolak dominasi kaum linguistik struktural yang mayoritas berbasis di Pusat Bahasa. Status ontologis bahasa,menurut Wittgenstein II—yang kemudian secara tidak langsung dicontohkan Sutardji, adalah penggunaannya.Aspek ontologis bahasa ini secara tidak langsung berkorelasi dengan semangat nilai-nilai pluralitas yang mendobrak tatanan universalitas.(*)

* Rikobidik, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta.

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 29 Juni 2008

No comments: