Sunday, February 03, 2008

Wacana: Perjalanan Sastra tanpa Jejak Bahasa

-- Edy A Effendi*

PERJALANAN sastra Indonesia dalam kurun waktu 2007 tidak mampu meninggalkan jejak kebahasaan yang cukup berarti bagi pertumbuhan sastra Indonesia. Jejak kebahasaan ini menjadi penting karena fakta-fakta sejarah yang lurus harus dibangun atas keselarasan antara bahasa dan pikiran. Seperti kata Roger Trigg, berpikir tidak mungkin dipisahkan dari bahasa, dan adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan produk pemikiran.

Untuk membangun keselarasan antara bahasa dan produk pemikiran, para sastrawan harus bergumul secara intens dengan dunia bahasa dan tidak serta merta melahirkan karya tanpa mau menjenguk ceruk-ceruk kebahasaan yang paling dalam. Hanya beberapa buku sastra yang bisa dijenguk keseriusannya mencari bahasa sebagai jangkar kreativitasnya. Sebutlah kumpulan cerita pendek Gus tf Sakai, Perantau (GPU, 2007), dan antologi puisi Zen Hae, Paus Merah Jambu (Akar, 2007).

Pergumulan secara intens dengan hutan rimba bahasa itulah, yang seringkali dipinggirkan sebagian kalangan sastra. Dalam wilayah sastra, khususnya puisi, bahasa menjadi satu kekuatan sentral dan menjadi satu gema untuk menciptakan kembali keberadaan dan kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia.

Dari sudut pandang yang lain, maraknya antologi puisi yang bertebaran, tidak mampu membangun semangat kerja baru dalam wilayah puisi, terutama dalam menerapkan konsep estetika kata sebagai bagian dari proses kerja kreatif kepenyairan seseorang. Maka, ketika sebuah antologi terjebak dalam lingkaran wilayah kata yang dekaden, tradisi penulisan puisi yang dihibahkan dalam sebuah antologi, tidak lagi bersandar pada kekuatan kata dan berbagai varian yang berdiri di balik rimba kata.

Pada dataran itu, puisi kehilangan ruh, sugesti dan daya pikat sebagai wacana fiksi yang berfungsi memperkaya kata. Dan, akhirnya menjadi benar, sindiran yang pernah dilempar ke kubu penyair, bahwa bahasa yang ada masih seperti sebuah dusun datar yang baru saja dihuni para transmigran -- lokasi yang diancam wabah, perdu yang dihampiri hama.

Situasi serupa juga menimpa tradisi penulisan cerita pendek. Cerita-cerita yang berhamburan di berbagai sudut media massa atau di berbagai ranah toko buku sepajang 2007 tak ubahnya jajaran cerita yang bisa disantap dengan sekejap. Ia tak mampu membangun monumen kebahasaan secara ajeg, utuh dan runut. Sebuah monumen kebahasaan yang sejatinya menghadirkan bahasa ibarat ruh atau inspirasi yang hidup dan bergerak dalam tubuh sang kreator.

Saya menemukan beberapa karya prosa pada kurun 2006-2007, jika dilacak dari sisi tapak kebahasaan, tidak cukup kuat membangun keselarasan teks dan konteks, bahkan tak cukup cermat memainkan kata-kata atau substansi bahasa dalam wilayah teks. Lihatlah prosa Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku (Akmal Nasery Basral, Ufuk, 2006), Dunia di Kepala Alice (Ucu Agustin, GPU, 2006), Edensor (Andrea Hirata, Bentang Pustaka, 2007), Galigi (Gunawan Maryanto, Koekoesan, 2007), Janda dari Jirah (Cok Sawitri, GPU, 2007), Linguae (Seno Gumira Ajidarma, GPU, Maret 2007), Mahasati (Qaris Tajudin, Akoer, 2007), Bulan Jingga dalam Kepala (M Fadjroel Rahman, RPU, 2007), September (Noorca M Massardi, Tiga Serangkai, 2006), dan Sintren (Dianing Widya, Grasindo, 2007).

Di tepi lain, saya menemukan karya-karya puisi yang terbit pada kurun 2006-2007, di mana penyair seringkali membiarkan sajak dengan tidak terlampau urut, terang dan padu, sehingga tidak mampu memberi vibrasi yang besar terhadap perkembangan bahasa. Lihat saja buku puisi Angsana (Soni Farid Maulana, Ultimus, 2007), Bau Betina (Binhad Nurrohmat, I:BOEKOE, 2007), Dongeng untuk Poppy (M Fadjroel Rahman, Bentang, 2007), Jam-Jam Gelisah (Todung Mulya Lubis, GPU, 2006), Kepada Cium (Joko Pinurbo, 2007), Laut Akhir (Isbedy Stiawan ZS, Bukupop, 2007), Menjadi Penyair Lagi (Acep Zamzam Noor, Pustaka Azan, 2007), Notasi Pendosa (Acep Iwan Saidi, LKiS, 2007), dan Tamsil Tubuh yang Terbelah (Amien Kamil, MataAngin, 2007).

Kultur lokal


Pada prosa Perantau Gus tf Sakai, misalnya, pengarang seharusnya bisa lebih menstimulir persoalan kelokalan dengan berpijak pada kultur Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Sayangnya, Gus tf tidak sepenuhnya mengambil setting lokal sebagai kosmologi penceritaan yang utuh.

Kasus serupa juga menimpa Zen Hae dengan kumpulan puisi Paus Merah Jambu. Penyair yang lahir dari kultur Betawi ini mengambil isu lokalitas hanya pada ruang penceritaan dan dialog yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dalam puisinya. Ia tidak menggarap secara lengkap potret lokalitas dari termin kebahasaan.

Pada titik ini, Sakai dan Hae, berhasil pada kemampuan memainkan irama kata pada teks yang disebar ke publik, tapi gagal mengambil lokalitas dari traktat kebahasaan. Saya menangkap upaya pencarian kebahasaan dengan bersandar pada kekuatan lokal adalah upaya ekstrim yang seharusnya dikembangkan pengarang, agar mampu mengambil identitas kebahasaan yang jelas.

Di tempat yang berbeda, kumpulan puisi Bau Betina Binhad Nurrohmat pun hanya terampil memainkan kata dengan melakukan penggemparan makna di berbagi sudut puisinya. Ia, dengan kredo penulisannya, berupaya mengolah diri dengan mencari kemungkinan-kemungkinan bentuk, cara, atau teknik alternatif untuk mengucapkan kenyataan.

Sedangkan bergerak untuk merambah wilayah baru adalah upaya menjamah realitas yang sebelumnya tak tergarap atau masih tergarap sepintas lalu, misalnya kekotaan, mitos lokal, seks dan tubuh. Sastra Indonesia mutakhir tampaknya cenderung memasuki wilayah-wilayah mikro dengan cara ucap yang masih terus bergulat mencari bentuk.

Binhad masih terjebak pada kubangan wilayah mikro dengan cara ucap yang masih melingkar-lingkar pada upaya pencarian bentuk, bukan pencarian dari ranah kebahasaan. Semestinya pengarang harus mampu mengambil setting lokal sebagai basis reproduksi penciptaan. Sebuah problem untuk melakukan sinergi dengan peristiwa di luar teks.

Jika sinergi itu tidak dikerjakan dengan tepat, penulisan setting lokal atau kultur lokal, akan terjebak pada penulisan fiksi yang ber-kiblat pada sejarah. Penulisan fiksi, penulisan sejarah dan peristiwa sejarah adalah beberapa hal yang memiliki kaidah penceritaan yang berbeda.

Selama ini, penulisan sejarah di bangku-bangku pendidikan menjadi terdistori dan cenderung menyesatkan. Atau mungkin benar apa yang pernah dipaparkan Clifford Geertz, bahwa kehidupan sosial manusia tidak bisa keluar dari jaringan nilai dan makna yang mereka rajut sendiri yang kemudian terabaikan dalam kultur.

Pada akhirnya, bahasa bukan sekadar alat ucap para kreator dalam memproduksi kata-kata di dalam teks. Ia tak ubahnya jembatan pengarang dalam melakukan pencarian identitas kebahasaan. Di ranah ini, para pengarang yang melahirkan karya pada kurun 2007 tak memperlihatkan keseriusannya dalam mengelola bahasa.

* Edy A Effendi, Dosen sastra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber: Republika, Minggu, 3 Februari 2008

No comments: