Thursday, August 12, 2010

[65 Tahun Indonesia] Tak Sekadar Uang untuk Daerah

-- Hariadi Saptono

BULAN Juni 2010, Harian ”Kompas” menurunkan serial 45 tokoh inspiratif dari seantero Indonesia. Dua sosok di antaranya bisa menjadi bukti tentang dua hal. Pertama, daerah pedalaman hingga kini tetap saja terabaikan oleh pemerintah. Kedua, rakyat jelata acapkali punya sumbangsih amat besar bagi komunitas yang luas, melampaui peran pejabat yang seharusnya menyejahterakan warganya.

Kedua sosok itu adalah Panglima Nayau (92) dari Kalimantan Barat dan Oom John Kei (48) dari Pulau Kimaam, Kabupaten Merauke.

Tokoh masyarakat Dayak dari Kampung Tapang Sebeluh, Desa Malenggang, Sekayam, Kabupaten Sanggau, itu adalah intelejen di masa konfrontasi Indonesia dan Malaysia di tahun 1960-an, dan saat Indonesia berkonflik dengan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku), dan Pasukan Gerakan Rakyat Sabah (PGRS) tahun 1967 di perbatasan Kalbar-Malaysia.

Ketika terjadi kerusuhan antaretnis tahun 1997 di Kalbar, Panglima Nayau muncul kembali sebagai mediator yang mendinginkan suasana.

”Saya orang Dayak, tetapi saya tidak setuju kekerasan semacam itu,” tuturnya. Ia pun menyelamatkan ratusan warga Madura di Kabupaten Sanggau yang dikejar-kejar sebagian orang Dayak.

John Kei, alias Max Johanes Rahabeat, adalah arsitek desa pembuat dermaga-dermaga kapal, bangunan-bangunan besar perkantoran, dan perumahan dari Distrik Kimaam, Pulau Kimaam, Kabupaten Merauke, Papua. Hampir 30 tahun ia memoles wajah Pulau Kimaam, pulau terluar RI yang luasnya 11.600 kilometer persegi (dua kali Pulau Bali).

Yang mengenyakkan, kedua sosok dan komunitas mereka persis sama-sama mengalami kontras kehidupan, dan menempatkan individu dan masyarakat sangat tertinggal tingkat kesejahteraannya.

Di pedesaan perbatasan Malaysia-Indonesia, di mana Panglima Nayau ”hilir-mudik” berperan sebagai tokoh masyarakat, yaitu kawasan antara Kabupaten Sanggau hingga Kabupaten Sintang, serta Bengkayang, Sambas, dan Kapuas Hulu, banyak soal seperti tak kunjung ada penyelesaian: terbatasnya jumlah dan strata sekolah—sampai-sampai puluhan keluarga menyekolahkan anak-anak mereka ke sebuah SMP di Kota Malang, Jatim. Tingginya tingkat pengangguran, eksploitasi remaja sebagai buruh tenaga kerja Indonesia (TKI), dan buruh kedai makan sebagai pilihan mayoritas remaja putri, terbengkalainya sebagian besar infrastruktur jalan, terbatasnya pasokan listrik, air bersih, bahkan informasi (Stasiun RRI baru dibangun setahun lalu di Sanggau, siaran televisi mereka adalah siaran televisi Malaysia); terbatasnya rumah sakit, puskesmas, dan pos keamanan perbatasan. Bahkan kebutuhan sehari-hari warga dari gas elpiji, helm, gula, beras, minyak tanah, minuman ringan—mayoritas mengalir dari Malaysia, tanpa kita tahu lagi legal atau ilegalkah barang-barang itu masuk.

Di kampung Oom John Kei di Pualu Kimaam, mayoritas warganya hidup subsisten dari hasil hutan/kebun, dan pencari ikan sungai/rawa, listrik hanya menyala enam jam—itu pun dengan harga solar Rp 10.000-Rp 13.000 per liter, infrastruktur jalan nyaris tidak ada, pesawat terbang Twin Otter bermuatan 14 orang datang seminggu dua kali dari Merauke, ratusan murid tidak melanjutkan sekolah karena sekolah mereka bangkrut tidak punya biaya, sedangkan gugu pamong mereka sangat sering membolos karena gajih kecil, dan kemalasan.

Tapi waktu pesta (festival) umbi pada akhir bulan Agustus, warga Kimaam mati-matian berusaha datang ke pusat distrik, mempertontonkan kemuliaan alam karena tanah Pulau Kimaam bisa menghasilkan umbi-umbi raksasa yang kemudian meraih hadiah kejuaraan.

Hal yang sama—kemeriahan dan kegairahan besar—juga terjadi pada komunitas masyarakat Dayak pedalaman manakala upacara/ritual Naik Dangau (Dayak Kanayatn), atau Gawai Dayak (Dayak umumnya).

Dalam situasi kontras itulah, ”gerilya politik” negeri tetangga—atau situasi riil yang tak terbantah—telah menggiring ribuan warga perbatasan di Kalimantan beralih kewarganegaraan menjadi warga Malaysia. Sedangkan di Papua—godaan memilih politik perlawanan sebagai protes—begitu sulit diredam.

Soal uang tidak abai

Benarkah kesejahteraan warga negara diabaikan pemerintah pusat? Benarkah daerah diabaikan pemerintah pusat?

Sejumlah laporan keuangan, dan analisis perimbangan keuangan, maupun dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian sesungguhnya transfer keuangan ke daerah—sejak tahun 2001 kucuran dana dari pusat mengalir deras ke daerah melalui dana perimbangan. Tahun 2001, tercatat dana perimbangan Rp 84 triliun, dan tahun 2010 mencapai Rp 203,5 triliun. Adapun dana alokasi umum (DAU) yang digelontorkan untuk 114 daerah pemekaran pada kurun 2002-2008 mencapai Rp 8,36 triliun, sedangkan dana alokasi khusus (DAK) pada kurun 2002-2008 mencapai Rp 13 triliun, (lihat Pemekaran (Anggaran) Daerah, oleh Yenny Sucipto, Kompas, 4/8/2010).

Menurut Direktur Resource Centre Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran itu, sektor penerimaan daerah didominasi dari DAU dan DAK yang rata-rata di atas 70 persen total penerimaan.

Sementara rata-rata pendapatan asli daerah (PAD) hanya 2-5 persen dari total penerimaan APBD. Bahkan, terdapat beberapa daerah pemekaran dengan PAD di bawah 1 persen. Namun, duit sebanyak itu, penggunaannya 50-70 persen dari total belanja, pada umumnya masuk pos untuk belanja pegawai (gaji, tunjangan, honorarium, dan perjalanan dinas).

Selain DAU dan DAK, dana perimbangan juga meliputi dana bagi hasil pajak, sumber daya alam (SDA), dan cukai. Di samping dana otonomi khusus (untuk tiga provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Papua Barat).

Meski diakui berbagai pihak bahwa komponen pembiayaan pusat atas daerah melalui APBN dari tahun ke tahun terus meningkat—sejak sejumlah UU tentang otonomi diberlakukan tahun 2000 lalu—terdapat sejumlah hal yang luput dari agenda pemerintah pusat, cq pemerintah provinsi—sebagai ujung tombak terdepan.

Sejumlah sengketa hukum dalam kasus kehutanan misalnya—sebagaimana diakui oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan kepada Kompas (10/8), berawal dari perbedaan sikap otoritas perizinan di tingkat bawah. Sesuatu yang secara legal-formal sah, pada tingkat lebih lanjut—sebutlah di tingkat menteri—akan menimbulkan implikasi hukum berbeda. Inilah koordinasi, dan perbedaan sudut pandang kepentingan pusat dan daerah yang sering menimbulkan masalah biasa, hingga kasus hukum.

Di sisi lain kultur koruptif, dan kecenderungan manipulatif untuk sebagian besar daerah—sebagaimana rekaman berbagai lembaga pengkajian—telah mengakibatkan otonomi tidak banyak menolong menyejahterakan masyarakat.

Sumber: Kompas, Kamis, 12 Agustus 2010

No comments: