Sunday, June 01, 2008

Pustaka: Hidup adalah Sebuah Perjalanan

-- Kushartati*

APA yang terjadi jika kepada generasi muda ditanyakan mengenai ”Serat Centhini”? Bisa jadi jawabnya, apa pula itu? Padahal Centhini merupakan salah satu naskah kuno yang menjadi kekayaan budaya bangsa. Sebagai suatu kekayaan, tidak sedikit orang berburu naskah kuno ini karena ada negara lain menjadi sponsornya.


Adalah seorang perempuan muda bernama Kestity Pringgoharjono (alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), sekarang tinggal di London dan Singapura.

Bertolak dari keinginan untuk menyelami, kemudian memperkenalkannya kepada generasi muda Indonesia serta kepada dunia, lahirlah buku yang diadaptasi dalam bahasa Inggris dengan judul The Centhini, the Javanese Journey of Life Story. Bagi Kesti, ”penginggrisan” itu sebagai peluang untuk mengapresiasi budayanya sendiri (hal 9).

Ensiklopedi

Buku ini hasil adaptasi dari naskah asli berbahasa Jawa berbentuk tembang yang berjudul Serat Centhini (3.500 halaman) ke dalam bahasa Inggris dan dipadatkan oleh Soewito Santoso, diberi ilustrasi fotografi oleh Fendi Siregar dan tambahan teks Kestity Pringgoharjono.

Penulisan naskah asli Serat Centhini pada tahun 1814 atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, yang kelak menjadi Paku Buwana V. Adapun yang ditugasi memimpin penulisan adalah Ki Ngabehi Ranggasutrasna, dibantu Raden Ngabehi Yasadipura II dan beberapa orang lainnya.

Bagi kalangan peminat sastra Jawa Kuno, Centhini bukan sekadar cerita fiktif mengenai kisah perjalanan, tetapi juga ensiklopedi yang mengagumkan karena mengandung pengetahuan keagamaan (mainstream-nya adalah penyebaran agama Islam. Juga mengandung ilmu yang mendalam dan luas), kebatinan (mistik), seni, musik, tari-tarian, ramalan, sulap, erotisme, siklus kehidupan manusia, spiritual, dan sebagainya. Secara singkat, berisi tentang budaya dan kepercayaan Jawa.

Melalui Hilmiyah, pustakawan di Puro Mangkunegaran, Kesti mengenal Dr Soewito Santoso. Soewito Santoso adalah pakar sastra dan bahasa Jawa Kuno, mengajar di Australia National University, Canbera, yang dengan ikhlas dan kerja keras menerjemahkan Serat Centhini.

Di samping Centhini, Santoso adalah peneliti sastra Jawa Kuno yang tekun, serta telah mempublikasikan beberapa buku, antara lain Boddhakawya Sutasoma: A Study in Javanese Wajrayana (desertasinya untuk meraih PhD), Ramayana Kekawin, dan Babad Tanah Jawi, Sultan Ngabdulkamid Herucakra.

Yang mengharukan, ketika Kesti datang kepadanya untuk mengutarakan maksudnya, Santoso sempat menitikkan air mata karena teringat pada pesan guru besarnya, Prof Dr Poerbatjaraka, ketika menjenguk beliau di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat), ”Mas, jika ada orang yang akan mempublikasikan Serat Centhini, bergabunglah!” (hal 10). Santoso menyadari, menerima tugas itu sebagai amanah, dan itu tidak ringan. Lebih dari empat tahun kemudian pekerjaan itu akhirnya selesai. Namun sayang, ketika buku ini dibedah di Universitas Indonesia, Pak Santoso sudah meninggal.

Fendi Siregar adalah dosen di Fakultas Seni, Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta, penggemar fotografi sejak usia 20 tahun, sampai sekarang menjadi profesional di bidangnya. Berdasar kolaborasi tersebut, terbitlah buku ini.

Peran ”Centhi”

Dalam pengenalan yang ditulis Soewito Santoso, ada beberapa butir yang perlu dicermati. Yang pertama, kisah ini dimulai pada abad ke-19, bersamaan dengan terjadinya perang besar di Eropa, yang berakhir dengan Napoleon Bonaparte menjadi Kaisar Perancis. Sementara itu di Pulau Jawa terjadi rayahan atau jual beli tanah, satu di antaranya wilayah Probolinggo di Jawa Timur, dijual kepada seorang China bernama Han Ti Ko, seharga satu juta dollar (hal 13). Pada waktu yang sama, di Jawa sedang terjadi Islamisasi.

Berikutnya, Soewito Santoso mempertanyakan kenapa kisah itu bernama Serat Centhini (hal 23), padahal Centhini ”hanyalah” emban, atau centhi (di Barat orang menyebutnya nanny) Nyi Tambangraras, anak perempuan Kyai Bayi Panurto, istri Seh Amongrogo. Toh akhirnya pertanyaan itu tak terjawab.

Santoso memaknainya dengan maksud mengemukakan fakta betapa besar peran (pengaruh) seorang emban dalam kehidupan tuannya. Maka, Santoso menganalogikan dengan Manthara, emban Dewi Kekayi, istri muda Prabu Dasarata, dalam epik Ramayana. Karena bujukan Manthara, Kekayi menuntut janji Dasarata untuk mewisuda Barata anaknya menjadi Raja Ayodyapala, dengan menghutankan putra mahkota Rama anak permaisuri Kausalya (hal 23-24).

Sebuah perjalanan

Secara sistematis, di samping Pengantar dan Pengenalan, buku ini terbagi dalam empat bab besar, yaitu Perjalanan Sebelum Dewasa, Perjalanan ketika Dewasa, Perjalanan Setelah Dewasa, serta Setelah Tiba (Pulang) Kembali. Kisah ini sepertinya memperkuat pendapat atau filosofi Jawa yang mengatakan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan (wong urip mung mampir ngombe).

Untuk memudahkan pembaca menyelami kisah, dilukiskan peta perjalanan sesuai isi buku. Yang pertama perjalanan Jayengresmi dari Giri ke Karang, yang kedua perjalanan Jayengsari dan Rancangkapti dari Giri ke Pekalongan, kemudian ke Sokoyoso, sedangkan perjalanan ketiga adalah yang ditempuh Mas Cebolang dari Sukoyoso ke Wirosobo dan kembali lagi ke Sukoyoso.

Meskipun hidup merupakan sebuah perjalanan, tetapi ada pertanyaan mendasar untuk dijawab, kenapa mereka melakukan perjalanan sepanjang hidupnya?

Sunan Giri yang bermukim di Giri Kedaton untuk menyebarkan agama Islam, oleh Sultan Agung Raja Mataram ditaklukkan (1635). Akibatnya, anak-anak dari Giri, yaitu Pangeran Jayengresmi, Jayengsari, dan Rancangkapti, mengembara (dibuku ditulis escape) meninggalkan Gresik untuk menyelamatkan diri, dengan terus menyebarkan agama Islam. Akan tetapi, perjalanan mereka tidak seiring sejalan. Jayengresmi (kelak menjadi Seh Amongrogo) yang ditemani santrinya Gathak dan Gathuk (Jamal dan Jamil) dari Giri menuju Karang, sedangkan kedua adiknya yang bermaksud mencarinya, dengan ditemani santrinya Buras, dari Giri menuju Pekalongan kemudian ke Sukoyoso (posisinya di sekitar Magelang, Jawa Tengah).

Berikutnya, dilukiskan perjalanan Seh Amongrogo dari Karang ke Wonomarto, dari Wonomarto ke Tunjungbang, dan perjalanan ketiga yang ditempuh oleh Jayengrogo dan Kulowiryo dari Wonomarto ke Lembuasto dan kembali lagi ke Wonomarto.

Secara keseluruhan, kisah ini sangat panjang, banyak tokoh, banyak nama, dan sesuai dengan namanya life story, sarat dengan kisah-kisah romantisme (Seh Amongrogo selalu memanggil istrinya (”My Dear Wife”), termasuk kisah jorok sebagai lelucon.

Penerjemahan Centhini ke dalam bahasa Inggris, dimaksudkan agar naskah itu dikenal dunia. Secara subyektif, Kesti kurang menguasai bahasa Jawa, atau jika dihubungkan dengan selera pasar, barangkali memang untuk konsumen orang asing, atau generasi muda Indonesia sebaya Kesti yang lebih menguasai bahasa Inggris ketimbang Jawa. Tapi tentang fotografi?

Fotografi dibuat Fendi melalui perburuan selama dua tahun, dengan melacak tempat- tempat yang pernah dilalui oleh para tokoh di Serat Centhini, utamanya Seh Amongrogo, dalam perjalanannya mengelilingi Pulau Jawa.

Sejak awal sudah diketahui bahwa kisah ini fiksi, dan ditulis berdasarkan perintah AA Mangkunegoro III. Namun, karena tempat-tempat yang dikunjungi begitu jelas, maka perlu mencari jejaknya melalui rekaman, film, dan fotografi. Memperoleh kurang lebih 2.000 ekspose.

Meski demikian, secara keseluruhan ilustrasi yang, antara lain, berisi suasana pesantren, berbagai adegan seni budaya (termasuk tayuban), serta keindahan alam, sangat mendukung isi buku karena pembaca diberi kesempatan berimajinasi mengenai suasana waktu kisah ini ditulis.

Jauh sebelum buku ini ditulis, pada tahun 1986 Karkono Kamajaya, melalui Yayasan Centhini di Yogyakarta, telah melatinkan naskah asli tersebut menjadi 12 jilid. Salah satu muatan buku yang tidak ditulis oleh Santoso ialah mengenai obat-obatan. Seperti tertulis di pupuh ke-112 pada (bagian dari pupuh) ke 35-38 dikisahkan tentang Ki Amat yang semalaman merintih menahan sakit karena gusinya bengkak. Oleh Mas Cebolang disuruh mengunyah bunga kenanga dengan garam, kemudian gusi yang bengkak ditusuk dengan tulang ikan asin (supaya tidak infeksi?) dan mengeluarkan darah. Dengan begitu sakitnya menjadi sembuh.

Masalahnya, bagi yang tidak memahami bahasa Jawa, lebih-lebih mengenai tembang, tentu akan kesulitan memahami buku ini. Apalagi kisah ini menceritakan banyak tokoh dengan banyak nama, karena satu orang memiliki lebih dari satu nama.

Sementara The Centhini, the Javanese Journey of Life Story berbentuk prosa yang lancar dan memikat, ditambah dengan silsilah keluarga dan alur perjalanan. Meski demikian, bagi yang menguasai bahasa Jawa, Serat Centhini Latin mungkin lebih memukau. (Kushartati, pengamat sastra Jawa)

Sumber: Kompas, Minggu, 1 Juni 2008

No comments: