Monday, June 02, 2008

Ajip Rosidi: Urang Sunda yang Mempersatukan

-- Martin Aleida*

SIAPA sih yang tahan berpoligami? Ada dai kondang, berbini dua, hidupnya redup seketika. Diwawancarai di televisi, dia sempat berurai air mata. Tetapi, Ajip Rosidi hokinya aduhai. Berpoligami tak tanggung-tanggung. Istrinya Empat! Dan dia aman-aman saja.

Ketika boyong ke Jepang tahun 1980, ”mereka” dibawa serta, tinggal serumah pula selama lebih dari dua puluh tahun. Kehidupan Ajip boleh dibilang loh jinawi. Sepulang dari Jepang, mereka menempati rumah raya di Magelang, Jawa Tengah, terletak di atas tanah tujuh hektar. Punya restoran yang menghidupi lagi.

Istri satu-satunya (!) itu, yang bernama Fatimah (dipanggil Empat), begitu dekatnya sehingga sering dibawa-bawa Ajip dalam lebih dari 270 pucuk surat yang ditulisnya selama 23 tahun di Jepang, yang terkumpul dalam buku ini. Surat-surat itu dia tujukan kepada teman-teman sastrawan, wartawan, peneliti asing di bidang politik dan sastra, juga keluarga dekat. Kedudukan istrinya dalam surat-suratnya itu punya daya hipnotis. Terbayang betapa si penyair Ajip bukanlah seorang hedonis yang seenaknya menelantarkan keluarga untuk sepotong puisi. Dia adalah seorang penyair sekaligus seorang family man yang memerhatikan kebutuhan-kebutuhan nonpuitis dan tak terduga istri dan anak-anaknya.

”Tentang obat hitam itu, memang Empat bilang merasakan perubahan sehingga kami sudah membeli satu botol lagi dan Empat sendiri telah pula menghabiskannya,” begitu Ajip menulis kepada Mochtar Lubis.

Tidak hanya dengan istrinya, dengan anak-anaknya dia juga dekat dan melimpahkan perhatian yang besar. ”Saya insya Allah dalam liburan musim panas akan menengok anak saya yang di Reading, yang bulan Februari lalu mengalami operasi buah dada. Waktu itu ibunya menemaninya di sana. Sekarang giliran saya menengoknya,” tulis Ajip kepada M Jim Adilimas, tokoh teater, temannya, yang bermukim di Perancis.

Antologi surat-surat ini menyuguhkan panorama berwarna-warni tentang sosok penulisnya. Karena ditulis sepucuk demi sepucuk, tanpa mengacu pada alur sebuah tema besar, maka tak heran kalau ada yang mengatakan Yang Datang Telanjang lebih memikat dibandingkan memoar Ajip, Hidup Tanpa Ijazah.

Ajip merayakan ulang tahun ke-70 pada 31 Januari 2008 dengan memberikan sumbangan sebuah memoar kepada khazanah sastra Indonesia, yang agaknya tak salah kalau dikatakan paling tebal yang pernah ditulis orang Indonesia. Di samping antologi surat, terbit pula himpunan tulisan tentang dia oleh handai taulannya, Jejak Langkah Urang Sunda: 70 Tahun Ajip Rosidi.

Selain seorang sastrawan, Ajip adalah penggerak budaya, dia termasuk penggagas Taman Ismail Marzuki, pengamat, dan penulis masalah politik. Karena itu, sepucuk surat yang meluncur dari tangannya adalah representasi dari sepenggal sejarah Indonesia pada zamannya. Setiap tahun dia menulis sekitar 500 pucuk surat. Sayangnya, sebagaimana dia akui sendiri, surat-surat itu sering tak berbalas, ”Sehingga tak terjadi korespondensi yang intensif.” Cuma dengan beberapa orang saja muncul suasana saling tukar pendapat, di antaranya dengan Syafruddin Prawiranegara. Gubernur Bank Indonesia ini, yang meninggalkan kedudukannya yang terhormat dan memilih membelot terhadap pemerintah sah untuk memimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia tahun 1958, di mata Ajip merupakan manusia paripurna yang selayaknya memimpin bangsa ini. Sayang, tak satu pun surat Ajip kepada, maupun dari Syafruddin, yang bisa disimak di dalam antologi ini.

Pujaan

Karakter tokoh pujaan Ajip itu hanya muncul sekilas dalam suratnya tertanggal 24 Februari 1986, yang ditujukan kepada penyair terkemuka Lekra, Agam Wispi, yang hidup terasing di Belanda. Membaca tulisan-tulisan dan mengikuti sepak terjang Syafruddin di bidang politik, tokoh idolanya itu menyadarkan Ajip tentang ”pentingnya cita-cita dalam hidup”. Ajip sempat punya angan-angan platonis mengenai pujaannya itu. Katanya kepada Wispi: ”Kalau saja (Syafruddin) tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, dia sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk menjadi seorang pemikir yang mendalam dan tajam.”

Selain Syafruddin, tokoh yang memesona Ajip adalah Natsir, M Roem, dan Ali Sadikin. Sementara Soekarno, Nasution, dan Soeharto hanya pantas dicerca, dikutuk, dan malahan dirajam. Dalam suratnya kepada Arifin C Noer, 17 Februari 1984, Ajip mengatakan, walaupun membaca gagasan-gagasan tentang demokrasi, Soekarno tetaplah seorang Jawa yang menyerap nilai-nilai masyarakat Jawa tentang raja dan negara sehingga ketika kemudian dia menjadi presiden dan memegang kekuasaan, maka sadar atau tidak sadar dia ingin menghayati kehidupan seorang Raja Jawa.

”Kau akan tertawa terpingkal-pingkal atau menangis dengan sedih kalau mendengar bahwa pada tahun 1963, ketika Ratna Sari Dewi pulang ke Jepang karena marah (purik), Soekarno mengirimkan menteri- menteri, bahkan perdana menteri, untuk membujuknya agar kembali ke Indonesia! Dapat kau bayangkan hal itu terjadi di zaman modern ini, kalau presidennya tidak merasa dirinya sebagai Raja Majapahit atau Mataram?” tulisnya menyindir.

Adapun sikapnya mengenai Nasution terbaca dalam surat kepada AQ Djaelani, 19 Desember 1998. Dia menuduh ABRI adalah ”biang keladi segala malapetaka yang terjadi di Indonesia, yaitu setelah diberi landasan ’dwifungsi’ oleh AH Nasution yang sebelumnya telah mendesak pemerintahan Djuanda (1958) agar mengusulkan kepada Konstituante, yang sedang bersidang, supaya menyetujui gagasannya ’kembali ke UUD 1945’.” Walau usul itu ditolak, menurut Ajip, Nasution-lah yang mendesak Soekarno untuk ”kembali ke UUD 1945” melalui Dekrit Presiden dan membubarkan Konstituante dengan alasan gagal menyusun undang- undang.

Terkadang ada pikiran yang memesona atau malah mengejutkan dalam surat-surat Ajip. Namun sayang, pikiran atau gagasan itu tidak tuntas dibicarakan. Di samping itu, kelihatannya ada beberapa surat yang memerlukan semacam pengantar untuk memperjelas kedudukan penulis surat yang diterima Ajip sehingga pihak kepada siapa surat itu ditujukan tidak terasa dihakimi secara sewenang-wenang.

Pembaca agaknya ingin tahu mengapa Ajip begitu naik darah tak-alang-kepalang ketika membalas surat Satyagraha Hoerip pada 24 Oktober 1986. Ini adalah surat penuh amarah yang pernah ditulis Ajip, selain suratnya kepada Salim Said tentang asal-usul pembentukan Dewan Kesenian Jakarta-TIM, di mana Salim terkesan membuat ”sejarah” sendiri mengenai pembentukan lembaga tersebut.

Kecaman

Satyagraha Hoerip menuai kecaman pedas karena Ajip menganggapnya sebagai ”budayawan” yang tak bisa ”menghormati” hak seseorang karena dengan lancang menyumbangkan honorarium cerita pendek Ajip kepada Yayasan Sastra HB Jassin sonder izin yang empunya. Dan dengan sinisme yang tajam, Ajip membalas hadiah buku yang dikirimkan Satyagraha Hoerip dengan janji akan meminta penerbit Djambatan untuk mengirimkan satu jilid bukunya tentang hak cipta, dengan anjuran agar dibaca!

Ajip menulis surat-suratnya dengan kecermatan seorang wartawan. Dia menghargai detail dalam rangkaian peristiwa. Sayang, dalam memandang sosok seorang pemimpin dia tampaknya bukanlah seorang pengamat yang menghargai hakiki. Dia menyebutkan dirinya sebagai seorang demokrat, tetapi ketika berhadapan dengan tokoh pujaannya Syafruddin Prawiranegara, dia melupakan diri bahwa sang idola ternyata bukanlah seorang yang ingin memenangkan idenya melalui jalan damai, tetapi memilih makar terhadap Republik. Ajip cuma silau pada sempalan citra Soekarno sebagai seorang pemuja kecantikan fisik perempuan dan melupakan gagasan tokoh besar ini tentang persatuan bangsa.

Sebagai seorang sastrawan, dengan surat-suratnya ini, Ajip memberikan gambaran dari sisi lain, yang lebih lengkap, mengenai pergolakan di bidang politik kebudayaan, terutama pada tahun-tahun menjelang dan sesudah bencana politik 1965. Ajip adalah seorang antikomunis dan anti-Soekarnois yang teguh. Tetapi, dia memiliki daya pikat yang melampaui batas ideologi, daya yang mempersatukan dan menghormati perbedaan. Lihatlah bagaimana dia bisa berhubungan erat dan bertubi-tubi dengan para penulis yang terasing karena rezim Soeharto, yang berdiam di Belanda, Perancis, Swedia, atau Jerman. Dengan sikap bersahabat dia menulis kepada Agam Wispi, Sobron Aidit, Asahan Alham (adik DN Aidit), Basuki Resobowo, Z Afiff, dan A Kohar Ibrahim. Juga penyair Lekra, penghuni Pulau Buru, S Anantaguna. Faktor ini menjadi alasan kuat mengapa buku yang tebal ini layak dimiliki, paling tidak disimak.

* Martin Aleida, Prosais, Tinggal di Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 2 Juni 2008

No comments: