-- Lan Fang* dan Anung Wendyartaka**
DUA minggu lalu, tepatnya tanggal 13 Mei, adalah peringatan 10 tahun reformasi. Imbas positif dari gerakan reformasi yang mengorbankan nyawa beberapa mahasiswa Trisakti, Jakarta, ini bagi masyarakat di Indonesia adalah dibukanya keran-keran kebebasan berekspresi bagi seluruh elemen masyarakat yang selama ini sempat dibungkam oleh pemerintahan Orde Baru.
Kantor redaksi harian Nusantara (Qiandao Ribao) yang menempati sebuah ruko sewaan sederhana di Jalan Kedungsari, Surabaya. (ANUNG WENDYARTAKA/Kompas Images)
Salah satunya adalah dicabutnya larangan bagi etnis China untuk berekspresi sehingga berbagai kegiatan berbau kebudayaan China atau oriental yang dulunya dilarang sejak itu boleh muncul lagi.
Tiga puluh tahun lebih Pemerintah Indonesia menerapkan politik tertutup terhadap Pemerintah China. Akibatnya tidak hanya pada pembekuan hubungan diplomatis dan politis, tetapi juga merembet ke dalam dunia pendidikan. Setidaknya di Surabaya ada tujuh sekolah menengah atas berbahasa China yang ditutup pada era 1965-1966, yaitu Zhong Zhong, Xin Zhong, Qiao Guang, Qiao Zhong, Kai Ming, Fu Zhong, dan Hua Shi. Ketika itu, semua yang beraroma China tidak boleh digunakan. Tidak ada lagu China, film China, tulisan China, atau buku China. Otomatis, bahasa China terbungkamkan.
Pada era reformasi, dibukalah kunci itu. Semenjak itu warga etnis China mulai berani melakukan berbagai kegiatan budaya bernuansa China, yang selama ini dilarang, secara lebih terbuka, seperti perayaan Imlek, pemakaian simbol-simbol budaya China, hingga pemakaian bahasa China atau Mandarin di ruang publik. Bahasa Mandarin yang sebelumnya lebih banyak dipelajari untuk keperluan bisnis, seiring pesatnya kemajuan Republik Rakyat China sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia, sejak reformasi kian digunakan secara lebih luas. Koran-koran berbahasa China mulai jamak diterbitkan di kota-kota, seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Tak hanya itu penggunaan bahasa China juga semakin berkembang dengan munculnya sekolah-sekolah baru dengan label sekolah internasional atau sekolah dengan kurikulum plus plus yang memasukkan bahasa China sebagai salah satu bahasa pengantar, selain bahasa Indonesia dan Inggris. Bidang studi sastra Tionghoa pun dibuka di beberapa universitas negeri dan swasta. Lembaga kursus bahasa China pun menjamur bak cendawan di musim hujan.
Gairah untuk kembali menggunakan bahasa China ini juga dialami oleh para alumnus sekolah China di Kota Surabaya. Di Surabaya, misalnya, sebagian dari mereka yang dulunya punya hobi menulis puisi, cerpen, novel, maupun esai mulai menulis lagi kendati kadang hanya diterbitkan untuk kalangan terbatas. Seperti yang dilakukan Yuliana Susilo, Rong Zi, dan Zhou Su Xin. Mereka menerbitkannya dalam bentuk buku maupun mengirimkan ke majalah atau koran berbahasa China baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagai media untuk menampung dan menyalurkan tulisan- tulisan berbahasa China tersebut, mereka juga menerbitkan surat kabar, seperti yang dilakukan Kadir Chandra dengan mendirikan koran berbahasa China, Qiandao Ribao.
Menurut Soedomo Mergonoto, Ketua Dewan Pembina Yayasan Margo Utomo (perkumpulan warga bermarga Go) yang bernama asli Go Tek Hwei, mempelajari bahasa China saat ini merupakan kebutuhan untuk mengikuti perkembangan zaman. ”Bangkitnya ekonomi negara Tiongkok di tingkat dunia sebagai salah satu alasannya. Kalau kita sekarang ke Eropa, department store-department store yang besar-besar mempekerjakan orang Tiongkok untuk melayani turis dari Taiwan, Hongkong, dan China. Di Indonesia sendiri boleh dikatakan turis terbesar dari Tiongkok, 200.000 orang,” kata Soedomo, yang juga pemilik perusahaan kopi Kapal Api.
Soedomo juga menyayangkan begitu banyak buku-buku bagus berbahasa China yang ternyata diterjemahkan ke bahasa Inggris. Bukan saja buku-buku dengan nuansa kedalaman, seperti sastra dan filsafat, tetapi juga buku-buku ilmu pengetahuan lainnya, seperti pengobatan, teknologi, dan ekonomi. Di samping itu, menurut dia, dengan kualitas pendidikan yang baik, suatu bangsa otomatis mempunyai filter untuk menyaring ideologi mana yang cocok untuk dirinya.
Oleh karena itu, Soedomo, alumnus sekolah Xin Zhong Surabaya, bersama beberapa temannya mendirikan sekolah berstandar internasional dengan tiga bahasa. ”Kita melihat banyak orang Indonesia, terutama yang keturunan China, maunya kuliah di Amerika atau paling enggak di Singapura. Mereka banyak yang ndak kembali sehingga bisa dikatakan yang masih di sini tinggal yang grade 2,” ujar Soedomo. Hal ini tidak bisa disalahkan selama mutu pendidikan di Indonesia belum sebaik di Amerika atau setidaknya Singapura.
Resinifikasi atau revivalisasi?
Menurut Didi Kwartanada, peneliti sejarah etnis China di Indonesia, fenomena kegairahan sebagian warga etnis China di Indonesia untuk mempelajari, dan menggiatkan kembali penggunaan bahasa dan budaya China adalah bentuk dari kerinduan terhadap masa lalu. ”Dalam fenomena sosial ada namanya resinifikasi atau pencinaan kembali. Jadi, dulunya sempat hilang sekarang menjadi China kembali,” kata Didi Kwartanada. Namun, ia belum yakin benar apa yang terjadi saat ini adalah memang benar fenomena resinifikasi seperti yang terjadi pada saat zaman penjajahan Jepang dulu. ”Waktu Jepang masuk Indonesia karena Jepang anti-Belanda semua sekolah Belanda di tutup. Jepang mengharuskan orang China yang sebelumnya sekolah di sekolah Belanda berbahasa China kembali. Mereka diharuskan bisa menulis dalam bahasa China dan harus belajar bahasa China. Nah, itu saya berani bilang resinifikasi, tapi kalau yang terjadi sekarang saya belum berani ini masuk resinifikasi,” kata Didi.
Menurut Didi, identitas kecinaan itu didukung oleh tiga pilar. Pertama, sekolah dengan medium bahasa China. Kedua, pers bahasa China. Ketiga, organisasi China. ”Ketiganya memang sudah ada, tetapi yang saya dengar koran-koran berbahasa China masih terbatas dibaca di kalangan orang-orang tua saja, belum dibaca oleh kaum muda. Beritanya juga banyak yang tidak asli, banyak yang ngambil dari internet dari Hongkong, China. Berita asli Indonesia hanya separuhnya,” kata Didi yang juga seorang China peranakan.
Pendapat yang hampir senada juga muncul dari Mona Lohanda, pengarsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang banyak meneliti kehidupan etnis China di masa kolonial. Menurut Mona, aktivitas para alumnus sekolah China di Jakarta, Surabaya, maupun kota-kota lainnya menghidupkan lagi budaya China, seperti bahasa, kesenian, hingga mendirikan sekolah berbahasa pengantar China lebih bersifat nostalgia. Namun, ia juga melihat bahwa belakangan ini memang ada fenomena revivalisme atau kebangkitan kembali atau upaya menghidupkan kembali kebudayaan China di Indonesia, terutama sejak reformasi. ”Ada dua organisasi besar di Indonesia. Yang pertama INTI (Indonesia Tionghoa) yang bergerak di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Yang satu khusus kebudayaan, yaitu PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia),” papar Mona yang juga mengaku sebagai seorang China peranakan.
Menurut Mona, alumni sekolah China yang sudah mapan, seperti alumni sekolah Pahoa Jakarta, memikirkan untuk membentuk sekolah yang dapat mewarisi anak-anaknya nilai-nilai Konfusius yang pernah mereka pelajari. Alasannya, dalam ajaran Konfusius ada soal tata karma, etika, budi pekerti, sementara sekolah yang ada sekarang tidak mengajarkan hal itu.
Sekolah Xin Zhong
Hal serupa juga dilakukan Soedomo Mergonoto, ia bersama teman-teman alumni sekolah Xin Zhong Surabaya yang tergabung dalam Yayasan Sarana Hubungan Harmonis Sejahtera (SHHS) mendirikan sekolah tiga bahasa Xin Zhong Xue Xiao. ”Kita ingin buat sekolah yang bermutu. Jadi orang kita enggak perlu sekolah ke Singapura. Kita juga sudah amati sekolah-sekolah sekarang ndak ada yang diajari budi pekerti, murid berantem dengan guru. Mungkin budaya kita ini (China) pelan-pelan akan hilang. Kita akan mengembalikan sehingga murid- murid sekolah kita diajari budi pekerti, diajari bagaimana menghormati guru, orangtua, juga terhadap sesama,” ujar Soedomo.
Di dunia sastra, aktivitas membangkitkan kembali sastra China di negeri ini disambut positif . Salah satunya adalah ketertarikan beberapa penerbit besar, seperti Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan sastra klasik China semacam puisi ke dalam bahasa Indonesia.
Salah satu contohnya adalah kumpulan puisi Purnama di Bukit Langit karya penerjemah Zhou Fuyuan. Hal ini menunjukkan bahwa sastra bernuansa oriental ini cukup diminati pasar. Selain itu, sastra klasik China merupakan karya sastra yang bermutu dan bagi kalangan etnis China sastra genre ini bisa dijadikan jembatan untuk menyelami akar budaya leluhur. Oleh karena itu, tak heran apabila selain karya sastra belakangan ini buku-buku lain yang berisi kata-kata kebijaksanaan (chinese wisdoms), peribahasa, ungkapan atau kata-kata mutiara yang diambil dari budaya China (Chinese Sayings) pun banyak diminati, bahkan masuk dalam kategori buku laris di toko buku.
Di sisi lain, menurut penyair sekaligus dosen sastra FIB Universitas Indonesia, Sapardi Djoko Damono, runtuhnya pemerintahan Orde Baru membuka semacam gerbang bagi sastrawan etnis China di Indonesia untuk kembali berbicara banyak dalam kancah sastra Indonesia seperti pada zaman sebelum kemerdekaan. ”Waktu itu pers (penerbitan) dikuasai oleh kaum peranakan. Dari penelitian saya bersama teman-teman di Pusat Bahasa, ternyata terbitan karya sastrawan etnis Tionghoa jumlahnya puluhan kali lebih banyak dari Balai Pustaka,” kata Sapardi menjelaskan.
Maka dari itu, ia menyambut baik kehadiran sastrawan-sastrawan etnis China tak hanya yang berkarya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga yang berkarya dalam bahasa China di dunia sastra Tanah Air. ”Biar dunia sastra kita tambah berwarna- warni. Selain itu, biar komunikasi antar-etnis menjadi lebih terbuka karena hanya lewat sastra, hal ini bisa terjadi. Tidak lewat politik, ekonomi, atau yang lain,” imbuh Sapardi.
Kegairahan untuk kembali mengangkat budaya China ini ternyata masih menyisakan beberapa persoalan. Salah satunya adalah pesimisme bahwa gerakan ini hanya terbatas romantisme nostalgia bagi kalangan generasi tua China sehingga akhirnya tidak bergaung dan berhenti di tengah jalan. ”Kalau yang tua-tua masih semangat karena ingin mewarisi, tapi respons yang muda itu belum jelas. Mereka punya persoalan sendiri.
Dengan lebih dari 30 tahun ditutup, ekspresi budaya orang muda Tionghoa akan berbeda. Mereka tidak mengenal ”Tionghoa-nya karena sudah tidak pernah digunakan di rumah. Belum lagi pengaruh globalisasi,” kata Mona Lohanda.
* Lan Fang, Sastrawan
** Anung Wendyartaka, Litbang Kompas
Sumber: Kompas, Senin, 2 Juni 2008
No comments:
Post a Comment