-- Desi Sommalia Gustina
ENTAH disadari atau tidak, banyak hal-hal yang serba terbalik terhampar di sekitar kita. Umpamanya orang yang disangka memiliki akhlak terpuji padahal dalam lakunya justru berperilaku sebaliknya. Hal inilah yang dipaparkan oleh sejumlah cerpen dalam kumpulan Kaki yang Terhormat. Cerpen “Upit” dalam kumpulan karya Gus TF Sakai ini misalnya, demi harga diri, pernikahan dilaksanakan hanya untuk menutupi aib.
Cerpen “Upit” bercerita tentang seorang remaja kelas 2 SMU bernama Upit yang terpaksa melepas seragam putih abu-abunya karena harus menikah dengan lelaki pemilik toko tempat Ayahnya bekerja. Sebagai anak, Upit tak kuasa menolak. Suka tidak suka Upit mesti menjalani pernikahan dengan lelaki yang dipilihkan oleh orangtuanya berdasarkan pertimbangan ‘balas jasa’. Persoalan hidup Upit kian pelik setelah resmi menjadi istri si Abang, demikian Upit menyebut suaminya. Karena setelah mengarungi bahtera rumah tangga bersama si Abang baru terkuak bahwa suami Upit adalah lelaki yang menyukai sesama jenis. Si Abang menikahi Upit hanya untuk mendapatkan ‘status’ demi menutupi ketidaknormalannya.
Orang-orang di sekitar tempat tinggal Upit bukannya tidak tahu tentang perangai si Abang yang sering ‘memuat’ lelaki di mobilnya dan kembali keluar pada dini hari bersama si lelaki. Namun, karena si Abang seorang dermawan dan penyumbang terbesar kegiatan sosial di kompleks, masyarakat di sekitar Upit pun bungkam. Justru, Haris, tetangga sekaligus sahabat Upit, yang berusaha menumbuhkan keberanian dalam diri Upit agar bercerita tentang ketidaknormalan si Abang pada orangtuanya, harus menerima kenyataan pahit diusir dari kompleks karena dianggap mengganggu istri si Abang ketika kepergok sedang ngobrol berdua bersama Upit di teras rumah ketika si Abang tidak di rumah.
Dalam cerpen “Upit” ini hal-hal yang serba terbalik sungguh benderang terlihat. Hingga menjungkir-balikkan realita. Membuat yang hitam menjadi putih, yang putih menjadi hitam. Menghukum yang benar, membebaskan yang salah. Sungguh, melihat penjatuhan vonis yang keliru, yang diwakili oleh kelompok masyarakat dalam cerpen ini, seolah merefleksikan hukum di negeri ini yang sering kita jumpai serba terbalik: yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar.
Cerpen yang berjudul ‘’Lebaran, Jangan, Jangan...’’ juga bercerita tentang tokoh yang memiliki kepribadian terbalik. Tampak elok jika ditilik dari luar tapi buruk jika ditengok ke dalam. Adalah Openg, bocah yang terjebak dalam perangkap orang-orang yang berkepribadian terbalik. Petaka itu bermula ketika Openg menyanggupi bekerja selama dua bulan di jermal yang jaraknya delapan mil dari pantai. Openg tergiur karena upah Rp400.000 per bulan yang dijanjikan Bang Tohar. Openg pikir dengan bekerja selama dua bulan akan terpenuhi biaya Maknya berangkat ke Malaysia. Disamping juga untuk membeli kue dan baju lebaran buat Atin, adik perempuannya. Tapi rupanya janji Bang Tohar, salah seorang mandor di jermal, akan memberi gaji Rp400.000 per bulan adalah palsu belaka. Sebab, setelah berada di jermal Openg kemudian tahu bahwa gaji yang akan ia terima hanya Rp200.000 per bulan. Dan itu pun Openg harus bekerja selama tiga bulan. Openg merasa tertipu. Karena jika bekerja selama tiga bulan, berarti Openg harus melewatkan lebaran berkumpul bersama Mak dan adiknya.
Dalam cerpen ini Openg dan anak-anak lain di jermal itu tak hanya ditipu oleh Bang Tohar, lelaki 40-an yang mengajaknya itu, tetapi juga diperlakukan tidak manusiawi: bekerja bagai tanpa jeda, dan disodomi di malam hari. Keserba-terbalikan dalam cerpen ‘’Lebaran, Jangan, Jangan...’’ ini tak hanya terlukis dari sosok Bang Tohar yang tampak baik dipermukaan tapi ternyata berperangai jadah. Disamping itu, sistem kerja yang bagai tanpa antara mengingatkan kita pada sistem kerja rodi pada zaman Jepang. Bedanya jika dahulu sistem kerja paksa itu dilakukan oleh para penjajah terhadap pribumi, dalam cerpen ini digambarkan penjajahan dan penindasan itu dilakukan oleh pribumi terhadap pribumi. Cerpen ini seakan menyindir negeri ini yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka namun sejatinya masih dijajah oleh bangsa sendiri.
Lalu, tilik pula cerpen yang berjudul ‘’Kak Ros’’. Cerpen ini bercerita tentang tokoh ‘aku’ yang bertandang ke sebuah kota dalam rangka mengikuti acara seminar sastra. Meski panitia menyediakan hotel untuk menginap, tetapi si ‘aku’ lebih memilih menumpang di kos Ben, keponakannya. Di tempat kos Ben itulah ‘aku’ bertemu dengan Kak Ros, Ibu kos Ben yang sudah hampir separuh baya tapi masih lajang, sangat lembut, halus, pengasih, dan seperti bisa bicara pada daun-daun. Namun, tak disangka, Kak Ros yang mulanya dikira lembut dan tenang itu, adalah sosok yang amat dingin, mirip seperti pembunuh bertangan dingin.
Namun, sosok Kak Ros yang dingin tidak akan diketahui dalam sekali lihat. Ben yang telah berbilang tahun meyewa paviliun Kak Ros malah menyimpulkan Kak Ros sebagai perempuan penuh kasih dan penyayang. Namun, tokoh ‘aku’ dalam cerpen ini justru mendapati kenyataan lain pada diri Kak Ros yang teramat menyayangi tetumbuhan. Pada suatu kesempatan, ‘aku’ menemukan Kak Ros membadai. Entah karena sudah kesekian kalinya daun-daun tanaman Kak Ros patah oleh lompatan kucing yang berlarian disekitar halaman rumahnya, Kak Ros kemudian tak dapat menahan kemarahannya. Sebongkah batu besar Kak Ros empaskan ke kepala seekor kucing, yang membuat kepala kucing malang itu nyaris gepeng. Sebuah pesan yang mampu membuat nafas terhela. Betapa kemarahan yang tidak dikendalikan akan menyeret pelakunya pada hal-hal yang menggenaskan. Begitulah.
20 Desember 2012
Desi Sommalia Gustina, Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau, 18 Desember 1987. Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Februari 2013
ENTAH disadari atau tidak, banyak hal-hal yang serba terbalik terhampar di sekitar kita. Umpamanya orang yang disangka memiliki akhlak terpuji padahal dalam lakunya justru berperilaku sebaliknya. Hal inilah yang dipaparkan oleh sejumlah cerpen dalam kumpulan Kaki yang Terhormat. Cerpen “Upit” dalam kumpulan karya Gus TF Sakai ini misalnya, demi harga diri, pernikahan dilaksanakan hanya untuk menutupi aib.
Cerpen “Upit” bercerita tentang seorang remaja kelas 2 SMU bernama Upit yang terpaksa melepas seragam putih abu-abunya karena harus menikah dengan lelaki pemilik toko tempat Ayahnya bekerja. Sebagai anak, Upit tak kuasa menolak. Suka tidak suka Upit mesti menjalani pernikahan dengan lelaki yang dipilihkan oleh orangtuanya berdasarkan pertimbangan ‘balas jasa’. Persoalan hidup Upit kian pelik setelah resmi menjadi istri si Abang, demikian Upit menyebut suaminya. Karena setelah mengarungi bahtera rumah tangga bersama si Abang baru terkuak bahwa suami Upit adalah lelaki yang menyukai sesama jenis. Si Abang menikahi Upit hanya untuk mendapatkan ‘status’ demi menutupi ketidaknormalannya.
Orang-orang di sekitar tempat tinggal Upit bukannya tidak tahu tentang perangai si Abang yang sering ‘memuat’ lelaki di mobilnya dan kembali keluar pada dini hari bersama si lelaki. Namun, karena si Abang seorang dermawan dan penyumbang terbesar kegiatan sosial di kompleks, masyarakat di sekitar Upit pun bungkam. Justru, Haris, tetangga sekaligus sahabat Upit, yang berusaha menumbuhkan keberanian dalam diri Upit agar bercerita tentang ketidaknormalan si Abang pada orangtuanya, harus menerima kenyataan pahit diusir dari kompleks karena dianggap mengganggu istri si Abang ketika kepergok sedang ngobrol berdua bersama Upit di teras rumah ketika si Abang tidak di rumah.
Dalam cerpen “Upit” ini hal-hal yang serba terbalik sungguh benderang terlihat. Hingga menjungkir-balikkan realita. Membuat yang hitam menjadi putih, yang putih menjadi hitam. Menghukum yang benar, membebaskan yang salah. Sungguh, melihat penjatuhan vonis yang keliru, yang diwakili oleh kelompok masyarakat dalam cerpen ini, seolah merefleksikan hukum di negeri ini yang sering kita jumpai serba terbalik: yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar.
Cerpen yang berjudul ‘’Lebaran, Jangan, Jangan...’’ juga bercerita tentang tokoh yang memiliki kepribadian terbalik. Tampak elok jika ditilik dari luar tapi buruk jika ditengok ke dalam. Adalah Openg, bocah yang terjebak dalam perangkap orang-orang yang berkepribadian terbalik. Petaka itu bermula ketika Openg menyanggupi bekerja selama dua bulan di jermal yang jaraknya delapan mil dari pantai. Openg tergiur karena upah Rp400.000 per bulan yang dijanjikan Bang Tohar. Openg pikir dengan bekerja selama dua bulan akan terpenuhi biaya Maknya berangkat ke Malaysia. Disamping juga untuk membeli kue dan baju lebaran buat Atin, adik perempuannya. Tapi rupanya janji Bang Tohar, salah seorang mandor di jermal, akan memberi gaji Rp400.000 per bulan adalah palsu belaka. Sebab, setelah berada di jermal Openg kemudian tahu bahwa gaji yang akan ia terima hanya Rp200.000 per bulan. Dan itu pun Openg harus bekerja selama tiga bulan. Openg merasa tertipu. Karena jika bekerja selama tiga bulan, berarti Openg harus melewatkan lebaran berkumpul bersama Mak dan adiknya.
Dalam cerpen ini Openg dan anak-anak lain di jermal itu tak hanya ditipu oleh Bang Tohar, lelaki 40-an yang mengajaknya itu, tetapi juga diperlakukan tidak manusiawi: bekerja bagai tanpa jeda, dan disodomi di malam hari. Keserba-terbalikan dalam cerpen ‘’Lebaran, Jangan, Jangan...’’ ini tak hanya terlukis dari sosok Bang Tohar yang tampak baik dipermukaan tapi ternyata berperangai jadah. Disamping itu, sistem kerja yang bagai tanpa antara mengingatkan kita pada sistem kerja rodi pada zaman Jepang. Bedanya jika dahulu sistem kerja paksa itu dilakukan oleh para penjajah terhadap pribumi, dalam cerpen ini digambarkan penjajahan dan penindasan itu dilakukan oleh pribumi terhadap pribumi. Cerpen ini seakan menyindir negeri ini yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka namun sejatinya masih dijajah oleh bangsa sendiri.
Lalu, tilik pula cerpen yang berjudul ‘’Kak Ros’’. Cerpen ini bercerita tentang tokoh ‘aku’ yang bertandang ke sebuah kota dalam rangka mengikuti acara seminar sastra. Meski panitia menyediakan hotel untuk menginap, tetapi si ‘aku’ lebih memilih menumpang di kos Ben, keponakannya. Di tempat kos Ben itulah ‘aku’ bertemu dengan Kak Ros, Ibu kos Ben yang sudah hampir separuh baya tapi masih lajang, sangat lembut, halus, pengasih, dan seperti bisa bicara pada daun-daun. Namun, tak disangka, Kak Ros yang mulanya dikira lembut dan tenang itu, adalah sosok yang amat dingin, mirip seperti pembunuh bertangan dingin.
Namun, sosok Kak Ros yang dingin tidak akan diketahui dalam sekali lihat. Ben yang telah berbilang tahun meyewa paviliun Kak Ros malah menyimpulkan Kak Ros sebagai perempuan penuh kasih dan penyayang. Namun, tokoh ‘aku’ dalam cerpen ini justru mendapati kenyataan lain pada diri Kak Ros yang teramat menyayangi tetumbuhan. Pada suatu kesempatan, ‘aku’ menemukan Kak Ros membadai. Entah karena sudah kesekian kalinya daun-daun tanaman Kak Ros patah oleh lompatan kucing yang berlarian disekitar halaman rumahnya, Kak Ros kemudian tak dapat menahan kemarahannya. Sebongkah batu besar Kak Ros empaskan ke kepala seekor kucing, yang membuat kepala kucing malang itu nyaris gepeng. Sebuah pesan yang mampu membuat nafas terhela. Betapa kemarahan yang tidak dikendalikan akan menyeret pelakunya pada hal-hal yang menggenaskan. Begitulah.
20 Desember 2012
Desi Sommalia Gustina, Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau, 18 Desember 1987. Alumnus Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 Februari 2013
No comments:
Post a Comment