-- Ferry Fauzi Hermawan
DALAM perangkat kebudayaan, sastra menempati posisi yang cukup penting pada proses pembentukan karakter masyarakat. Lebih jauh, Pantaelo dan Johnston (2009) pernah mengemukakan bahwa karya sastra merupakan medium utama untuk menegoisasikan identitas suatu bangsa. Nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air dapat ditanamkan secara halus lewat pembacaan karya sastra, terutama sastra anak.
Sastra anak dianggap mampu mengembangkan kerangka berpikir kritis bagi anak-anak. Selain itu, sastra anak juga dapat membantu memberi peran yang positif bagi perkembangan kognitif dan sosial serta tingkat intelektualitas anak-anak.
Lewat sastra, anak dapat melihat seorang tokoh berperilaku dalam hidupnya serta melihat bagaimana cara mereka mengatasi suatu permasalahan. Hal itu dikenal dengan proses identifikasi. Melalui proses identifikasi inilah, anak secara otomatis dapat mengatasi permasalahan sendiri dalam kehidupan sebenarnya. Sastra anak dapat dijadikan sebagai suatu proses dialektika antara diri seorang anak dan lingkungan sosialnya.
Seperti halnya soal korupsi yang menjadi masalah akut bangsa kita. Sastra anak dapat dijadikan sebagai salah satu upaya alternatif untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sejak dini, anak diajarkan untuk sadar bagaimana korupsi telah merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Forum Penulis Bacaan Anak (FPBA) telah meluncurkan karya sastra anak yang khusus bertemakan perlawanan terhadap korupsi. Buku yang berlabel Tunas Integritas ini setidaknya menawarkan beberapa sikap luhur, yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. Semua itu dibalut dengan berbagai genre penulisan, seperti fabel, realistis kontemporer, dongeng, cerita fantasi, dan lain-lain.
Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah upaya para pengarang untuk meninggalkan gaya penulisan didaktis yang selama ini menjadi momok dalam perkembangan sastra anak Indonesia. Alur cerita, tokoh, dan konflik yang dibangun memberikan banyak kebebasan kepada anak untuk berpikir dan merenung.
Hal ini tentu saja suatu kemajuan yang patut diapresiasi. Apa yang dikatakan oleh Lehman dan Freeman (2009) tentang tren sastra anak di abad 21 soal isu yang berfokus pada tema, struktur, keindahan dan kekuatan bahasa, konektisitas isi, genre, serta keterbacaan visual ternyata juga dihadapi oleh para penulis buku ini.
Buku KPK dan FPBA yang masing-masing berjudul Ungu di Mana Kamu?, Ini, Itu? Hujan Warna-warni, Byuur, Ya Ampun!, dan Wuush ini setidaknya telah menegaskan bahwa keberadaan sastra anak Indonesia tidak pernah lepas dari lingkungan sosialnya.
Seperti halnya genre sastra dewasa, ia hadir untuk menjadi cermin bagi pembacanya masing-masing, terutama sebagai pengingat dan bentuk perlawanan terhadap korupsi yang menjadi permasalahan akut bangsa ini. Semoga ini menjadi ikhtiar kita bersama, menciptakan generasi antikorupsi lewat karya sastra. Semoga!
Ferry Fauzi Hermawan, Mahasiswa Jurusan Sastra Kontemporer Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Bandung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Februari 2013
DALAM perangkat kebudayaan, sastra menempati posisi yang cukup penting pada proses pembentukan karakter masyarakat. Lebih jauh, Pantaelo dan Johnston (2009) pernah mengemukakan bahwa karya sastra merupakan medium utama untuk menegoisasikan identitas suatu bangsa. Nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air dapat ditanamkan secara halus lewat pembacaan karya sastra, terutama sastra anak.
Sastra anak dianggap mampu mengembangkan kerangka berpikir kritis bagi anak-anak. Selain itu, sastra anak juga dapat membantu memberi peran yang positif bagi perkembangan kognitif dan sosial serta tingkat intelektualitas anak-anak.
Lewat sastra, anak dapat melihat seorang tokoh berperilaku dalam hidupnya serta melihat bagaimana cara mereka mengatasi suatu permasalahan. Hal itu dikenal dengan proses identifikasi. Melalui proses identifikasi inilah, anak secara otomatis dapat mengatasi permasalahan sendiri dalam kehidupan sebenarnya. Sastra anak dapat dijadikan sebagai suatu proses dialektika antara diri seorang anak dan lingkungan sosialnya.
Seperti halnya soal korupsi yang menjadi masalah akut bangsa kita. Sastra anak dapat dijadikan sebagai salah satu upaya alternatif untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sejak dini, anak diajarkan untuk sadar bagaimana korupsi telah merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Forum Penulis Bacaan Anak (FPBA) telah meluncurkan karya sastra anak yang khusus bertemakan perlawanan terhadap korupsi. Buku yang berlabel Tunas Integritas ini setidaknya menawarkan beberapa sikap luhur, yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. Semua itu dibalut dengan berbagai genre penulisan, seperti fabel, realistis kontemporer, dongeng, cerita fantasi, dan lain-lain.
Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah upaya para pengarang untuk meninggalkan gaya penulisan didaktis yang selama ini menjadi momok dalam perkembangan sastra anak Indonesia. Alur cerita, tokoh, dan konflik yang dibangun memberikan banyak kebebasan kepada anak untuk berpikir dan merenung.
Hal ini tentu saja suatu kemajuan yang patut diapresiasi. Apa yang dikatakan oleh Lehman dan Freeman (2009) tentang tren sastra anak di abad 21 soal isu yang berfokus pada tema, struktur, keindahan dan kekuatan bahasa, konektisitas isi, genre, serta keterbacaan visual ternyata juga dihadapi oleh para penulis buku ini.
Buku KPK dan FPBA yang masing-masing berjudul Ungu di Mana Kamu?, Ini, Itu? Hujan Warna-warni, Byuur, Ya Ampun!, dan Wuush ini setidaknya telah menegaskan bahwa keberadaan sastra anak Indonesia tidak pernah lepas dari lingkungan sosialnya.
Seperti halnya genre sastra dewasa, ia hadir untuk menjadi cermin bagi pembacanya masing-masing, terutama sebagai pengingat dan bentuk perlawanan terhadap korupsi yang menjadi permasalahan akut bangsa ini. Semoga ini menjadi ikhtiar kita bersama, menciptakan generasi antikorupsi lewat karya sastra. Semoga!
Ferry Fauzi Hermawan, Mahasiswa Jurusan Sastra Kontemporer Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Bandung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Februari 2013
No comments:
Post a Comment