Thursday, August 12, 2010

[65 Tahun Indonesia] Hikmah dan Inspirasi dari Semangat Olimpiade

-- Anton Sanjoyo

HARI Minggu, tanggal 8 Agustus lalu, China memperingati dua tahun Olimpiade Beijing dengan menggelar sejumlah acara di sekitar Stadion Sarang Burung (Bird Nest). Diberi tajuk ”From Olympic City to World City”, China bukan sekadar ingin mengenang mega-sukses penyelenggaraan Olimpiade Beijing 2008. Rangkaian festival olahraga dan simposium itu tak pula sekadar ingin mengenang direbutnya supremasi olahraga dunia dari tangan Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Lebih dari itu, mereka ingin memelihara semangat olimpiade yang mempersatukan China dalam sebuah entitas bangsa yang sehat, utuh, dan kuat.

Spanduk penyemangat Timnas Indonesia (KOMPAS/DANU KUSWORO)

Dua tahun setelah upacara pembukaan paling memesona sepanjang sejarah olimpiade, Stadion Sarang Burung tetap menjadi simbol dominasi China dalam dunia olahraga. Pada hari Minggu yang terik menyengat itu, ratusan ribu manusia menyemut dan melakukan aneka kegiatan olahraga di sekitar stadion nasional yang dibangun dengan biaya hampir setengah miliar dollar AS tersebut. Meski berdesakan dan hampir tak ada sejengkal tanah yang cukup leluasa untuk digunakan bergerak, kegembiraan jelas tergambar di wajah-wajah mereka yang bermandi peluh.

”Kehebatan China bukan saja mereka mampu menggelar olimpiade dengan sukses, tetapi lebih dari itu mereka mampu mempertahankan spirit olimpiade. Olahraga sudah menjadi darah dan daging masyarakat China,” ujar Rita Subowo, Ketua KONI-KOI yang juga anggota eksekutif Komite Olimpiade Internasional (IOC).

Indonesia, sambung Rita, tertinggal sangat jauh dalam semangat ini. ”Jika tidak ada langkah yang benar-benar strategis dan konkret, terutama kemauan politik dari pemerintah, olahraga Indonesia akan semakin tertinggal karena negara seperti China sudah ’berlari’, bahkan dengan sangat cepat,” tutur Rita sembari memandang Stadion Sarang Burung yang megah.

Olimpiade Beijing 2008 memang salah satu tonggak terpenting bagi China, bangsa yang punya tradisi kuat berusia ribuan tahun. Saat itu, untuk pertama kalinya China merontokkan hegemoni Amerika Serikat dan negara Barat dalam dunia olahraga. Perjalanan China menjadi penguasa dunia olahraga dimulai lebih dari 40 tahun lalu saat bapak bangsa China, Mao Zedong memimpin Revolusi Kebudayaan. Tampil sebagai figur terdepan bagi kelas pekerja China yang selama 100 tahun lebih memerangi imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme, Mao meletakkan olahraga sebagai salah satu pilar pembangunan China untuk menjadi bangsa terhormat dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain.

Meski wafat pada 1976, lebih kurang satu dekade setelah meletakkan olahraga sebagai salah satu pilar pembangunannya, bangsa China memelihara pesan yang disampaikan Mao. Ribuan fasilitas olahraga dibangun di hampir semua provinsi. Kegiatan olahraga sangat subur mulai dari tingkat keluarga, sekolah menengah, hingga universitas. China melahirkan atlet-atletnya lewat kegiatan kompetitif mulai dari tingkat kelurahan, provinsi, hingga nasional, sampai kemudian mereka mengukuhkan dominasinya di Beijing 2008.

Presiden IOC Jacques Rogge mengatakan, sukses China bukan sekadar pada penyelenggaraan Beijing 2008, atau prestasi medali, tetapi juga pada keberhasilan bangsa ini meletakkan fondasi Gerakan Olimpiade (Olympic Movement). ”Belum pernah terjadi sebelumnya, jiwa dan raga anak-anak di seluruh dunia begitu tersentuh oleh semangat nilai-nilai olimpiade,” ujar Rogge.

Indonesia, sebagai bangsa, tentu saja tak perlu meniru revolusi kebudayaan atau ideologi Mao Zedong untuk bangkit dalam bidang olahraga dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan internasional. Sejarah membuktikan, Indonesia bukanlah bangsa inferior dalam tata pergaulan olahraga internasional. Kita pernah menjadi pemimpin informal lewat Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada era Bung Karno. Pada era Orde Baru pun Indonesia mengalami masa-masa keemasan baik di olimpiade, Asian Games, terlebih SEA Games.

Meski demikian, seusai mengalami malapetaka krisis ekonomi 1998 dan setelah 65 tahun merdeka, Indonesia belum mampu kembali berdiri sama tegak dalam prestasi olahraga. Kalaupun China sudah berlari sangat kencang dan sulit terkejar, Indonesia masih harus berjuang keras mengembalikan supremasinya di regional Asia Tenggara yang selama dua dekade lebih sejak 1977 menjadi ajang unjuk kehebatan atlet-atlet ”Merah Putih”.

Patut ditiru

Semangat memelihara warisan olimpiade yang dilakukan China sepertinya harus ditiru dalam kehidupan keseharian bangsa Indonesia. Dimulai dari keluarga, olahraga harus dimulai sejak usia dini, diperkenalkan, dicintai, dan secara gradual berkembang menjadi kebiasaan (habit). Pada kongres IOC, Juni lalu di Jyvaskyla, Finlandia, yang khusus membahas ”Sports for All”, salah satu rekomendasi yang ditelurkan adalah keluarga harus menjadi figur panutan (role model) dan memberikan pengaruh positif dalam kegiatan jasmani, baik di sekolah maupun di komunitas lingkungan terdekat.

Jika dikaitkan dengan komunitas terdekat, lingkungan di sekitar rumah, baik di perkotaan maupun pedesaan, sebagian harus didedikasikan untuk fasilitas olahraga. Peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga adalah melakukan lobi tingkat tinggi, misalnya kepada Kementerian Dalam Negeri agar pemerintah-pemerintah daerah menerapkan dengan tegas peraturan tentang penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial serta ruang terbuka hijau, bagi pengembang perumahan.

Dalam kaitan lingkungan sekolah, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional punya peran yang tak kalah strategisnya. Menurut Rita Subowo, Deklarasi Jyvaskyla menyerukan agar pemerintah membangun kurikulum pendidikan yang memberikan lebih banyak ruang dan waktu bagi pendidikan jasmani. ”Pemerintah juga harus proaktif dalam memberikan informasi tentang manfaat kegiatan jasmani.”

Lebih dari 40 tahun lalu, Mao Zedong punya keyakinan kuat bahwa bangsa China yang sehat akan menghasilkan rakyat yang produktif dan negara tidak banyak terbebani oleh ongkos kesehatan yang sangat mahal. Sumber daya Indonesia pastilah tidak kalah, bahkan kemajemukan dan keanekaragaman budaya yang kita miliki jauh lebih kaya dengan masing-masing punya keunggulan yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain, bahkan China sekalipun.

Maka, berangkat dari semangat ”bhineka tunggal ika”, berbeda-beda tetapi satu jua Indonesia, kita tinggal memetik hikmah dan inspirasi dari semangat olimpiade yang bukan saja milik warga Beijing, atau China, tetapi milik semua bangsa di muka bumi ini. Indonesia punya segala-galanya untuk berprestasi dalam olahraga, sejajar dengan bangsa lain di semua bidang kehidupan.

Sumber: Kompas, Kamis, 12 Agustus 2010

No comments: