Thursday, August 12, 2010

[65 Tahun Indonesia] Tidak Hanya Sekadar Ide Kesatuan

-- B Josie Susilo Hardianto

RUANG udara mulai keruh. Gumpalan gas-asap itu menjadi pertanda bahwa tak lama lagi pesawat akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.

Anak-anak warga Sanggase, Distrik Okaba, Merauke, mandi dengan air payau yang diambil dari sumur. (KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO)

Tiba-tiba semua menjadi berbeda. Jakarta boleh saja gemerlap di waktu malam dan semarak di waktu siang, tetapi atmosfernya dijejali polutan.

Dari udara, pemandangan itu menjadi tidak elok. Dada tiba-tiba seperti sesak. Berbeda rupanya dari wilayah timur Indonesia. Gugusan pulau-pulau kecil dengan pantai berpasir putih serta gosong-gosong laut yang kehijauan sungguh melegakan dada.

Sejauh mata memandang, langit terhampar membiru, bersih, menghilangkan penat. Sungai yang berkelok-kelok dan Laut Banda yang jernih menunjukkan betapa indah Indonesia.

Namun, begitu kaki menjejaki wilayah-wilayah di bagian timur Indonesia, menjelajah ke tapal-tapal batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu, nestapa dan keprihatinan seolah menjadi napas hidup sehari-hari.

Wajah

Di Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua, misalnya, sebagian besar warga tidak hanya hidup dalam kemiskinan, hingga saat ini mereka pun masih terbelenggu dalam trauma masa lalu ketika aparat keamanan memburu anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Hadirnya pos-pos militer penjaga perbatasan, bagi warga Waris, lebih kerap menakutkan daripada menjamin keamanan. Contohnya, seorang anak, warga Kampung Kibay, Keerom, Isak Psakor (15), menjadi korban penembakan yang diduga dilakukan oleh aparat penjaga perbatasan.

Peneliti dari Imparsial, Poengky Indarti, mengatakan, sebagian besar masyarakat asli Papua hidup dalam tekanan di semua sektor, baik politik, sosial, maupun budaya. Tidak hanya stigma separatis, kepada mereka pun kerap kali ditempelkan ungkapan lain yang cenderung melecehkan, seperti terbelakang, malas, dan bodoh. ”Mereka kerap dipandang tidak sederajat,” kata Poengky.

Meski tidak berbalut isu separatisme, kondisi warga di perbatasan dan pulau-pulau terluar pun tidak kalah memprihatinkan. Minimnya infrastruktur perhubungan, seperti jalan darat, laut, dan udara, membuat mobilitas warga menjadi sulit. Jika ada, harganya pun menjadi sangat mahal. Edmond Serin, warga Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, mengatakan, untuk bepergian dari Saumlaki, ibu kota Kecamatan Wetar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, sedikitnya dibutuhkan dana sebesar Rp 4 juta untuk mencapai Desa Mabar.

Warga terpaksa memutari pulau karena belum ada jalan trans Wetar. ”Di sini harga bahan bakar minyak mahal, Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per liter,” kata Edmond. Sebagai bagian dari wilayah terdepan, menurut Edmond, selayaknya pulau-pulau terluar itu dibangun dengan lebih optimal. Apalagi di pulau-pulau itu juga terdapat banyak potensi alam.

Langkah pemerintah

Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zaini mengatakan, wilayah perbatasan memang harus dibangun. Saat ini pihaknya terus membangun koordinasi dan memetakan persoalan-persoalan di wilayah perbatasan, seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan air bersih.

Namun, upaya itu menurutnya tidak mudah. Ia mencontohkan, setidaknya dibutuhkan dana sebesar Rp 13 triliun hingga Rp 14 triliun untuk membangun jalan paralel sejauh lebih kurang 3.000 kilometer yang membentang mulai dari Sambas, Sintang, Sanggau di Kalimantan Barat, hingga ke Bengkayang di Kalimantan Timur.

Tidak hanya itu, pihaknya juga terus mengupayakan penguatan basis ekonomi masyarakat di perbatasan, seperti di Papua dan Atambua. Menurut dia, pendekatan pemerintah tidak lagi hanya pada sektor keamanan. Lebih dari itu, pemerintah tengah mengupayakan menyejahterakan rakyat di perbatasan.

Hal senada juga diungkapkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Saat ini pemerintah sudah membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Salah satu yang bakal dipikirkan lembaga itu, menurut Gamawan, adalah bagaimana melakukan pendekatan yang lebih utuh terkait dengan kesejahteraan. ”Misalnya tentang kompensasi untuk guru yang ditugaskan di wilayah-wilayah perbatasan,” kata Gamawan.

Kebijakan itu, menurut dia, akan berjalan optimal karena pengelolaan wilayah perbatasan oleh setiap instansi negara tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. ”Nanti pengelolaannya antarinstansi, dan dirumuskan bersama apa yang harus didahulukan, apa yang menjadi prioritas,” tutur Gamawan.

Konsistensi

Hanya saja, satu hal yang menjadi catatan banyak pihak terhadap rencana pemerintah adalah konsistensi. Papua, misalnya, sejak tahun 2001 pemerintah telah menggelontorkan triliunan rupiah sebagai bagian dari amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun, apa yang terjadi saat ini? Sebagian rakyat justru menyuarakan lagi perlunya dialog, pelurusan sejarah, hingga referendum.

Bahkan, beberapa waktu lalu, mereka, melalui Majelis Rakyat Papua, menyerahkan kembali ketentuan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua. ”Otsus itu apa? Ia mirip hantu saja, ada nama, tetapi tak tampak rupanya,” begitu yang kerap diungkapkan oleh mama-mama penjual sayur di depan Toserba Gelael, Jayapura.

Yenny Maday, penjual sayur, mengatakan, sulit sekali bagi mereka memperoleh dana atau pinjaman modal untuk berusaha. Tidak hanya itu, mereka pun masih kerap dihinggapi kegalauan, takut jangan-jangan tempat usaha mereka akan kembali digusur oleh aparat dari Pemerintah Kota Jayapura.

Padahal, salah satu opsi dari otonomi khusus (otsus) adalah penguatan ekonomi masyarakat asli Papua. Di sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan, meski di banyak tempat sekolah dan puskesmas dibangun, tetapi di pedalaman guru dan dokter kerap sulit ditemukan. Hingga sembilan tahun kebijakan itu diberlakukan, posisi Papua masih belum beranjak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua selalu menempati posisi terendah dibandingkan dengan semua provinsi lain di Indonesia.

Meski dalam ketentuan itu ada pasal yang menjelaskan tentang audit, wacana itu justru muncul setelah sembilan tahun otsus. Artinya, selama ini pengawasan atas pelaksanaan ketentuan itu tidak optimal. Ujungnya masyarakat kecewa, mereka kembali menjadi penonton saja.

Hanya saja, ketika mereka menyerukan ketidakadilan dan pengabaian itu, tutur Dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura, Papua, Neles Tebay, mereka justru dicap separatis. Tentu saja hal itu semakin menguatkan rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Tentu ini menjadi tugas besar bagi pemerintah, yaitu bagaimana membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Apabila di beberapa tempat, seperti di Kalimantan, sebagian warga di perbatasan diberitakan pindah ke Malaysia, itu bukan berarti mereka mencederai ide Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebaliknya, kepada pemerintahlah tampaknya pertanyaan itu layak dialamatkan, bagaimana selama ini pemerintah mengelola wilayah perbatasan, pulau-pulau terluar, juga daerah yang dinilai rawan konflik? Mana yang lebih diutamakan, mempertahankan wilayah atau membangun manusianya? Atau yang lainnya? Dengan demikian, Indonesia tidak hanya indah dipandang dari angkasa saja....

Sumber: Kompas, Kamis, 12 Agustus 2010

No comments: