-- Atika Walujani Moedjiono
HIDUP sehat dengan pelayanan kesehatan yang baik merupakan hak dasar setiap manusia, terutama bagi mereka yang kurang mampu alias miskin. Dalam konteks kini, itulah salah satu implementasi dari sila kedua Pancasila; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!
Warga Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, menunggu giliran berobat gratis yang disediakan Pembangkit Listrik Jawa Bali, Kamis (25/3). Sebagian warga yang tinggal di permukiman nelayan yang padat banyak yang mengalami gangguan pernapasan, penyakit kulit, dan kekurangan gizi. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Penduduk Indonesia kini hidup lebih lama. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 2008, pada tahun 1960 harapan hidup waktu lahir penduduk Indonesia adalah 40 tahun. Kini, setidaknya rata-rata sampai usia 69 tahun.
Indonesia juga mampu menekan angka kematian bayi dari 145 per 1.000 kelahiran hidup di tahun 1967 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup. Namun, Laporan Komisi Ekonomi Sosial PBB untuk Asia-Pasifik menyatakan, meski angka kematian bayi dan anak menurun, kecepatannya berkurang sejak Indonesia diterpa krisis ekonomi. Hal itu terkait dengan peningkatan kasus gizi buruk dan penyakit infeksi, terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare.
Prevalensi nasional gizi buruk pada anak balita berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007 adalah 5,4 persen, sedangkan gizi kurang pada anak balita 13,0 persen. Artinya, setidaknya dua dari 10 anak Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Gizi buruk bukan sekadar kekurangpahaman orangtua tentang gizi makanan. Lebih dari itu, umumnya berakar dari ketidakmampuan orangtua menyediakan cukup makanan bagi anaknya. Hal ini erat hubungannya kemiskinan dan ketersediaan pangan.
Sementara itu, angka kematian ibu menurun dari 390 per 100.000 kelahiran hidup tahun 1990 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu bervariasi di tiap daerah di Indonesia dan makin tinggi di daerah yang penduduknya sulit mengakses pelayanan kesehatan. Penyebab kematian ibu, terutama perdarahan, infeksi persalinan serta tekanan darah tinggi pada kehamilan, bisa ditekan jika ibu hamil segera mendapat pertolongan medis. Namun, di daerah terpencil dan kepulauan tidak mudah bagi penduduk untuk mengakses pelayanan kesehatan karena hambatan jalan dan transportasi.
Minim infrastruktur
Indonesia mengalami masalah kronis dalam ketersediaan infrastruktur yang diperlukan untuk hidup sehat, misalnya air bersih, sanitasi, dan akses untuk mendapatkan listrik. Selain itu, jaminan persediaan obat-obat dasar, peralatan medis serta ketersediaan tenaga medis masih menjadi persoalan terutama di daerah terpencil dan kepulauan.
Penyakit menular masih menjadi masalah di pelbagai wilayah Indonesia, misalnya malaria, diare, tuberkulosis, HIV/AIDS, ISPA, demam berdarah dengue, dan flu unggas. Penyakit menular belum tuntas penanganannya, penya- kit tidak menular, seperti diabetes, gangguan jantung dan pembuluh darah, dan kanker, makin meningkat seiring perubahan gaya hidup termasuk pola makan.
Pencemaran lingkungan menyumbang masalah kesehatan di Indonesia. Pencemaran udara akibat asap kendaraan bermotor, cerobong pabrik, dan pembakaran lahan pertanian relatif tinggi. Kondisi itu diperburuk oleh pencemaran air akibat limbah industri dan rumah tangga. Hal itu menimbulkan pelbagai gangguan kesehatan, mulai dari gangguan kulit, infeksi pernapasan, sampai kanker dan cacat bawaan.
Di sisi lain, jumlah tenaga kesehatan masih belum mencukupi. Dokter, perawat, dan bidan yang ada pun cenderung berkumpul di kota-kota besar. Desentralisasi mempersulit penyebaran tenaga kesehatan oleh pemerintah pusat. Sementara itu, pemerintah kota/kabupaten terpencil dan miskin tidak mampu memberikan insentif untuk menarik tenaga kesehatan bekerja di daerahnya.
Prof Dr dr Laksono Trisnantoro, Direktur Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, pernah menyatakan, saat ini di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak ada dokter spesialis anestesi. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas pelayanan kesehatan jika seseorang harus menjalani operasi dan memerlukan anestesi di provinsi tersebut.
Di kota-kota besar berkembang pelayanan kesehatan swasta yang cenderung menjadi industri, tidak adanya regulasi tarif dan penegakan standar kualitas pelayanan membuat pasien rentan mendapat pelayanan kesehatan dan tarif berlebihan atau sebaliknya kualitas substandar. Yang jelas, bagi penduduk miskin, pelayanan kesehatan makin tidak terjangkau.
Minim anggaran
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, tiap orang mempunyai hak untuk hidup dalam standar yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka dan keluarganya, termasuk hak untuk mendapat makanan, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sehat sebagai kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang paripurna, bukan hanya ketiadaan penyakit. Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan, kesehatan merupakan hak setiap orang.
Namun, hal itu belum terwujud dalam tindakan pemerintah. Tahun 2002, total belanja kesehatan Indonesia hanya 26 dollar AS per kapita. Itu pun hanya 36 persen yang dibiayai pemerintah, sisanya masyarakat mengeluarkan dari koceknya sendiri. Negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, yang membelanjakan lebih banyak, kondisi kesehatan masyarakatnya lebih baik. Sebagai gambaran, pada tahun yang sama, belanja kesehatan Malaysia 149 dollar AS per kapita dan Thailand 90 dollar AS per kapita. Tak heran jika Human Development Index Indonesia, berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) tahun 2009, berada di peringkat 111 dari 182 negara, sedangkan Filipina di peringkat 105, Thailand di peringkat 87, Malaysia di peringkat 66, dan Singapura di peringkat 23.
Dalam sebuah seminar di tahun 2003, mantan Menteri Kesehatan Prof Dr dr FA Moeloek menyatakan, tiap gangguan, intervensi, ketidakadilan, ketidakacuhan, atau apa pun bentuknya yang mengakibatkan ketidaksehatan tubuh manusia, kejiwaan, lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, pengaturan dan hukumnya, serta ketidakadilan dalam manajemen sosial yang mereka terima merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Sering kali yang terlupakan adalah menjaga agar manusia tetap sehat. Yang diperlukan bagi manusia untuk hidup sehat adalah tersedianya cukup pangan sehat dan bergizi yang terjangkau seluruh penduduk, air bersih, sanitasi, udara bebas dari pencemaran, perumahan yang sehat, tata ruang kota yang teratur, lalu lintas yang lancar, rendahnya tingkat kriminalitas sehingga menimbulkan rasa aman bagi penduduk, serta pelayanan kesehatan yang mudah diakses dan terjangkau.
Untuk menurunkan angka kematian ibu, misalnya, penting untuk mengurangi disparitas antarwilayah geografis dan tingkat sosial ekonomi dalam mengakses pelayanan kesehatan dengan menyediakan infrastruktur, berupa jalan dan moda transportasi yang terjangkau masyarakat, termasuk yang tinggal di kepulauan. Untuk mengurangi kasus gizi buruk, selain pendidikan bagi orangtua, juga mengurangi kemiskinan, meningkatkan daya beli, serta menjamin ketersediaan pangan.
Bisa dikatakan, program kesehatan bukan hanya menjadi tugas Kementerian Kesehatan, melainkan juga tanggung jawab semua sektor dan seluruh masyarakat. Perlu pembangunan berwawasan kesehatan untuk mewujudkan hak dasar manusia. Pemerintah juga perlu bekerja keras meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan membenahi kondisi sosial di Indonesia.
Khusus untuk pembangunan kesehatan, perlu alokasi anggaran memadai sesuai dengan anjuran WHO, yaitu minimal 5 persen dari APBN. Dengan demikian, cukup dana untuk program kesehatan masyarakat, seperti pemberantasan penyakit menular dan penyediaan pelayanan kesehatan dasar. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, pemerintah perlu bermitra dengan masyarakat. Pemerintah bisa mengontrak klinik atau rumah sakit swasta untuk melaksanakan pelayanan kesehatan. Cara lain, memberi insentif bagi entitas pelayanan kesehatan nirlaba untuk melakukan pelayanan kesehatan di daerah tertinggal dan kepulauan.
Dengan demikian, pemerintah bisa fokus melakukan tugasnya dalam mengatur dan menegakkan hukum serta melakukan koordinasi dengan jajaran di setiap tingkat untuk memastikan kualitas pelayanan publik.
Sumber: Kompas, Rabu, 11 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment