-- Azyumardi Azra
REVISITASI atau mengunjungi kembali Pancasila, bagi saya, selalu menyenangkan sekaligus menantang sebab saya pernah menggagas urgensi rejuvenasi dan revitalisasi Pancasila dalam transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia yang mendapat pengayaan penting dari berbagai kalangan publik, khususnya Tajuk Rencana ”Kompas” edisi 9, 11, dan 12 Juni 2004.
Saya pun menulis tanggapan dalam Kompas 17 Juni 2004. Sejak itu, berbagai kalangan baik di dalam maupun di luar negeri sering mengundang saya mengelaborasi ihwal gagasan rejuvenasi Pancasila.
Namun, dalam revisitasi Pancasila kali ini, setelah tahun-tahun terus berlalu, revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila tetap belum memenuhi harapan. Pancasila sebagai basis ideologis dan garis haluan bersama negara-bangsa Indonesia yang plural dan multikultural masih tetap marjinal dalam diskursus kehidupan nasional. Padahal, sepanjang waktu itu, dalam berbagai forum, saya mencoba mengajak para pemangku kepentingan menggalang momentum bagi revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila.
Tiga faktor
Kenyataan yang tak menggembirakan ini terkait erat dengan masih bertahannya tiga faktor yang membuat Pancasila tetap masih marjinal dalam hiru biru perkembangan politik Indonesia.
Pertama, dalam ingatan bersama banyak kalangan, Pancasila masih dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan. Rezim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang diindoktrinasikan melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi yang memberikan peluang bagi adopsi asas- asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama.
Ketiga, desentralisasi dan otonom daerah yang sedikit banyak memperkuat semangat kedaerahan, berbau nasionalisme lokal yang tumpang-tindih dengan etnonasionalisme dan bahkan sentimen agama.
Tetap kurangnya perhatian publik terhadap Pancasila cukup mencemaskan: lampu kuning jika kita ingin Indonesia yang tetap terintegrasi. Padahal, Pancasila sebagai dasar negara dan garis haluan bersama dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia merupakan aktualisasi tekad bersama segenap warga untuk tetap bersatu di tengah berbagai keragaman. Pancasila sebagai kerangka dan dasar ideologis negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah deconfessional ideology, ideologi yang tidak berbasiskan agama mana pun. Khususnya dengan sila pertama, Ketuhanan yang Mahaesa, Pancasila adalah sebuah ideologi yang sesuai dan bersahabat dengan agama.
Sebagai deconfessional ideology, Mark Juergensmeyer, guru besar radikalisme agama UC Santa Barbara, dalam percakapan dengan saya, pernah menyatakan bahwa Pancasila adalah rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia sebab Pancasila adalah religiously friendly ideology yang membuat tidak ada alasan yang valid untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya. Berbagai upaya mengganti Pancasila dengan ideologi lain—khususnya berbasis agama—tidak bakal mendapat dukungan mayoritas terbesar umat beragama Indonesia dan, karena itu, bakal gagal.
Pada hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagai garis haluan bersama ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang. Saya tetap tidak melihat adanya alternatif garis haluan bersama ideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi warga bangsa, tetapi juga dapat terus hidup dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia ke depan.
Pendorong usaha
Meski masih terdapat disparitas dan diskrepansi antara cita ideal Pancasila dan realitas kehidupan negara-bangsa, ini semestinya tidak mengurangi pentingnya Pancasila. Adanya disparitas dan diskrepansi itu semestinya menjadi pendorong usaha lebih keras lagi untuk terus mengaktualkan semangat, prinsip, dan nilai-nilai Pancasila.
Karena posisi Pancasila yang krusial itu, saya tetap melihat urgensi rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Jika tidak, ideologi-ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama, dapat terus memunculkan diri sebagai alternatif. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya memasarkan ideologi berbasis agama masih tetap merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas dalam dinamika politik Indonesia pasca-Soeharto sampai sekarang.
Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan kembali menjadikan Pancasila sebagai diskursus. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Langkah ini merupakan tahap awal krusial untuk revitalisasi Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dapat dimaknai secara terus-menerus sehingga tetap relevan dan fungsional bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral para pemimpin bangsa dalam berbagai tingkatan, baik pemimpin formal maupun informal. Kegagalan membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik dapat berujung pada tragedi negara-bangsa Indonesia.
* Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Sumber: Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment