-- Neneng Nurjanah*
BERBICARA tentang nasib perempuan di dunia ketiga, ingatan kita akan terbawa pada beberapa novel Nawal El Sadawi, seorang sastrawan Mesir yang memotret nasib buram kaum perempuan di tanah airnya. Ingatan sayapun terbidik pada karya-karya Arundhati Roy, seorang sastrawan India pemenang Booker Prize 1997. Tak berbeda, diapun berujar tentang nasib perempuan dan rakyat miskin di tanah airnya. Dalam esai The Cost of Living dengan apik dia menulis tentang pembangunan waduk Narmada yang menelan ratusan ribu warga India.
Dari Indonesia, kita memiliki Oka Rusmini, sastrawan Bali yang mengungkap nasib perempuan Bali di tengah gebyar pariwisata dan modernisme. Di mata pena Oka, Bali yang elok ternyata bobrok. Dalam novel Tarian Bumi, diapun memotret nasib perempuan di tengah diskrimanasi kasta dan kemiskinan.
Lokalitas
Baik Nawal, Arundathi maupun Oka Rusmini, berbicara tentang perempuan dalam kerangka lokalitas budaya. Meskipun tema umum yang diusung adalah diskriminasi gender, namun mereka mengungkapnya dalam konteks tanah airnya masing-masing. Merekapun tidak serta merta menelan bulat feminisme Barat yang mengawang. Dengan tetap berpijak pada budaya setempat, mereka beranjak untuk menelisik ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
Gambaran umum yang tampak pada karya-karya mereka adalah adat budaya serta otoritas negara dan agama. Nawal banyak bercerita tentang otoritas negara yang bersembunyi di balik dalil-dalil agama yang dianggap mengekang kebebasan dan keadilan. Ia mengeritik para pejabat yang korup dan otoriter. Sikapnya itu berbuah penahanan, ancaman fisik, serta masuk ke dalam daftar hitam pemerintahan Anwar Sadat. Buku-bukunya pun dicekal dan dibredel oleh Majma Al-buhuts.
Begitupun dengan Arundhati, yang menampilkan sosok India dengan sinis. Ia berpendapat India tidak lebih dari mesin yang memproduksi kemiskinan massal. Ia pun memotret buramnya nasib penduduk desa di India yang dipaksa untuk menyetujui pembangunan sejumlah waduk. Imbasnya, mereka kehilangan hutan yang sedang bersemi, taman bermain untuk anak-anak, dan sungai yang menghidupi mereka. India seakan hanya hidup di kota-kota, bukan di desa. Desa hanya hadir untuk melayani kota-kota.
Tidak berbeda dengan Bali di tengah gemerlap pariwisata. Oka mengungkap diskriminasi kasta yang memenjarakan warga Bali. Pencapaian kasta tertinggi dianggap sebuah prestasi. Kasta menjadi ukuran seseorang dalam memperoleh nilai di masyarakat dan kemapanan secara ekonomi.
Kondisi budaya
Menurut Ignas Kleden, penciptaan karya sastra tidak bisa terhindar dari kondisi sosial dan budaya di sekitar pengarangnya. Karya sastra memuat realitas sosial secara simbolik, evokatif (menggugah) dan artistik. Ketiga sastrawan itu pun menggambarkan masyarakat di dunia ketiga dengan pengungkapan yang khas.
Dalam novel Memoar Seorang Dokter, Nawal bercerita dengan gaya colloquaialism (bahasa keseharian) tentang budaya Mesir yang mengatur tata kehidupan perempuan. Para perempuan muda dipaksa untuk menjalani sebuah pernikahan dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Sang perempuan dipaksa berdandan semenarik mungkin agar laki-laki itu menikahinya, dan akhirnya sang perempuan berontak.
Karya Nawal lainnya adalah Jatuhnya Seorang Imam. Dengan tajam ia mengkritik kebobrokan pemerintahan yang berselimut di balik otoritas agama. Imam yang dipuja oleh masyarakat sebagai pemimpin yang shaleh ternyata banyak melakukan perbuatan yang salah. Kejahatan demi kejahatan pun terungkap atas penyidikan seorang perempuan (Bintullah) yang lahir dari rahim ibu yang pernah dianiaya oleh sang Imam.
Dalam novel The God of Small Thing, dengan kontruksi cerita yang begitu memukau dan gaya simile (perbandingan) yang tajam, Arundathi bercerita tentang kondisi Kerala, sebuah daerah di India yang memiliki tingkat keaksaraan yang paling tinggi, namun berkubang kemiskinan, konfigurasi sosial yang diskriminatif, faham Marxisme dan keterpurukan nasib perempuan.
Yang menarik adalah awal cerita yang memotret kantor polisi, ketika Ammu (tokoh perempuan) hendak menemui inspektur Thomas. Karena terjadi kesalahan, Ammu tidak jadi dimintai keterangan. Dengan tatapan yang culas Inspektur Thomas berkata bahwa kepolisian Kottayam tidak mau menerima pernyataan dari kaum veshya (pelacur) atau anak-anak jaddah. Lalu, Inspektur Thomas mendekati Ammu dan mengambil tongkat komando sambil menepuk dada Ammu seperti sedang memilih buah mangga untuk segera dikirimkan.
Dari kepingan cerita tersebut Arundhati ingin memnggambarkan situasi yang paradoks: di satu sisi aparatur negara dituntut untuk menjaga nilai-nilai kesopanan, kepatuhan, kesetiaan dan kecerdasan, tapi mereka sekaligus melanggarnya.
Begitu pun dengan Oka Rusmini, yang memotret kesemrawutan Bali. Kebangsawanan menjadi titik masuk Oka untuk membeberkan ketidakadilan. Predikat sebagai kota pariwisata dan masuknya modernitas berpengaruh pada kehidupan di Bali. Tokoh Sekar dalam novel Tarian Bumi mau melakukan apa saja agar bisa menikah dengan seorang Ida Bagus (kasta Brahmana) agar kehidupannya tidak lagi menderita dan dipandang sebelah mata karena ayahnya aktivis PKI.
Ketimpangan modernsime pun dipotret dalam novel tersebut. Luh Dampar, yang menikah dengan pelukis Jerman (Jean Paupiere), bukannya mendapatkan kebahagiaan tapi eksploitasi tubuh sebagai objek foto dan video telanjang. Dampar ternyata hanya dimanfaatkan untuk memuluskan administrasi pembuatan galeri. Pariwisata yang seharusnya mendatangkan berkah dan kesejahteraan bagi warga Bali, ternyata malah mengundang pelecehan terhadap perempuan.
Dari karya-karya di atas saya ingin menarik sebuah benang merah bahwa karya perempuan yang membicarakan diskriminasi gender tidak selalu berucap tentang seksualitas, politik tubuh, dan pendobrakan terhadap hal-hal yang tabu. Ketiga sastrawan itu mengungkap bahwa diskriminasi gender bukan hanya persoalan perempuan tapi juga persoalan masyarakat.
Mereka juga tidak menafikan bahwa kondisi sosial yang buruk adalah penyebab ketimpangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Nawal mengingatkan, janganlah terjebak pada perjuangan melawan patriarkal semata, tapi yang lebih perlu diwaspadai adalah kapitalisme global yang mengancam kehidupan masyarakat di dunia ketiga.
Fungsi sastra adalah dulce de utile (menghibur dan mendidik). Sastra hendaknya tidak hanya berkata-kata, tapi memberikan pencerahan pada pembacanya agar lebih peka pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketiga sastrawan di atas tidak hanya memotret situasi di dunia ketiga, tapi juga memberi spirit untuk membangun dunia ke arah yang lebih baik.
* Neneng Nurjanah, Mahasiswa sastra UPI
Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008
No comments:
Post a Comment