QAISRA Shahraz melakukan tur ke Indonesia untuk novel Perempuan Terluka dan riset tentang Muslimah.
Qaisra Shahraz mempunyai pengandaian. Novelis Inggris kelahiran Pakistan ini menggambarkan proses menulis sama halnya dengan proses melahirkan. ''I much liken the creative writing process to the cycle of motherhood,'' tutur perempuan yang beremigrasi bersama keluarga ke Inggris sejak usia 9 tahun itu.
Penulis novel Perempuan Suci (Mizan, 2006, memasuki cetakan kelima) dan Perempuan Terluka (Mizan, 2007, memasuki cetakan ketiga) itu Februari ini sedang berada di Indonesia. Sambil melakukan book tour ke empat kota di Indonesia, Qaisra juga melakukan serangkaian riset tentang Muslimah di Indonesia.
Hal itu ia lakukan untuk mendukung proyek penulisan buku nonfiksinya, bertema Muslim Women from Around the World. Maka, sejumlah perempuan dari berbagai kalangan ia wawancarai. Antara lain para pemetik teh di kawasan Gunung Mas, Puncak.
Saat tampil di Jakarta, Qaisra menyatakan proses menulis dan proses melahirkan kuranglebih serupa. Dalam menjalani kehamilan, ada masa mengandung, janin tumbuh dan membesar di dalam rahim, dan menjalani masa melahirkan. Proses selanjutnya, anak tumbuh dan berkembang dengan dunianya sendiri.
Menurut Qaisra, sebagaimana halnya kehamilan, hal pertama yang dialami seorang penulis adalah 'mengandung' ide-ide dan karakter tokoh. Ide dan karakter ini kemudian tumbuh di dalam diri sang penulis, sampai akhirnya melahirkan sebuah karya.
Sebagaimana seorang ibu yang pada saatnya mesti melepas anaknya menempuh kehidupan sendiri, dalam menulis pun pada akhirnya sang penulis mesti menepi. Ia mesti rela melepas karyanya dan hanya bisa melihat dari jauh, bagaimana karya itu mengarungi samudra luas kehidupan para pembacanya.
Bagi Qaisra, menulis juga ibarat hidup itu sendiri. Penulis melakukan dialog dan jatuh cinta pada karakter yang diciptakannya, merasa berat ketika harus berpisah dengan karakter-karakter itu. Boleh jadi, karena perasaan tak mau berpisah itulah, lahir novel keduanya, Perempuan Terluka.
Novelnya, The Holy Women (Perempuan Suci), pertama kali diterbitkan di Inggris pada 2001. Novel ini meraih penghargaan Best Book of the Month di Bradford dan Jubilee Award pada 2002 di Manchester. Setalh itu, lahir novel keduanya, Typhoon (Perempuan Terluka) yang merupakan sekuel dari The Holy Women. Kini Qaisra tengah mengerjakan novel ketiganya.
Book tour Qaisra ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, pada 29 Januari - 7 Februari 2008 berkaitan dengan novel Perempuan Terluka. Selain bertemu dengan fans, Qaisra memberikan pula workshop pendidikan. Di Inggris, Qaisra juga dikenal sebagai konsultan pendidikan, pelatih guru, dan pengawas pendidikan.
Bagi Qaisra, ini bukan kali pertama ibu tiga anak itu datang ke Indonesia. Qaisra pertama kali datang ke Indonesia, Oktober 2006, menghadiri Ubud Writer and Reader Festival sekaligus peluncuran buku pertamanya versi bahasa Indonesia, Perempuan Suci.
Budaya
Perempuan Suci menceritakan kisah seorang perempuan Pakistan yang dipaksa oleh keluarganya menjadi seorang perempuan suci yang tidak boleh menikah. Perjalanan waktu membuat sang perempuan suci menjadi semakin terbiasa dengan burqa yang dipakainya dan semakin memahami ajaran agamanya.
Sebagai seorang perempuan suci, dia mendapatkan sebuah identitas baru sebagai seorang Muslimah. Ia menjadi seorang perempuan yang bangga dengan keyakinannya dan bangga menggunakan jilbab. Di sisi lain, sebagai perempuan suci, ia tidak boleh menikah. Tapi, toh, ia juga manusia biasa yang punya perasaan cinta. ''Ini cerita tentang kungkungan budaya,'' kata Qaisra. ''Novel ini menceritakan mengenai revolusi batin dari tokoh utama sang perempuan suci,'' lanjutnya.
Seperti juga novel Perempuan Suci yang berlatar budaya, novel Perempuan Terluka mengisahkan tiga perempuan belia mengalami kisah tragis yang menghantui kehidupannya masing-masing di Desa Chiragpur --asal mula sang perempuan suci. Tiga perempuan belia itu: Naghmana, perempuan glamour dari kota; Chaudharani Kaniz, sang maharani; dan Gulshan, istri tak berdosa.
Qaisra Shahraz memang paham dengan berbagai budaya. Sebagai perempuan yang lahir di Pakistan dan besar di Inggris, ia acap mendiskripsikan dirinya sebagai produk dua dunia: dunia Muslim dan dunia Barat. Qaisra memang tumbuh dengan salah satu kaki di dunia Muslim, satu kaki lainnya berjalan di dunia Barat.
Dia merasakan, hal itu melahirkan liku-liku tersendiri. Namun, belakangan dia merasa sangat beruntung karena dengan memahami kedua dunia tersebut, dia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya. Menjadi jalan dialog, melebur segala salah persepsi yang terjadi di antara keduanya.
Qaisra mempelajari peradaban klasik dan sastra Inggris di Universitas Manchester, meraih dua gelar master dalam bidang sastra Eropa dan penulisan naskah dari Universitas Salford.
Meski harus membagi waktu antara karier menulis dan tugasnya sebagai guru dan penggiat pendidikan di Inggris, Qaisra bertekad menjadikan proses menulis sebagai media diskusi dan eksplorasi atas berbagai isu yang menurutnya penting: Komitmennya terhadap pemberdayaan kaum perempuan, pendidikan, dialog antaragama, dan budaya. ''Saya cinta menulis. Itu hal paling alami yang bisa kita lakukan,'' tutur perempuan yang berobsesi menjadi penulis sejak usia 14 tahun ini. n burhanuddin bella
Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008
No comments:
Post a Comment