Jakarta, Kompas - Peringatan hari ulang tahun ke-70 sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi ditandai dengan peluncuran buku otobiografi berjudul Hidup Tanpa Ijasah; yang Terekam dalam Kenangan.
Ajip Rosidi memenuhi permintaan tanda tangan dari peserta diskusi pada peluncuran buku otobiografinya, Hidup Tanpa Ijasah; yang Terekam dalam Kenangan, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (1/2). (KOMPAS/LASTI KURNIA)
Buku tersebut tidak sekadar mengungkap sosok Ajip Rosidi, melainkan pula sejarah kebudayaan Indonesia modern. Kesan tersebut diungkapkan sejarawan, penulis, dan aktivis Hilmar Farid dalam acara peluncuran dan diskusi buku otobiografi Ajip Rosidi, Jumat (1/2) malam.
Melalui otobiografinya, Ajip Rosidi membuka pintu untuk menyelami sejarah kebudayaan Indonesia modern, yang menurut Hilmar merupakan sebuah pengetahuan yang sering tidak terurus. Penulisan sejarah kebudayaan selama ini berhenti pada ulasan mengenai karya dan sekelumit pemikiran, namun tidak pernah masuk ke dalam pembicaraan serius mengenai kehidupan sosial dan intelektual para seniman.
Menurut Hilmar, dalam buku tersebut Ajip tidak hanya bercerita tentang diri dan karyanya, namun kisah tentang generasi seniman dan intelektual yang lahir menjelang kemerdekaan. Dalam satu bagian bukunya tersebut terdapat cerita tentang rumah dalam artian rumah tinggal sebagai tempat pergaulan budaya.
”Ajip menyebutkan antara lain rumah SM Ardan, HB Jassin, Balfas, Dodong Djiwapradja, Ramadhan KH, Aoh K Hadimaja yang menjadi tempat singgah para seniman dan membuat pergaulan budaya serta intelektual hidup. Kalau sekarang ini, bisa disebut Taman Ismail Marzuki dibuat sebagai rumah budaya,” ujarnya.
Tidak tamat sekolah
Ajip Rosidi dapat bersekolah di Taman Siswa dan bekerja di Balai Pustaka pada saat bersamaan. Ajip sendiri kemudian tidak menamatkan pendidikan SMA-nya. Namun, dia bisa mengajar di sejumlah perguruan tinggi, bahkan di luar negeri.
Pembicara lainnya, penulis Parakitri T Simbolon, melihat sosok Ajip sebagai seorang yang ingin membangun pranata, institusi, dan menyumbangkan sesuatu bagi masyarakat.
Dia merupakan pendiri Pusat Studi Sunda, Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage, sempat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981), Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya. Parakitri berpandangan Ajip merindukan pranata di negeri ini sehingga masyarakat bisa hidup sehat, nyaman, dan produktif. (INE)
Sumber: Kompas, Senin, 4 Februari 2008
No comments:
Post a Comment