Wednesday, August 11, 2010

[65 Tahun Indonesia] Sila Kedua: Banalitas Kekerasan, Defisit Kemanusiaan

-- Maria Hartiningsih

JARGON keramahan terus digemakan, ayat-ayat suci terus digaungkan, kemanusiaan dan hak asasi manusia terus diteriakkan dalam retorika politik. Namun, penghormatan pada hidup dan kehidupan menguap disiram kekerasan yang merembet seperti api.

Kekerasan terus-menerus terpapar, menjadikannya seperti tontonan, seperti pornografi yang dinikmati diam- diam.

Selain kekerasan politik yang melenyapkan hidup jutaan warga dan meninggalkan trauma sejarah, sejak tahun 1965, kekerasan terus terjadi, susul-menyusul; vertikal maupun horizontal, menyangkut soal publik maupun privat, termasuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kekerasan yang merampas hak-hak sipil dan politik berkelindan dengan perampasan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Situasi ini tak dapat disederhanakan hanya sebatas ”warisan Orde Baru” yang militeristik dan melindungi impunitas para pelakunya. Sampai 10 tahun setelah ”reformasi” 1998, negara tak hanya gagal membangun sistem dan legitimasi untuk menolak kekerasan. Sebaliknya, kekerasan justru digunakan atas nama ”mendisiplinkan” dan ”melindungi nilai-nilai moral dan ajaran”, dari satu perspektif kebenaran.

Logika hukum ”mayoritanisme” atas nama demokrasi menghasilkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif, dan menciptakan tekanan hidup yang melahirkan beragam tindak kekerasan, terhadap orang lain, anggota keluarga, maupun diri sendiri.

Rentetan peristiwa kekerasan bergerak seperti kilat, berebut menghuni ruang ingatan, sampai melumpuhkan daya tampungnya. Orang menjadi cepat lupa, bahkan menganggap kekerasan seperti hal biasa, the banality of evil, meminjam istilah filsuf Hannah Arendt.

Parodi

Di sisi lain, banyak orang tak risi memamerkan kekayaan, ditonton jutaan orang mengais sisa rezeki untuk bertahan hidup. Iklan-iklan yang menawarkan gaya hidup mewah bertebaran, ditonton orang- orang dengan perut lapar dan mata kosong.

Tuntutan masyarakat yang kehilangan hak hidup akibat kerusakan sosial-ekologis dan perampasan sumber daya menjadi seperti parodi. Para pelaku, penguasa sumber daya (ekonomi dan politik), tak sulit mematut dalih untuk membalikkan posisi korban sebagai pelaku kekerasan.

Kemanusiaan menampakkan wajahnya saat terjadi bencana. Namun, tak sulit juga menengarai solidaritas itu semu dan tersekat, bersifat karitatif dan sangat sementara. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan untuk kepentingan politik, melalui umbul-umbul bernuansa keagamaan atau bendera berlambang partai.

Selama berabad-abad warga tak dididik belajar menghormati hidup, sebaliknya terus-menerus dipaksa belajar berlutut di hadapan kekerasan untuk kemudian ikut memproduksi dan mereproduksi kekerasan.

Sejarah negeri ini mengenal kekerasan dalam spektrum luas, mulai dari amuk massa dan kekalapan tak terkendali (amok), sampai kekerasan pasif, seperti pépé, tindakan protes dengan menyakiti diri sendiri. Warga tidak pernah dididik secara sistematis untuk belajar bernegosiasi dengan kedudukan setara sehingga membuat wajah kekuasaan tampak makin rakus dan keji. Juga tak terlihat jejak pembelajaran tentang dampak kekerasan, seberapa pun kejam dan luas skalanya.

Kewargaan publik

Ketika pendekatan hak tampak makin tidak cukup produktif menghadapi kekuasaan, pendekatan kewajiban dan tanggung jawab warga untuk masuk ke wilayah kepengurusan publik yang multiskala, dimulai dari ruang-ruang hidup di tingkat paling bawah, seperti RT dan dukuh, tampaknya harus dipikirkan secara serius. Gagasan ini terkait dengan ide kewargaan publik yang tak bersekat dan multiskala, dengan landasan sejarah kesatuan sosial-ekologis yang harus terus dipelajari.

Gagasan ini bisa dibaca rekam jejak pemikirannya dari para ilmuwan dunia—secara antropologis dibedah antara lain oleh antropolog Amerika Serikat, Ann Stoler—diyakini mampu membongkar dan melucuti wajah kekuasaan dan kekerasan struktural yang dihasilkannya. Contohnya sudah terlihat di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan, seperti AS dan negara-negara di Eropa, di antaranya Perancis dan Jerman.

Kewargaan publik tak bersekat menumbuhkan solidaritas yang tulus, tak tersekat, disatukan kesadaran bahwa keberlangsungan hidup dan kehidupan hanya bisa diciptakan dengan menjaga, melindungi, dan memelihara secara bersama ruang- ruang hidup. Dari sini, warga belajar menghormati diri sendiri, orang lain, alam dan kemanusiaan, dan terus belajar bernegosiasi dengan siapa pun, di atas pilihan dan penghormatan pada hidup dan kehidupan.

Kesadaran akan pengelolaan bersama ruang hidup membuat keberadaban dan keadilan sebagai nilai-nilai yang menyatu dalam diri warga, membuat persoalan mayoritas-minoritas tidak lagi relevan. Demokrasi telah menukik pada substansinya.

Pemahaman akan sejarah kesatuan sosial-ekologis membuat pendidikan kebangsaan kembali pada isi pembukaan konstitusi; suatu paham kebangsaan tak bersekat, nasionalisme yang bermakna luas. Barangkali, dengan gagasan ini, sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menemukan maknanya.

Sumber: Kompas, Rabu, 11 Agustus 2010

No comments: