Thursday, August 12, 2010

[65 Tahun Indonesia] Persatuan, Tidak Lagi Berbentuk Fisik

-- Edna C Pattisina

DALAM berbagai kesempatan, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menekankan, persatuan Indonesia yang muncul dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mutlak bagi TNI.

Persatuan, Tidak Lagi Berbentuk Fisik (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

Masalahnya, kemutlakan itu berada dalam berbagai kondisi lain. Di satu sisi, dalam perspektif demokrasi, negara wajib memberikan perlindungan keamanan bagi warganya dengan berdasar pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Bentuk ancaman nonmiliter, seperti ideologi, ekonomi, dan budaya kini lebih mengemuka walau tidak menihilkan ancaman militer, seperti terorisme, pelanggaran perbatasan, dan gerakan separatis.

Secara internal, berbagai regulasi pascareformasi, seperti pemisahan TNI dan Polri lewat ketetapan MPR tahun 2000, Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara, UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU Nomor 34/2004 tentang TNI, belum mampu membentuk budaya pertahanan dan keamanan. Akibatnya, secara teknis terjadi berbagai ekses yang tidak diinginkan, seperti gamangnya kita menentukan cetak biru dan konsep besar dalam aspek keamanan nasional.

Keamanan nasional tidak lagi bisa menjadi doktrin yang menjadi alasan negara untuk menjadi dominan karena keamanan negara juga menyangkut aspek kebangsaan, kemasyarakatan, dan individu. Dalam konteks negara disebutkan bahwa seluruh komponen bangsa dan penyelenggara diamanatkan mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam konteks kebangsaan, keamanan nasional itu diamanatkan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Dan dalam konteks kemasyarakatan dan individu, keamanan ini harus bisa dirasakan sampai ke tingkat individu, serta pada kemudahan untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, dan bekerja.

Masalahnya, mengamankan Indonesia tidaklah sederhana. Bentuk negara yang kepulauan terbuka dengan berbagai status wilayah perbatasan yang belum jelas membuat negara ini sulit dijaga. Besarnya jumlah penduduk tinggi dan penyebaran yang tidak merata berdampak pada masalah sosial dan ekonomi. Besarnya sumber daya alam malah menjadi sumber masalah, seperti pencurian kayu dan ikan, karena tidak dikelola dengan baik.

Untuk masalah laut, misalnya, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Sumardjono dalam sebuah diskusi di Cilangkap, akhir bulan Juli lalu, memaparkan, betapa Indonesia tidak mendapatkan apa-apa dari kehadiran Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). ALKI adalah alur laut yang dapat dilewati oleh kapal dan pesawat udara asing berdasarkan Hukum Laut Internasional/UNCLOS 1982.

Dari segi nonmiliter, keterbukaan global mau tidak mau mendinamisasi nilai-nilai tradisi dan membuat perusahaan-perusahaan multinasional merajalela. Dalam sebuah diskusi di Cilangkap, akhir bulan Juli 2010, mantan petinggi intelijen Mayjen (purn) Zacky Makarim menyebutkan, perusahaan multinasional adalah bentuk ”tentara baru” yang akan menaklukkan negara yang lemah.

Selain menengarai berbagai regulasi seperti UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing yang disebutnya dibuat dengan campur tangan asing, Zacky juga memaparkan bagaimana penguasa perusahaan yang menguasai kesejahteraan masyarakat dikuasai asing. ”Bank saja sekarang hanya dikuasai pemerintah 37,4 persen, sementara asing kuasai lebih dari 50 persen,” kata Zacky.

Dari segi sosial budaya, persatuan Indonesia dikhawatirkan malah tergerus oleh semangat primodialisme yang sejalan dengan otonomi daerah. Hal itu ditambah dengan kekacauan manajerial, di mana berbagai pihak berbondong-bondong ingin otonom demi memperkaya diri.

Masalah yang sering mengemuka dalam isu pertahanan adalah berkaitan dengan anggaran yang kecil. Hal ini memang menjadi sebuah fakta mengingat anggaran TNI di bawah 1 persen dari pendapatan nasional bruto. Bahkan, pemenuhan untuk kekuatan pokok minimum yang sudah sangat kecil itu juga dinyatakan pemerintah tidak bisa terpenuhi.

Akibatnya, senjata-senjata tua tidak bisa diganti, apalagi pembelian baru sulit diharapkan. ”Biasanya, negara-negara dengan anggaran di bawah dua persen itu hanya pemeliharaan saja,” kata pengamat militer Andi Widjajanto dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, akhir bulan lalu.

Tidak hanya berkaitan dengan anggaran, hingga kini, TNI belum membuat konsep tentang kesatuan trimarta: darat, laut, dan udara. Ketiadaan hal ini membuat sistem komando operasi gabungan hanya bersifat temporer semata.

Dari berbagai karut-marut itu, Djoko Santoso melihat bahwa permasalahan ada di sistem keamanan nasional yang komprehensif dan dinamis dan mampu melindungi kepentingan bangsa belum ada. Sistem ini mencakup aspek regulasi, pemerintahan yang bersih, dan keterlibatan seluruh komponen bangsa, termasuk aktor politik ataupun operasional dan civil society.

Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam diskusi di Kementerian Pertahanan, beberapa waktu lalu, mengatakan, saat ini yang terjadi adalah perang yang tak kentara. Perang yang nyata itu adalah perang selisih keunggulan. Saat itu, Juwono mencontohkan Singapura yang unggul dengan aspek manajerial. ”Seharusnya, kita bisa bikin kluster-kluster tandingan, misalnya Ambon digunakan sebagai jalur perdagangan,” kata Juwono.

Sudah saatnya kita memandang kesatuan Indonesia tidak hanya berbentuk fisik semata dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, dibutuhkan pemimpin dengan pola pikir direktur utama dengan konsep manajerial dan kepemimpinan yang kuat. Potret negara-bangsa Indonesia adalah sebuah persatuan ide, tinggal senjata apa yang kita pergunakan, mulai dari pesawat tempur, kapal selam, hingga perdagangan, diplomasi, sampai kampanye di Twitter.

Sumber: Kompas, Kamis, 12 Agustus 2010

No comments: