Thursday, August 12, 2010

[65 Tahun Indonesia] Lemahnya Kepemimpinan Ancam Otonomi Daerah

-- Bambang Sigap Sumantri

SEJAK digulirkannya otonomi daerah secara nyata satu dekade yang lalu, sila Persatuan Indonesia relatif aman. Gagasan untuk memisahkan diri menjadi negara sendiri makin hilang, bentuk negara kesatuan (unitary state) masih dapat dipertahankan. Akan tetapi, hal ini bisa terancam karena masalah kepemimpinan.

Mengapa orang yang mempunyai kekuasaan tidak bisa memimpin atau kepemimpinannya tidak muncul? Jawabannya sudah diberikan oleh Burns bahwa semua pemimpin adalah pemegang kekuasaan yang potensial atau nyata, tetapi tidak semua pemegang kekuasaan adalah pemimpin.

Salah satu kekacauan negara ini adalah begitu banyaknya kasus korupsi yang kini terjadi di daerah. Pelakunya tidak hanya para kepala daerah dan perangkat eksekutif, tetapi juga anggota DPRD. Di era otonomi, yang dibagi ke daerah bukan hanya kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat, tetapi juga penyalahgunaan kewenangan. Korupsi makin merajalela karena negara ini mempunyai pemegang kekuasaan yang begitu nyata kekuatannya karena didukung rakyat dan partai besar serta kecil di DPR, tetapi bukan seorang pemimpin.

Kasus korupsi yang menggelembung bukan satu-satunya permasalahan yang dibiarkan terus membesar karena kelemahan kepemimpinan. Pemekaran daerah merupakan soal lain yang dampak permasalahannya sama, rakyat terbebani, rakyat menderita. Elite yang bermain, rakyat menjadi korban. Tujuan pemberian otonomi untuk menyejahterakan rakyat sungguh makin jauh saja.

Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah yang merevisi UU No 22 Tahun 1999 masih tetap memberikan nuansa otonomi yang kental kendati tidak sebebas sebelumnya. Pemerintah pusat hanya mengurus politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.

Misalnya, transfer kewenangan lebih diatur dan DPRD tak lagi dominan terhadap posisi kepala daerah sehingga tak bisa dengan mudah menjatuhkan eksekutif. Namun, otonomi pemerintah daerah (kota dan kabupaten) tetap sangat memadai, bahkan tumpang-tindih dengan provinsi saking semangatnya untuk membagi kewenangan. Bab III yang membicarakan pembagian urusan pemerintahan pada Pasal 13 dan 14, membagi 16 urusan pemerintahan yang diberikan kepada pemerintah provinsi dan kota/kabupaten. Sebanyak 16 urusan yang diberikan kepada provinsi dan kota/kabupaten kebanyakan juga sama.

Dari segi konseptual, pembagian kewenangan dan urusan pemerintahan melalui undang-undang otonomi yang ada sekarang ini sudah memadai walaupun masih menyisakan catatan besar. Umpamanya, bagaimana mengakomodasi keinginan rakyat Yogyakarta agar mereka mempunyai Undang- Undang tentang Keistimewaan Yogyakarta. Sampai sekarang, RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta stagnan, tidak menarik perhatian eksekutif ataupun legislatif agar menggelinding menjadi kepastian hukum.

Stagnasi ini sesungguhnya merugikan citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin. Dibandingkan Aceh dan Papua, Yogyakarta tak mempunyai sumber daya alam sebagai sumber pendapatan negara. Rakyat Ngayogyakarta juga tak gampang diprovokasi untuk melakukan tindakan brutal melawan pemerintah pusat. Hal ini sebenarnya tidak cukup untuk menjadi alasan bagi pemerintahan SBY ataupun DPR mendiamkan proses legislasi undang-undang keistimewaan.

Salah satu keberhasilan otonomi daerah yang bisa dirasakan adalah berakhirnya gagasan untuk mendirikan negara bagian. Ide pembentukan negara federal (federal state) makin kehilangan gaungnya sejalan dengan pemberian otonomi khusus kepada dua daerah di ujung barat dan timur kawasan Indonesia itu. Apalagi, peran militer sejak dibatasinya kewenangan pemerintah pusat menjadi makin menyusut. Sekarang masuk militer tak lagi identik dengan titik awal untuk meraih posisi sebagai kepala daerah.

Deret ukur korupsi

Penyelesaian RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta yang menggantung tetap merupakan masalah besar yang sebaiknya segera menjadi prioritas. Ujian kepemimpinan Presiden SBY juga terletak pada bagaimana ia mampu menghentikan atau setidaknya mengurangi pertumbuhan kasus korupsi di daerah yang bagai deret ukur, tiap bulan melonjak dramatis.

Jumlah kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) yang terseret kasus korupsi lima tahun terakhir sebanyak 75 orang. Mereka sudah divonis dan menjalani hukuman. Dari jumlah itu, 51 orang (68 persen) merupakan kepala daerah yang berasal dari luar Jawa. Zaman Orde Baru, korupsi di daerah lebih terbatas karena pemekaran daerah juga tidak setajam tahun-tahun belakangan ini.

Saat awal peluncuran otonomi daerah, sekitar sebelas tahun yang lalu, banyak pakar politik memperkirakan akan terjadi lonjakan perkara korupsi di daerah. Pembagian urusan dan kewenangan melalui undang-undang otonomi juga membawa serta aliran dana yang sangat deras ke daerah (money follow function).

Tiap tahun, sekitar Rp 300 triliun uang APBN dialirkan ke seluruh daerah Nusantara. Uang yang begitu besar mengalir ke daerah, sementara lembaga dan sumber daya manusianya tidak siap. Kontrol sosial sulit dilakukan, elite politik lokal merasa aman terutama sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbentuk.

Korupsi benar-benar menjerat nasib rakyat. Uang yang seharusnya untuk kesejahteraan mereka, dinikmati segelintir penguasa jahat. Di sisi lain, banyak pejabat kini menjadi ragu atau takut ditangkap KPK, mereka lantas mendiamkan anggaran daerah yang ada. Banyak pembangunan menjadi mandek. Ini, misalnya, gampang kita jumpai dengan begitu banyaknya jalan, jembatan, dan fasilitas publik rusak parah tetapi tak ada upaya pemerintah daerah untuk memperbaikinya.

Selain kasus korupsi, Presiden SBY sebaiknya juga mampu bersikap tegas terhadap upaya pemekaran yang diajukan daerah otonom baru (DOB). Data per Januari 2010, jumlah kabupaten/kota mencapai 497, sebelum diberlakukan undang-undang otonomi jumlahnya hanya 330. Mengapa presiden harus tegas?

Banyak studi menunjukkan, pemekaran hanya menambah kemiskinan. DOB pada umumnya menjadi kantong kemiskinan yang susah berkembang karena dibentuk dalam suasana yang terburu-buru. Temuan Building and Reinventing Decentralised Governance (Bridge) tahun 2007 menyimpulkan, penduduk miskin justru terkonsentrasi di DOB. Disarankan, agar pemerintah pusat juga bertindak tegas dalam hal evaluasi terhadap wilayah yang saat ini sudah memiliki status otonom. Hal ini tidak berarti re-sentralisasi, tetapi memang merupakan tugas pemerintah pusat untuk menjaga kualitas proses pembangunan dan bukan hanya menyetujui keinginan daerah.

Dengan tak tercapainya kesejahteraan rakyat, pelaksanaan otonomi daerah terancam. Kini yang dibutuhkan adalah ketegasan sikap dari pemegang kekuasaan tertinggi, untuk memimpin bangsa ini tak menjadi makin terpuruk.

Sumber: Kompas, Kamis, 12 Agustus 2010

No comments: