Wednesday, June 04, 2008

Opini: Bang Ali dalam Kenangan

-- Chris Siner Key Timu*

BANG Ali telah kembali ke Sang Khalik, 20 Mei 2008. Seorang nasionalis sejati, prajurit paripurna, negarawan yang memimpin melalui keteladanan, dan seorang humanis yang menembus batas primordial telah meninggalkan kita.

Presiden Soekarno menunjuk Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI karena dia tegas, keras, dan berani, dilantik sebagai gubernur tahun 1966. Ketika itu, APBD DKI Rp 66 juta, mustahil diandalkan membangun Jakarta. Menarik pajak perjudian adalah pilihan dan disetujui masuk APBD. Mendapat kritik tajam, Bang Ali bertahan.

Filosofi Bang Ali membangun Jakarta ialah memberi pelayanan bagi masyarakat sejak dalam kandungan sampai meninggal. Puskesmas, sarana kesehatan, gedung sekolah, serta gedung olahraga dan kesenian dibangun. Lapangan kerja, jalan, dan sarana transportasi disediakan. Tempat penguburan perlu diperhatikan. Karena lahan terbatas, Bang Ali usulkan mayat dibakar. Diprotes oleh tokoh agama. Setelah berdialog dengan Buya Hamka, disepakati jenazah dikubur secara tumpang di satu liang lahat.

Kembali ke masyarakat

Setelah 11 tahun menjadi Gubernur DKI yang sukses, Bang Ali kembali ke masyarakat kendati ditawarkan jabatan lain. Hatinya risau menyaksikan kehidupan demokrasi terpuruk, penyalahgunaan kekuasaan dan KKN merajalela, ketidakadilan meluas, perilaku represif dan pelanggaran HAM menjadi kebiasaan. Bang Ali bertekad bersama masyarakat menghentikan kemerosotan itu.

Orde Baru mengharuskan Golkar memenangi pemilu. Bang Ali menyerahkan kepada rakyat Jakarta. Ternyata Golkar kalah di DKI pada Pemilu 1971 dan 1977. Rezim Orde Baru gusar, Bang Ali menjawab, ”Saya gubernur bagi masyarakat dan rakyat Jakarta, bukan gubernur Golkar.” Ketika pemerintah pusat bertindak represif dalam peristiwa Malari 1974, Bang Ali tampil untuk memahami dan bersikap persuasif. Mahasiswa dekat pada Bang Ali karena Bang Ali memahami aspirasi dan perjuangan mereka.

Dengan sukses historis membangun Jakarta, tidak sulit bagi beliau dipromosikan ke jabatan lain. Namun, Bang Ali memilih ke masyarakat.

Tahun 1978 Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) didirikan atas inisiatif AH Nasution dan pelindung Bung Hatta. Bang Ali bergabung. Ikut bergabung Pak Hoegeng, Marsilam Simanjuntak, Yudilherry, dan saya. Tujuannya, menanamkan kesadaran berkonstitusi kepada masyarakat dan memantau penyelenggaraan negara.

Dua pidato Presiden Soeharto, 28 Maret 1980 di Pekanbaru pada Rapim ABRI dan 17 April 1980 di Cijantung pada HUT ke-28 Koshanda, dininai LKB membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Sebanyak 50 warga negara, termasuk Bang Ali, menggugat melalui ”Pernyataan Keprihatinan” pada 5 Mei 1980, yang dikenal sebagai ”Petisi 50”. Tanggal 13 Mei 1980 terjadi dialog dengan pimpinan DPR soal Pernyataan Keprihatinan tersebut. Namun, penguasa memberlakukan hukuman ”Kematian Perdata” kepada para penanda tangan.

Perjuangan Petisi 50 berlanjut, dipandu oleh Kelompok Kerja, di mana Bang Ali salah satu anggota yang diposisikan sebagai primus interpares. Seluruh kemampuan Bang Ali, termasuk fasilitas dan dana pribadi, diberikan tanpa pamrih untuk perjuangan Petisi 50. Pertemuan mingguan di Jalan Borobudur selama 20 tahun, dihadiri sekitar 30 orang dengan suguhan makan siang. Sering ada diskusi dan seminar, dihadiri oleh lebih dari 100 orang. Sekretariat di Ratu Plaza disediakan Bang Ali, yang penggunaannya diatur oleh Saudara Affanulhakim.

Ketika banyak kalangan sibuk memburu kekuasaan, Bang Ali tetap konsisten mengayomi Petisi 50 sebagai gerakan moral. Sebagai nasionalis dan negarawan, Bang Ali memusatkan orientasinya kepada upaya menyelamatkan bangsa.

Humanis berhati lembut

Karier militernya lengkap. Mencapai pangkat letnan jenderal, yang menurut dia jenjang tertinggi di Marinir. Operasi militer menghadapi Permesta di Minahasa dirampungkan dua minggu kendati dijadwalkan dua bulan. Prajurit bujangan yang tercantol gadis Kawanua diupayakan Bang Ali agar dinikahkan secara resmi.

Bang Ali memiliki hati kemanusiaan yang lembut. Komitmennya kepada kebenaran dan keadilan serta kepentingan umum dan sikap disiplinnya membuatnya bersikap tegas dan keras terhadap apa pun dan siapa pun. Namun, dia spontan meminta maaf jika merasa salah, keliru, atau menyakiti hati seseorang. Kalau keluar kota, sopirnya diajak makan bersama pada satu meja.

Rekan seperjuangan yang sakit dijenguk. Yang dipenjara, termasuk aktivis mahasiswa, dikunjungi. Yang meninggal selalu diupayakan untuk melayat. Yang kesulitan dibantunya. Tahun lalu Bang Ali mengajak saya menjenguk Ibu Trimurti yang sakit. Desember 2006, dia menjenguk saya di RS Carolus, padahal kondisi kesehatannya mulai merosot. Tahun 2004 Bang Ali ke pernikahan anak saya di Katedral. Bahkan, tahun 2006, Bang Ali mengikuti upacara pernikahan anak saya di Gereja Salvator Petamburan sampai usai. Natal 2005 dan 2006 dalam kondisi kesehatan yang tak memadai, Bang Ali datang menemui kami sekeluarga.

Berjuang sampai ajal menjemput

Perjuangan Bang Ali yang disebutnya ”amar makruf nahi mungkar” tidak pernah surut kendati kesehatannya merosot. Membaca berbagai media massa tak ditinggalkan. Bagian penting ditandai dengan spidol merah. ”Saya harus mengikuti perkembangan bangsa dan masyarakat,” katanya jika diingatkan agar lebih banyak istirahat. Seminggu sekali saya bertemu untuk membicarakan bersama. Kadang-kadang kami membicarakan sembari Bang Ali berbaring di tempat tidur. Ketidakpuasan Bang Ali dinyatakan, ”Bagaimana dengan nasib bangsa dan rakyat. Kasihan rakyat, selalu menderita dan menjadi korban.”

April 2008 ketika saya menemuinya, beliau berpesan kepada Mia Ustawati, sekretaris pribadi yang setia mendampingi, agar mengatur setiap dua minggu kami bertemu. Ternyata itu pertemuan terakhir. Minggu terakhir April 2008 Bang Ali dirawat di RS Pondok Indah, dilanjutkan di Singapura, di mana 20 Mei 2008 Bang Ali kembali ke Sang Khalik.

Masyarakat sangat mencintainya, sama seperti Bang Ali mencintai mereka. Banyak sekali orang melayat di Jalan Borobudur, tempat jenazah Bang Ali dibaringkan, dan mengantarkan ke Tanah Kusir, tempat peristirahatan terakhir, dalam satu liang lahat bersama istrinya, Ibu Nani, yang meninggal tahun 1986. Lebih dari 3.000 orang menghadiri tahlilan malam ke-7, 27 Mei 2008 di rumah almarhum.

Selamat jalan Bang Ali. Jasa-jasamu telah terpatri di hati masyarakat. Bagimu pasti ada tempat mulia di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

* Chris Siner Key Timu, Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50

Sumber: Kompas, Rabu, 4 Juni 2008

No comments: