Jakarta, Kompas - Berbagai konflik masyarakat di berbagai wilayah kehutanan saat ini muncul setelah terjadi kerusakan lingkungan maupun perampasan hak mencari nafkah di atas tanah yang dialihfungsikan untuk industri pertambangan.
Rasa keadilan rakyat pun ditenggelamkan negara demi kepentingan investasi sehingga kini diperlukan kajian-kajian antropologi supaya negara kembali berpihak kepada kesejahteraan rakyat, bukan kepada para pemodal pertambangan yang banyak dikuasai pihak asing.
Demikian disampaikan Chalid Muhammad, mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dalam acara Koentjaraningrat Memorial Lecture V/2008 yang diselenggarakan Forum Kajian Antropologi Indonesia di Universitas Indonesia (UI), Depok, Rabu (4/6).
”Kondisi Indonesia saat ini sudah jauh dari cita-cita para pendiri bangsa supaya berdaulat atas setiap jengkal tanah dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain,” kata Chalid.
Dia menyebutkan, kini lebih dari 35 persen total daratan di Indonesia diberikan untuk 1.194 kuasa pertambangan, 341 kontrak karya, dan 257 pengalian batu bara yang secara mayoritas operasi pertambangannya dimiliki perusahaan asing lintas negara (multinational corporation).
Dalam 10 tahun terakhir, konflik masyarakat lokal pun muncul terkait operasional pertambangan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. ”Saat ini pusat-pusat kemiskinan justru berada di dekat sumber daya pertambangan,” kata Chalid.
Pada perkuliahan umum kajian antropologi tersebut, hadir sebagai pembicara kunci guru besar antropologi UI yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Sosial-Budaya, S Budhisantosa. Narasumber lainnya adalah Emil Salim (mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup), Kusnaka Adimiharja (guru besar antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung), Noke Kiroyan (Ketua Konsorsium Corporate Social Responsibility), dan Mas Ahmad Santosa (pemerhati masalah kebijakan publik dan lingkungan).
Daya dukung menipis
Budhisantosa memaparkan, kondisi rawan konflik di mana pun sebenarnya didorong adanya keterbatasan daya dukung lingkungan yang kian menipis. Kemudian terjadi persaingan yang menjurus ke perebutan daya dukung lingkungan tersebut.
”Dalam membangun, manusia cenderung mengabaikan keterbatasan daya dukung lingkungan. Pada waktunya, daya dukung lingkungan itu akan anjlok dan kesejahteraan manusia merosot, lalu timbul konflik,” katanya.
Emil Salim mengemukakan, kajian antropologi memiliki peluang untuk mengambil peran dalam setiap pembangunan. Kajian antropologi bisa mendorong keseimbangan pembangunan supaya berkelanjutan dengan mengacu pada tiga pilar pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kusnaka memaparkan, praktik-praktik pengelolaan lingkungan melalui kearifan lokal komunitas adat sebetulnya memiliki sistem pengetahuan tersendiri. Ia menyajikan pengalaman komunitas adat di kawasan Gunung Halimun, Jawa Barat, yang mampu mengelola hutan sejalan dengan konsep konservasi. (NAW)
Sumber: Kompas, Kamis, 5 Juni 2008
No comments:
Post a Comment