Wednesday, August 11, 2010

Kapling Pahlawan

-- Asvi Warman Adam

BANGSA yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. Penghormatan itu antara lain menyangkut pemakaman mereka.

Para pahlawan nasional berhak menempati makam pahlawan. Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata adalah taman makam nasional utama yang terletak di ibu kota negara. Pekan silam, masyarakat dihebohkan dengan ziarah dua janda prajurit yang menyatakan akan membongkar makam suami mereka di sana dan memindahkan ke tempat lain bila pengadilan memutuskan mereka bersalah. Kasus itu menyangkut rumah dinas Perum Pegadaian yang sudah dihuni mereka bertahun-tahun.

Ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ancaman pemindahan makam itu sebetulnya tidak perlu terjadi karena pihak keluarga sudah menandatangani dan membacakan dalam suatu upacara resmi surat penyerahan jenazah untuk dimakamkan oleh negara.

Kedua, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Pasal 33 ayat 6), hak pemakaman di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama hanya untuk penerima Gelar, Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia, dan Bintang Mahaputra. Dengan demikian, pemilik bintang di bawah level itu tidak berhak lagi dimakamkan di TMP nasional utama. Tentu UU ini tidak berlaku surut. Artinya, mereka yang sudah dimakamkan di sana tidak akan dipindahkan.

Perubahan ketentuan ini dapat dipahami karena belakangan terkesan bahwa tempat ini merupakan penampungan terakhir para tentara yang gugur karena kecelakaan (pesawat), jadi nilai ”kepahlawanan” itu menjadi berkurang. Selain itu, lahan TMP Kalibata diperuntukkan bagi 10.000 jenazah yang kini sudah terisi sekitar 9.000 dan pemerintah tidak berencana memperluasnya.

Sejak tahun 2010 ini pemerintah membangun tiga TMP baru di Pondok Rangon, Cilincing, dan Pulogadung (Tempo Interaktif, 24 Mei 2010). Kabarnya, Kepolisian juga telah membangun makam di daerah Cikeas.

Pembangunan TMP baru itu baru pada tahap ”peletakan batu pertama”, sementara kematian tidak bisa ditunda. ”Tiap hari ada dua atau tiga orang yang dimakamkan di Kalibata,” kata Suyoto, Direktur Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Kementerian Sosial. Pemberlakuan UU No 20/2009 itu sejak Juni 2009 telah ”memakan korban” empat jenazah eks Tentara Pelajar yang ditolak untuk dimakamkan di TMP Kalibata.

Aneh

Menurut Sayidiman Suryohadiprojo, UU itu aneh karena sebetulnya yang paling berhak dimakamkan di Kalibata adalah mereka yang telah berjasa mempertahankan kelangsungan Republik ini pada masa teramat sulit di awal kemerdekaan. Sedangkan pemegang Bintang Mahaputra memang sebagian figur yang berjasa bagi negara dalam berbagai bidang (misalnya pada olahraga bulu tangkis), tetapi sebagian lagi lebih bersifat politis seperti pada masa Orde Baru (bukan hanya para menteri, tapi istri mereka juga beroleh bintang ini).

Dalam pertemuan dengan Legiun Veteran Republik Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pemegang Bintang Gerilya berhak lagi dimakamkan di sini. Ini mendatangkan kelegaan bagi para pejuang tersebut. Memang ada yang tidak mau dikuburkan di TMP Kalibata seperti Kemal Idris yang memilih tempat lain.

Namun, ada pula yang bersedia. Tanggal 29 Juli 2010 dimakamkan secara militer di Kalibata, Setiadi Reksoprojo (88), mantan menteri termuda pada kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948) dan Menteri Kelistrikan tahun 1965/1966. Pada bulan Maret 1966 bersama 15 orang menteri lainnya, Setiadi Reksoprojo ”diamankan” Jenderal Soeharto selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Kapten Setiadi Reksoprojo adalah pemegang Bintang Gerilya.

Dalam persoalan kapling makam pahlawan tentu bukan titah presiden yang menjadi pegangan. Seyogianya DPR merevisi secepatnya UU No 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Kalau tidak, pemakaman yang terjadi belakangan di TMP Kalibata itu bisa dikatakan ilegal.

* Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

Sumber: Kompas, Rabu, 11 Agustus 2010

No comments: