Sunday, February 10, 2008

Esai: Kebenaran Estetis atau Logis?

-- Mudji Sutrisno*

KETIKA kehidupan dihayati sebagaimana adanya, dimuliakan dan dibuat lebih indah para pelakunya,saat itu pula ungkapan- ungkapan syukur entah dikidungkan atau pun dihayati dalam tindakan baik dan hormat pada kehidupan itu sendiri.Apakah tahap ini yang oleh kebanyakan ahli kebudayaan dinamakan tahap lisan atau tahap pratulis (baca: pre-teks)?

Penahapan ini sesungguhnya sekadar kajian rasional ketika konsensus perkembangan peradaban dibagi dalam tahap lisan, tulisan, dan pascatulisan (dunia maya). Inti dalam penjelasan tahap-tahap ini adalah direntangkannya sejarah peradaban dalam sebuah garis lurus penilaian atas waktu lalu,kini,dan mendatang. Waktu dihayati sebagai rentang linier yang diletakkan pada bangkitnya kesadaran subjektif manusia dalam pencerahan yang dengan rasionalitas, kemerdekaan kehendak menentukan penghayatan atas waktu dalam sejarah.

Manusia merupakan penulis sejarahnya sendiri,riwayat olah pengalaman yang direfleksi dengan sadar untuk mencermati laku hidupnya. Dari kehidupan yang dihayati apa adanya sebagai sumber kajian pengetahuan dan peradaban, pertanyaan yang mengusik adalah apa itu “kebenaran”? Pada tahap kelisanan, kebenaran diiyakan ketika cocok dan sesuai kenyataan hidup atau pengalaman menghayati hidup itu sendiri.

Misal, kebudayaan petani di daerah tropis dihayati dalam statika mulainya hari dengan rekah matahari di pagi hari dan penutupan hari dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat yang relatif tetap dan konstan. Siklus ini dalam common sense atau local knowledge dipertegas statikanya dalam hitungan waktu bernama musim yang tetap pula. Siklus yang teratur itu dibahasakan sebagai mandala, roda hidup yang berputar silih berganti,roda pedati atau “cakra manggilingan”.

Pengertian kebenaran dalam hidup yang dihayati siklus merupakan kebenaran yang berciri tetap.Bahasa kebenaran yang muncul dalam pepatah dan petatah-petitih ajaran kehidupan menekankan untuk tidak keluar dari pakem kehidupan. Menarik untuk menggugat dalam tanya ukuran kebenaran di sini apakah statika hidup atau keteraturan siklus hidup yang dinilai berharga dan dimuliakan? Namun,semakin nyata bahwa sumber penentuan kebenaran amat eksistensial karena diletakkan pada eksistensi manusia itu sendiri .

Ketika penghayatan di atas dijalani, yang dipakai terutama adalah intuisi dan rasa hati. Maka lihatlah, ungkapungkap seni ritual yang memuliakan hidup yang selalu ditutup dengan keadaan harmoni setelah melalui situasi chaos. Siapakah atau apakah yang menjadi legitimator (pengabsah) kebenaran intuitif ini? Kehidupan itu sendiri yang dihayati intuitif. Orang menamainya sebagai intuitive truth.

Ketika tradisi tertulis mencoba merumuskan pengalaman dan peristiwa dalam ukuran kebenaran logis, persesuaian antara rasionalitas di pikiran dengan realitasnya, serta sistematika rasional melalui bahasa,ukuran kebenaran dilihat sesuai atau tidaknya jalan pikiran dan penalaran tulisan orang. Logical truth sudah langsung kita pahami bedanya dengan intuitive truth.Namun, sumber kebenarannya tetap satu, yaitu penghayatan atas hidup dan kehidupan yang sama.

Bedanya,yang satu diungkapkan dalam bahasa intuisi,sedangkan yang lain diungkapkan dalam bahasa logika akal sehat. Di sini menarik untuk dicatat kajian ahli-ahli kebudayaan yang menaruh intuitive truth dalam mitos-mitos dan logical truth dalam logos. Kalau kebudayaan merupakan dinamika dari tahap mistis ke tahap logis,kesadaran akal budi dan pengambilan jarak pada realitas dengan kesadaran rasionallah yang membuat manusia mampu merumuskan pengalamannya dalam posisi berjarak karena refleksi akal budi. Thomas Aquinas membagi hidup yang berharga ini dalam tiga dimensi. Pertama, dimensi keindahan, pulchrum yang dibahas dalam estetika.

Kedua, dimensi kebenaran logis verum, dikaji dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ketiga,dimensi kebaikan, bonum, dikaji dalam etika. Ukuran kebenarannya adalah ethical truth yang dipakai untuk menentukan harkat kepribadian seseorang. Dari paparan di atas, dua hal bisa kita catat.Pertama,bahasa rumus untuk dimensi-dimensi kehidupan etis, estetis, dan logis.Kedua, kehidupan sebagaimana adanya yang dirayakan dalam berbagai seni dan penghayatan local geniusmerupakan sumber untuk rumusan kebenaran.

Bedanya, yang satu dirumuskan dan yang lain dihayati diam-diam. Refleksi ini mengajak kita masuk ke “kenyataan” antara yang terbahasakan dengan yang tak terbahasakan. Ketika bahasa tulis terbatas membahasakan pengalaman hidup dalam bahasa- bahasa yang ada, maka sudah lebih dahulu sebelum pengaksaraan terbentang luas bahasa-bahasa simbol atau tanda. Ilmu bahasa tanda ini kini berkembang pesat dalam semiotika. Namun, ketakterbahasakannya pengalaman menghayati hidup menemukan “bahasa-bahasa ekspresinya” dalam lukis, bahasa seni musik, film sampai ke dunia bahasa virtual dalam citraan-citraan representasi kehidupan yang dipersepsikan sebagai presentasi itu sendiri.

Maka dari itu, bila kita mau merumuskan kebenaran, konsekuensinya adalah menaruh bingkai atau konteks konsensus pewacanaannya dan perumusannya dalam dimensi-dimensi kehidupan itu.Apakah ini berarti esthetical truth harus ditemukan terus-menerus dalam wacana para seniman bersama dengan intuitive truth? Apakah kebenaran dalam arti memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya, menghormatinya, adalah keadilan sebagai kebenaran politis?

Apakah kebenaran logis selalu dalam rentang keterbukaan antara para filsuf dalam saling proses falsifikasi dan verifikasi sepanjang sejarah filsafat awal (Yunani Kuno),modern,kontemporer, dan pascamodern? Di situlah kejelian dan sikap terbuka untuk menghormati betapa kaya pelangi dimensi-dimensi kebenaran dari kehidupan merupakan peziarahan kita bersama dari yang mampu terbahasakan maupun yang tak terbahasakan.

Politik dan kapital kekuasaanlah yang sekarang ini tangible maupun intangible menjadi bahaya monopoli penentuan “kebenaran”.

* Mudji Sutrisno, Budayawan

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 10 Februari 2008

No comments: