Friday, June 27, 2008

Sastra: Chairil dan Kota Menghidupi Puisi

SEBERAPA dekat hubungan puisi dan kota? Bagi Charil Anwar, kota sumber inspirasi yang tak pernah mati. Kota dengan dinamikanya tak bisa dipisahkan dari puisi. Dari kota yang sesak dan penuh warna kehidupanlah lahir larik-larik puisi.

Arif Bagus Prasetyo dan Marco Kusumawidjaya mengemukakan hal itu pada diskusi ”Chairil Anwar dan Kota” di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta, kemarin. Mereka bersetia membedah sajak Chairil seperti Aku Berkisar Antara Mereka, Kesabaran, Perhitungan, Selamat Tinggal, Kepada Pelukis Affandi (1946), Pemberian Tahu, Dua Sajak buat Basuki Reksobowo, Senja di Pelabuhan Kecil, dan beberapa sajak penting lain.

Bagi mereka, kota adalah bagian sangat penting dalam sajak Chairil. Kota yang kerap dicitrakan tak bersahabat, mengasingkan para penghuni, muram, tak ramah, keras sekaligus mencengkeram kehidupan, justru membuat Chairil berhasil menelurkan puisi mumpuni.

Seperti Charles Baudelaire di Prancis pada abad ke-19 yang mengakrabi kehidupan bohemian. Baudelaire, menurut Arif, ”Menulis puisi dengan menjelajahi dan merayakan sisi gelap kota Paris abad ke-19.”
Menjadi Asing
Begitu pula Apollinaire pada abad ke-20 dan Frederica Garcia Lorca yang menjadikan kota tempat bercermin untuk menghasilkan karya. Karena hanya di kota, ujar Arif, setiap orang menjadi asing bagi orang lain. ”Tiap orang sendirian di kota besar, berbagi kesunyian dengan jutaan manusia sunyi,” katanya mengutip syair Octavio Paz.

Marco menyatakan sajak Chairil menggambarkan gempita kota tapi membisukan, kelam tapi menggelisahkan, mendesak menekan tapi tak mendengarkan, membawa banyak hal baru tapi mengasingkan. ”Subjek dalam sajak Chairil adalah muka yang berubah tak dikenal, penuh luka, hilang bentuk, berkelana terus-menerus, dan peragu kepastian,” katanya.

Berbeda dari Arif dan Marco, Goenawan Mohamad menilai hubungan Chairil dan kota tak melalui sajak. Namun dari tilikan sejarah keberadaan kota yang membuat seseorang bisa menjadi apa saja. Menjadi penyair atau pelacur, misalnya.

Jakarta, menurut Goenawan, tak jauh berbeda dari New York. Yang menurut kata-kata Lorca, dikuasai ”kebisuan yang kejam dari uang,” el cruel sielncio de la moneda. Karena itu mampu membuat orang yang mendiami tak terlihat, sebagaimana terlalu banyak bagian kota yang tak terlihat.

”Mungkin hanya dengan kesusastraan kita dapat menangkap jejak itu, menemui bagian dari bawah sadar kota yang kelam, seperti diri kita,” katanya, sembari menukil baris terakhir sajak Chairil tentang Jakarta: Kusalami kelam malam dan mereka dalam diriku pula. (Benny Benke-53)

Sumber: Suara Merdeka, Jumat, 27 Juni 2008

No comments: