-- Budiman Tanuredjo
ITULAH pemandangan umum Fraksi TNI/Polri yang disampaikan juru bicaranya, Christina M Rantatena, dalam Sidang Umum MPR, Sabtu, 10 Agustus 2002. Sikap politik yang disampaikan sebelum pengesahan Perubahan Keempat UUD 1945 sempat memunculkan ketidakpastian dalam Sidang Umum MPR.
Namun, melalui proses lobi, ketegangan itu segera cair.
Tengah malam, Ketua Fraksi TNI/Polri Slamet Supriyadi maju ke podium dan berpidato, ”Fraksi TNI/Polri tidak berniat menghambat amandemen UUD 1945. Karena itu, Fraksi TNI/ Polri menarik usulan pembentukan Komisi Konstitusi di dalam Aturan Tambahan UUD 1945.”
Suasana lega. Ketua MPR Amien Rais mengetukkan palu tanda disahkannya Perubahan UUD 1945, Sabtu, 10 Agustus 2002, pukul 23.55. Indonesia memasuki era baru dengan konstitusi yang substansinya baru. Sebuah revolusi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Waktu terus berjalan. Bangsa Indonesia melangkah meskipun jatuh bangun dalam membangun demokrasi. Diawali dengan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966) di bawah Soekarno, menuju demokrasi Pancasila (1967-1998) di bawah kontrol Soeharto. Ketiga model demokrasi itu tidak berakhir dengan baik. Pasca-Orde Baru, demokrasi sedang mencari bentuknya, entah menuju demokrasi liberal atau model lain.
Pemilihan presiden langsung adalah revolusi. Bukan hanya presiden yang dipilih langsung, gubernur, wali kota, dan bupati pun dipilih langsung. Ini pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia rakyat memilih sendiri pemimpinnya.
Demokrasi banyak disuarakan di era Reformasi. Namun, mencari definisi demokrasi dalam konstitusi tidak mudah.
Dalam UUD 1945 hanya terdapat dua kata demokrasi. Satu dalam bentuk kata sifat, yakni ”demokratis” dan ”demokrasi”. Pertama dalam Pasal 18 yang menyebutkan: pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis dan pada Pasal 33 soal demokrasi ekonomi. Tafsir demokrasi seakan diserahkan kepada siapa pun.
Laboratorium demokrasi, seperti dikatakan Christina, masih terus berjalan. Eksperimentasi demokrasi mewujud dengan pemungutan suara. Voting menjadi kata kunci. Mayoritas-minoritas. Menang atau kalah.
Kita sedang dihadapkan pada keprihatinan di mana demokrasi yang mewujud dalam pilkada menghadirkan pimpinan yang terjerat kasus korupsi atau pimpinan yang menjadi aktor penghambat kebebasan konstitusional, termasuk di antaranya kebebasan beragama. Fareed Zakaria mengutip diplomat Amerika, Richard Hoolbroke, ”Anggaplah pemilu berjalan bebas dan adil. Dan mereka yang terpilih adalah orang rasis, fasis, separatis yang secara terbuka menentang perdamaian.” Itu bisa terjadi dalam demokrasi. Demokrasi bisa berkembang, tetapi kebebasan konstitusional tidak.
Jack Snyder dalam From Voting to Violence (2000) menyampaikan pesan, ”Membangun demokrasi bukan hanya menyingkirkan penguasa otoriter, dan selanjutnya demokrasi akan langgeng”. Snyder berpesan hati-hati menyelenggarakan demokrasi karena berpotensi memunculkan guncangan.
Transisi demokrasi di Indonesia membuat demokrasi menjadi sesuatu yang eksplosif. Karena eksplosif sering tanpa kontrol, ditambah faktor lemahnya negara, sering terjadi eksplosi berujung pada anarki.
Pusat Informasi Kompas mencatat, dalam kurun waktu Mei 2005-Juli 2010 paling tidak terjadi 49 kali konflik horizontal akibat pemilihan kepala daerah. Protes massa berubah menjadi anarki yang mengerikan.
Gejala eksplosi demokrasi mulai memunculkan kesadaran baru. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, pemilihan kepala daerah langsung perlu ditinjau ulang. Alasannya, pilkada langsung merusak moral masyarakat. Kerusakan itu masif karena melibatkan seluruh rakyat (Tempo, 3 Agustus 2010).
Apa yang sebenarnya terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Prof Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta, menyebut euforia demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan kerap disalahartikan sebagai ”kebebasan tanpa aturan” (lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan pada hukum.
Gejala kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai art of compromise. Mengalami demokrasi masih menjadi sesuatu yang baru. Demokrasi tidak cukup bisa dikembangkan sendiri. Ia harus disemaikan, dipupuk secara terencana. Ia membutuhkan pendidikan kewargaan yang akan mencakup democracy education, civic education, dan citizenship education.
Di mana musyawarah? Pancasila sebagai dasar negara menyinggung pula soal demokrasi dalam sila keempat yang berbunyi: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Dalam pidato 1 Juni 1945 di depan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, Soekarno berpidato, ”...Dasar itu jalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusjawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaja. Tetapi kita mendirikan negara, ’semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu. Saja jakin bahwa sjarat jang mutlak untuk kuatnja negara Indonesia ialah permusjawaratan, perwakilan” (Tjamkan Pantja Sila!-Pantja Sila Dasar Falsafah Negara, editor: Amin Arjoso, 2002, halaman 25). ”Apa-apa jang belum memuaskan, kita bitjarakan di dalam permusjawaratan,” tulis Soekarno.
Sedangkan bagi Mohammad Hatta, ada lima unsur demokrasi khas Indonesia, yakni rapat, mufakat, gotong royong, hak mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari wilayah kekuasaan raja yang tidak adil.
Musyawarah mufakat menjadi kata kunci. Tetapi praksis politik menunjukkan pudarnya permusyawaratan untuk mufakat. Tren baru mengarah pada demokrasi transaksional. Partai politik menjadi penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam pilkada: dan itu uang. Kandidat gubernur harus membayar konsultan politik untuk memoles citra dan itu berarti uang. Kandidat pun harus memberikan uang kepada pemilih.
Kapital menjadi salah satu faktor penting. Era pragmatisme politik tiba. Tak heran jika calon gubernur harus menyiapkan dana puluhan miliar rupiah untuk maju dalam pilkada. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tak memiliki kapital? Akankah politik dikuasai kelompok berkapital besar?
Apa yang terjadi sekarang ini mengingatkan kita pada tulisan Soekarno 69 tahun lalu dalam Pemandangan, 1941. Soekarno menulis, ”...karena biasanja kaum borjuislah yang mendapat banjak kursi. Mereka kaum borjuis, punja radio-radio, mereka punja bioskop-bioskop, mereka punja sekolah-sekolah, mereka punja geredja-geredja, mereka punja partai-partai, semuanja itu biasanja dapatlah menjamin suara terbanjak bagi borjuis. Semuanja itu mendjamin, bahwa biasanja utusan-utusan rakjat djelata kalah suara” (Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, halaman 586).
Eksperimentasi demokrasi yang berjalan hampir delapan tahun seharusnya menciptakan kesadaran baru. Demokrasi tak mungkin dilepas dan diserahkan kepada para pelaku untuk menafsirkan sendiri bagaimana demokrasi dipraktikkan. Demokrasi politik juga tak akan bisa bertahan tanpa demokrasi ekonomi yang bermakna keadilan sosial. Pemimpin visioner dibutuhkan.
Diskursus soal kerakyatan dan musyawarah-mufakat perlu dimunculkan. Pendidikan demokrasi menjadi keniscayaan di tengah pergerakan demokrasi yang tak terkontrol. Esensi musyawarah-mufakat yang terkandung dalam Pancasila perlu dibumikan dalam praksis politik.
Peringatan 65 tahun kemerdekaan menjadi momen tepat bagi kita untuk melihat dan membumikan kembali relasi Pancasila, konstitusi, undang- undang, serta perilaku politik. Dengan upaya itu, kita bisa selamat dalam menjalani eksperimentasi demokrasi.
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment