Sunday, November 04, 2012

Sagang, Rida dan Rumah Akal Budi

-- Syaukani al Karim

ANUGERAH Sagang, pada akhirnya bukanlah sebuah ujung, tapi justru sebuah awal. Mungkin juga dihajatkan menjadi seuntai doa. Ia adalah awal dari sebuah ikhtiar untuk memastikan kelahiran atau keberadaan atas sesuatu, seseorang, sekelompok: entah itu seorang sastrawan, teaterawan, esais budaya, penari, perupa, jurnalis, atau apapun yang ingin dipastikan atau ditandai keberadaaan dan kelahirannya. Sagang adalah sebuah cara menandai, dengan bentuk tanda tersendiri, referensi tersendiri, ukuran kebenaran tersendiri dan seperti anugerah yang lain, tentu saja dengan subyektivitasnya sendiri.

Sebagai sebuah ikhtiar menandai dan juga doa, maka Anugerah Sagang pastilah tidak menjamin sesuatu atau ‘mengekalkan’ sesuatu secara abadi. Anugerah Sagang seperti selembar akta kelahiran yang mengukuhkan nama, dan nama itu diharapkan dapat ditimbang dengan sesuatu yang sepadan atau lebih, entah itu dengan karya atau pengabdian. Tapi kita tahu, masa depan menolak untuk takluk kepada nama dan sang pemilik nama sendirilah yang harus menjaga dan membuat nama itu tetap mulia.

Hal yang mengagumkan dari Sagang, mungkin bukan terletak pada besar kecilnya nama, panjang pendeknya doa yang diucap, tinggi rendahnya motivasi atau banyak sedikitnya nilai nominal yang mengikuti apresiasi itu. Tapi nilai Sagang sesungguhnya, terletak pada keberanian dan kesanggupan untuk terus memegang kepercayaan secara kuat kepada jalan akal budi. Terletak pada keyakinan yang kokoh, bahwa jalan akal budi dan kemuliaan, adalah sebuah jalan yang harus dijaga dengan cara apapun juga, karena dengan jalan akal budi, hidup yang penuh maslahat dan dunia yang lebih baik, masih punya alasan untuk diimpikan.

Hal lain yang tak kalah mengagumkan dari Anugerah Sagang, tentu saja tokoh yang berada di barisan paling depan dari anugerah tersebut, Rida K Liamsi. Mimpi-mimpi untuk memberikan penghormatan terhadap karya kreatif secara berkelanjutan, mungkin sudah ada sejak lama di Riau, tapi mimpi itu menemukan jalan kenyataan di tangan seorang Rida K Liamsi. Terlepas dari semua persoalan dalam proses penganugerahan itu dari tahun ke tahun, sebuah usaha yang dilakukan oleh Rida bersama kolega di Yayasan Sagang, patut mendapat tempat secara patut sampai ke dasar hati.

Memandang Rida K Liamsi dan Yayasan Sagang, ingatan saya melayang, ke sosok Alfred Bernhard Nobel dengan Yayasan Nobel-nya. Saya berpendapat, bahwa dalam beberapa hal, Yayasan Sagang  dan Yayasan Nobel serta tokoh yang berada di depannya, memiliki satu bentuk niat yang dekat, memiliki tarikan napas seni yang sama dalam cuaca dan iklim yang tak berbeda. Sama-sama bergerak ke matlamat yang satu, dari batang jalan yang mungkin bercabang.

Dalam surat wasiat yang ditanda-tanganinya pada 27 November 1895, Alfred Bernhard Nobel, memutuskan untuk memberikan satu bagian dari kekayaannya sebagai anugerah terhadap karya luar biasa dengan ‘kecenderungan idealistik’ di bidang kesusastraan, di samping beberapa bidang yang lain.

‘Kecenderungan idealistik’ yang disebutkan oleh Alfred Nobel dalam surat wasiatnya, dalam pemahaman saya, adalah sebuah pengakuan terbuka dari seorang Alfred Nobel, bahwa ada sesuatu yang tak ideal atau tak seimbang dalam perjalanan hidup dan hiruk-pikuk kemajuan manusia. Ada sendi-sendi yang terlepas, sehingga kekukuhan kemanusiaan menjadi goyah, ada instrumen kemuliaan yang tergadaikan, sehingga raut kehidupan berwajah kejam dan muram.

Lebih jauh, saya menduga, sebagai orang yang hidup dalam sebuah kawasan atau benua yang ‘diselamatkan’ oleh seni, filsafat (renaissance dan humanisme) dan keranggian budaya Yunani/Romawi, tentu Alfred Nobel paham benar arti dan kontribusi seni, budaya dan filsafat dalam membuka mata bangsa Eropa. Ketika dunia politik tanah Eropa berjalan dengan kekisruhan yang hampir tanpa jeda, ketika ekonomi berhadapan segala kebangkrutannya, ketika nilai moral merosot tajam dari puncaknya, ketika kekuasaan menggilai kezalimannya, maka seni dan filsafat, dengan tokoh semisal Francois Marie Arouet (Voltaire) dan Tahafut al-Falasifah-nya Ibn Rusyd (Averroes), datang menuntun bangsa Eropa pergi dan sekaligus pulang ke rumah kemuliaan. Alfred Nobel paham benar dengan kenyataan itu.

Alfred Nobel juga paham, bahwa ketika sains dan teknologi berkembang di Eropa dan ia adalah salah seorang pelaku utamanya, ternyata tidak melahirkan kecenderungan idealistik yang diharapkannya. Bahkan, hasil temuannya, berupa alat peledak, telah digunakan secara massif di jalan penghancuran manusia. Alfred Nobel merasa lelah dan gundah.

Lalu kemudian Alfred Nobel tersadar dengan pemahaman yang penuh, bahwa ia juga adalah seorang sastrawan, meski kesastrawanannya itu malap dalam gemerlap penemuan-penemuannya. Ia mengetahui, bahwa ketika pada satu sisi, penemuan-penemuannya di bidang sains dihela oleh umat manusia ke ranah penghancuran, maka pada sisi yang lain, karya sastra yang ditulisnya sejak lama tetap konsisten berbicara tentang sesuatu yang ideal secara maknawi.

Namun demikian, bukan semata-mata kesastrawanannya itu yang membuat ia memberi anugerah, tapi sebuah kesadaran hakikat, bahwa hanya karya yang datang dari akal budi, berjalan di laluan akal budi dan menuju matlamat akal budi, yang dapat menyelamatkan manusia, atau paling tidak, dalam bahasa Mathew Arnold, berpotensi ‘menetralisir atau meredakan’ dunia manusia modern yang riuh dan bengis.

Sebagaimana Alfred Bernard Nobel, seorang Rida K Liamsi, dengan skala yang berbeda, juga adalah sosok yang mempunyai ‘penemuan-penemuan’ dalam dunia bisnis media yang digelutinya dan seperti dugaan saya sebelumnya, Rida juga mafhum bahwa dunia bisnis itu membuat ia ‘dijauhkan’ secara paksa dari kecenderungan idealistik yang mengasuhnya sejak kecil. 

Tapi Rida adalah seorang Melayu, yang juga paham betul, tentang bagaimana seni dan budaya memberikan ‘harga’ kepada dirinya sebagai orang Melayu. Rida mafhum, bahwa tanah tempat ia berpijak telah melaung ke sekotah kawasan, melewati batas-batas teritorial, politik dan ekonomi, tersebab karya seni budaya dan pergerakan akal budi. Ia tahu, bagaimana para pendahulunya, seperti Raja Ali Haji, Tuan Bilal Abu, Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, Soeman Hs dan selambak nama yang lain, dari generasi ke generasi, telah membuat dirinya yang Melayu dapat dibilang nama.

Lalu, seperti Alfred Nobel, Rida juga seorang sastrawan tunak, yang tak pernah hilang dalam dagang, tak gagap dalam derap, tak jadi secebis dalam material yang majelis. Dari pergelutan panjang dengan kesusastraan, Rida tahu betul, bahwa dunia seninya, adalah penyaring terbaik untuk membersihkan langkah, pautan yang kokoh untuk tidak terlempar ke dunia lain secara semena-mena.

Saya tentu saja tak hendak membandingkan Hadiah Nobel dengan Anugerah Sagang secara fisik dan material, atau antara Rida K Liamsi dengan Alfred Bernhard Nobel sebagai pribadi, karena keduanya secara fisik berbeda. Tapi dengan yakin, saya hendak mengatakan, bahwa antara kedua anugerah itu, dan aktor di belakang anugerah itu, muncul, memancar dan mengarus, dari mata air pemikiran yang sama secara spiritual, bahwa dengan menjaga jalan akal budi, maka akan selalu tersedia sebuah laluan tempat ‘meredakan’ sesuatu.

Mereka berdua, dari kutub yang berbeda, dengan kemampuan dan caranya masing-masing, memberikan kontribusi secara nyata dan memberikan peran untuk menciptakan sebuah negeri yang layak dicintai. Sebuah negeri yang seimbang antara gemuruh material dan gelegar spiritual, yang sama timbang antara busuk korupsi dan wangi puisi, antara debat yang nyinyir dengan kata yang syair, antara leguh-legah persada dengan harmoni nada, antara kicau politik dan desau puitik, antara hingar-bingar ekonomi dan denyar seni, antara berisik sosial dan gemerisik teatrikal. Berusaha memberikan kontribusi agar sebuah negeri tidak hanya memiliki sistem dan pemerintahan yang bagus, tapi juga diramaikan oleh seni sebagai makanan jiwa.

Mereka, Rida K Liamsi dan Alfred Nobel, dalam kurun waktu yang berjarak, telah dan ‘akan terus’ membangun rumah akal budi dengan cara dan kekuatannya sendiri, mereka berdua sedang bersembang dan berdondang bersama di dalamnya, meski di meja yang  berjauhan, dari rumah dan waktu yang berlainan. n


Syaukani al Karim, Anak jati Bengkalis yang akrab dengan dunia sastra dan seni. Sastrawan Riau yang telah menghasilkan banyak karya, terutama puisi ini tak pernah berhenti menulis dan berkarya. Salah satu buku kumpulan puisinya adalah Hikayat Perjalanan Lumpur.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 November 2012

No comments: