JAKARTA (MI): ''SETELAH 18 tahun, akhirnya perhatian pemerintah datang juga. Bentuknya, selembar tagihan pajak,'' tutur Ajip Rosidi.
Sastrawan Sunda ternama ini sepertinya sengaja melontarkan olokan. Ia hanya tersenyum sedikit dan membiarkan orang lain tertawa lebar dengan ungkapannya.
Kejadian itu bermula pada 1989 silam. Dengan uang dari kantongnya sendiri, pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat, ini memberikan hadiah sastra tahunan untuk pengarang sastra Sunda. Perhatiannya berlanjut dengan mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage.
Hadiah Rancage pun terus bergulir setiap tahun, dan mulai meluas pada 1994, dengan memberikan hadiah untuk pengarang sastra Jawa. Empat tahun kemudian, Rancage mengembangkannya lagi untuk para pengarang sastra Bali.
''Para sastrawan di Lampung dan Madura meminta Yayasan Kebudayaan Rancage juga memberikan hadiah serupa untuk mereka. Tapi, kami masih pikir-pikir, karena kemampuan Rancage sangat terbatas,'' tutur bapak enam orang anak ini.
Maklum saja, Rancage bisa memberikan hadiah secara rutin setiap tahun dengan dana swadaya dan sumbangan donatur. Dari pemerintah, baik pemerintah daerah, provinsi maupun pusat, bantuan belum pernah mengalir sedikit pun.
Setiap tahun, Rancage memang harus bekerja keras menyediakan dana untuk enam penerima hadiah, yakni Hadiah Rancage untuk karya serta mereka yang berjasa untuk sastra Sunda, Jawa, dan Bali. Mulai 2008 ini, Rancage menggelar penghargaan baru, berupa Hadiah Hardjapamekas, untuk guru bahasa Sunda di tingkat SD, SMP, dan SMA.
Tekad Ajip untuk menghargai dan memerhatikan pelestarian kebudayaan di daerah membuatnya sangat berbeda dengan sastrawan lain. Hasilnya memang tidak sia-sia.
Terbukti, Rancage mampu meningkatkan penerbitan dan kualitas pengarang buku berbahasa ibu untuk tiga kebudayaan itu. Catatan pada 2006 memperlihatkan ada 30 judul buku berbahasa diterbitkan, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 19 judul. Begitu juga buku sastra Jawa dari 6 judul menjadi 16 judul dan sastra Bali dari 5 judul menjadi 17 judul.
Sebagai sastrawan, nama Ajip tidak perlu diragukan lagi. Ia sudah mulai menulis buku sastra sejak usia 17 tahun, dengan judul Tahun-Tahun Kematian.
Sampai saat ini, sudah lebih dari 50 judul buku yang ditulisnya. Begitu juga sajak dan cerita pendek, yang hingga 1983 lalu, sudah 326 judul karyanya dimuat di 22 majalah.
Sebagai sastrawan, Ajip pun tercatat sebagai penerima penghargaan, di antaranya Hadiah Sastra Nasional (1957), Hadiah Prosa (1960), Hadiah Seni (1993), dan anugerah Kun Santo Zui Ho Sho dari pemerintah Jepang atas jasanya bagi hubungan Indonesia-Jepang (1996).
Ajip pun pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta pada 1972-1981. Setelah itu, Ajip pindah ke Jepang untuk mengajar bahasa, sastra, budaya Indonesia, dan agama Islam di beberapa universitas serta pusat kebudayaan hingga 2003.
Kiprah Ajip yang luar biasa di dunia kebudayaan membuat Universitas Padjadjaran Bandung menggelar peringatan 70 Tahun Ajip Rosidi, 31 Januari lalu. Kegiatan sastra dan pelestarian budaya memenuhi acara peringatan tersebut. Bahkan, Rektor Unpad Ganjar Kurnia menyebut Ajip sebagai sosok sastrawan yang lengkap. (Sugeng Sumariyadi/H-3)
Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 2 Februari 2008
No comments:
Post a Comment