BUNYI sila kedua dasar negara kita, Pancasila, hingga hari ini masih terasa begitu indah di telinga. Baik dalam tataran makna maupun ritme dan semangat dari untaian kata-katanya: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Juga masih aktual, paling tidak sebagai bahan refleksi di usia ke-65 tahun republik ini.
Semangat yang diusung para pendiri bangsa ketika merumuskan rangkaian kata tersebut tentulah berangkat pada kenyataan sejarah. Bangunan rumah bersama—baik secara politik maupun kultural—bernama Indonesia itu, dengan Pancasila sebagai lapiknya, dijelmakan sebagai sesuatu yang diidamkan untuk kepentingan bersama.
Kemanusiaan adalah bentuk lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran, yang dalam perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai sesama anak bangsa. Akan tetapi, bangunan keindonesiaan yang ideal itu kini—harus diakui—mulai terkoyak, terutama pasca-krisis multidimensi yang mengharu-biru negeri ini sejak era reformasi.
Pada sementara orang dan kelompok, keragaman tidak lagi dipandang sebagai suatu anugerah. Perbedaan pandangan kini gampang sekali memicu konflik hingga berdarah-darah.
Apa yang disebut sebagai pluralisme dan multikulturalisme, yang sejatinya sudah muncul semenjak penghunian manusia pertama di Nusantara pada masa prasejarah, kerap disalahtafsirkan secara sempit dalam hubungan pengakuan keyakinan beragama. Bahkan tak jarang dimunculkan isu mayoritas-minoritas atau superioritas-inferioritas, yang pada akhirnya gampang menyulut pertikaian.
Kata-kata bijak bahwa anak negeri ini menghuni bangunan rumah bersama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu dilandasi semangat gotong royong, rukun, dan toleran, dalam beberapa aspek tampak mulai kedodoran. Semangat menghargai pun sudah mulai kehilangan sosoknya. Kata ”kami” atau ”kamu” kini cenderung mulai mendominasi ranah pergaulan sehari-hari, menggantikan sekaligus menyingkirkan kata ”kita” yang seharusnya menjiwai persaudaraan dalam kebersamaan.
Alhasil, sifat eksklusivisme kelompok pun kian menonjol. Semangat kebinekatunggalikaan yang lebih menekankan penghargaan terhadap keragaman, kesetaraan, dan kesederajatan, kini sepertinya mulai tenggelam di tengah semangat pencarian jati diri kelompok-kelompok tertentu. Di mana sosok manusia Indonesia yang toleran itu kini bersembunyi? Di mana keadilan kini bersemayam? Dan, di mana keadaban itu bertakhta?
Kesenjangan sosial
Terlalu banyak contoh kekerasan komunal di negeri ini, terutama sejak era reformasi bergulir. Konflik-konflik sosial di berbagai pelosok Tanah Air kerap menghiasai layar kaca stasiun televisi, mengisi halaman muka surat kabar, internet, dan siaran radio. Tak jarang karena persoalan sepele, seperti kasus kerusuhan di Ambon, merambat dan meluas menjadi pertikaian antaretnis yang berlarut-larut. Bahkan, hanya lantaran ”jago” mereka kalah dalam pemilihan kepala daerah, amuk massa bisa terjadi di negeri ini.
Di tengah massa yang marah, nilai-nilai ”kemanusiaan yang adil dan beradab” hanya tinggal sebaris kata-kata. Akan tetapi, betulkah sejatinya manusia Indonesia adalah jiwa-jiwa pemarah? Sungguhkah manusia Indonesia adalah sosok-sosok beringas?
Bagus Takwin, ahli psikologi sosial dari Universitas Indonesia, tidak percaya sifat-sifat buruk itu melekat pada manusia-manusia Indonesia. Katanya, ”Masyarakat Indonesia pada dasarnya bukan masyarakat pemarah. Kalaupun muncul kekerasan, hal itu lebih disebabkan oleh akumulasi kekesalan dan reaksi terpendam yang berkepanjangan.”
Sosiolog Imam B Prasodjo juga berpandangan serupa. Dalam kasus kerusuhan antarsuporter sepak bola, misalnya, faktornya antara lain karena ketidakadilan dan kebobrokan yang telanjang di depan masyarakat, tetapi tidak ada upaya serius mengatasinya. Di sisi lain, secara kultural, masyarakat tidak dididik untuk berlapang dada menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan.
Betul bahwa bahasa Indonesia memiliki kosa kata ”amuk” atau ”amok”, yang konon berurat-akar pada orang-orang Melayu serantau. Akan tetapi, sepertinya halnya kosa kata ”carok” yang melekat pada orang-orang Madura ataupun ungkapan ”siri” pada orang-orang Bugis, peristiwa ”amuk” atau ”amok” tidaklah berdiri sendiri. Di balik itu, ada situasi kultural yang memicunya, yang bila disederhanakan adalah semacam ketertekanan akibat diperlakukan tidak adil. Dalam konteks ini, semangat untuk mempertahankan harga diri adalah hal utama pemicunya, bukan semangat menghamba pada kekerasan itu sendiri.
”Tunjuk ajar” Melayu secara jelas memperlihatkan bahwa sifat pemaaf dan pemurah amat dimuliakan dalam kehidupan masyarakat Melayu. Sifat ini, kata budayawan Melayu ternama, Tenas Effedy, mencerminkan kesetiakawanan sosial yang tinggi sekaligus menggambarkan sifat rendah hati, ikhlas, tidak pendendam, bertenggang rasa, dan berbudi luhur.
Begitu banyak ”tunjuk ajar” dalam bentuk ungkapan, petuah, pantun, dan syair terkait sifat pemaaf dan pemurah dalam kehidupan masyarakat Melayu. Seperti pantun berikut://pasanglah kandil di halaman/api menyala terang benderang/orang yang adil teguh beriman/memberi maaf hatinya murah//. Atau untaian syair berikut://wahai ananda kekasih ibu/mengaku salah janganlah malu/memaafkan orang janganlah menunggu/hati pemurah menjauhkan seteru//. Juga ungkapan semacam ini://apa tanda Melayu terpuji/dendam mendendam pantang sekali/tangan pemurah suka memberi//.
Kalau segala sifat baik itu mulai tenggelam dalam keseharian hidup bermasyarakat, pasti ada sesuatu yang keliru pada pengelolaan bangsa ini. Euforia reformasi yang lebih menonjolkan sisi negatif perilaku anak-anak bangsa, antara lain ditandai munculnya konflik sosial di sejumlah tempat dalam berbagai tingkatan, seolah meniadakan semangat mulia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab!
Persoalan kultural
Barangkali, tiga tipologi kekerasan oleh negara selama masa Orde Baru, sebagaimana dikemukakan sosiolog Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001), ikut berperan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan di tingkat masyarakat saat ini. Kekerasan jenis pertama yang gampang diamati bersifat fisik, sementara tipologi kedua dalam wujud kekerasan struktural alias dominasi di semua lini kehidupan, serta jenis ketiga terkait kekerasan kultural.
Kekerasan fisik dengan semangat demi dan atas nama stabilitas nasional, baik secara politis maupun budaya, melahirkan bara kebencian pada individu-individu. Sementara dominasi atau kekerasan struktural telah melembagakan ketimpangan dalam pembagian hak, dan karena itu melanggar asas keadilan.
Adapun kekerasan kultural lebih menyangkut ketidakseimbangan—terjadi semacam hegemoni—dalam memproduksi makna. ”Selama Orde Baru, apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto tentang kebudayaan nasional, misalnya, dianggap lebih benar daripada apa pun yang ditulis seorang antropolog berdasarkan penelitiannya,” kata Ignas Kleden.
Selama Orde Baru, pemerintah memang punya sarana untuk menerapkan kekerasan-kekerasan tersebut. Akan tetapi, runtuhnya Orde Baru boleh dibilang mengakhiri hegemoni negara atas rakyat. Pada periode berikutnya, berbagai bentuk kekerasan baru muncul. Kali ini bukan kekerasan oleh negara terhadap masyarakat, melainkan dari dan oleh kelompok-kelompok masyarakat terhadap siapa saja.
Kekerasan komunal, misalnya, dalam pandangan Ignas Kleden, adalah reaksi yang muncul dalam bidang sosial-budaya, yang selama Orde Baru diremehkan sebagai faktor nonekonomi, di mana konflik-konfliknya dipetieskan oleh doktrin suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). ”Kekerasan komunal adalah semacam pembalasan terhadap hegemoni negara yang meremehkan nilai-nilai budaya, atau memanfaatkannya untuk tujuan kekuasaan,” jelas Ignas Kleden.
Mengakhiri tulisan ini, menarik mengutip penggalan pidato kebudayaan Mochtar Lubis (alm) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, hampir 35 tahun lalu. Di bawah tajuk berjudul ”Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban”, Mochtar Lubis mengawali pidato yang banyak mendapat sambutan—pro dan kontra—itu dengan rangkaian kalimat retoris.
Katanya, ”Wajah lama itu sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapakah itu orang atau manusia Indonesia? Apakah dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?”
Terlepas dari itu semua, konflik-konflik sosial yang kini marak tidak seharusnya terjadi apabila kita memahami fondasi keindonesiaan kita: pluralisme dan multikulturalisme! (ken)
Sumber: Kompas, Rabu, 11 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment